Sahabat Baik Tak Perlu Terganti

Image result for best friends quotes tumblr


Sering sekali saya mendengar nasehat; kamu adalah dengan siapa kamu berteman. Lalu saya akan diingatkan kembali tentang perumpamaan kisah pandai besi dan penjual minyak wangi. Mereka yang berteman dengan pandai besi (tukang besi) akan ikut merasakan panas dari besi yang ditempa beserta bau yang dihasilkannya. Mereka yang berkawan dengan penjual parfum juga akan mendapatkan wangi dari parfumnya. Jika dapat memilih, saya yakin kita akan memutuskan berteman dengan penjual parfum.

Analogi tersebut menggambarkan betapa seorang teman berpengaruh pada diri kita. Baik buruknya bisa saja mewarnai dan mengubah hidup kita. Warna mereka bisa menjadi refleksi pribadi kita di hadapan orang lain. Seperti sebuah pepatah arab; jika ingin mengetahui seseorang, lihat dengan siapa dia berkawan.

Saya termasuk tipe orang yang sulit bersahabat. Butuh waktu lama bagi saya untuk mendekat dan memercayai seseorang. Jika hanya sekadar teman biasa (berkenalan) saja, saya punya banyak. Tapi situasi dan hubungannya begitu saja. Tidak berlanjut sebagai teman jalan, teman ngobrol, dan teman dalam kondisi yang menyenangkan dan membawa kenyamanan.

Sering saya melihat orang-orang yang berkarakter baik, unik, supel, ramah, memiliki ketertarikan yang sama dalam hobi dan menyenangkan. Saya sering berusaha mendekati mereka (tentu saja orang-orang ini adalah perempuan) dengan harapan bisa berteman baik. Saya pikir kami bisa menjadi sahabat yang saling memberi kenyamanan dan kebahagiaan. Alih-alih semua harapan terwujud, saya malah patah hati karena kecewa.

Saya terlalu optimis dengan harapan yang saya bangun tanpa pembuktian kuat. Rahasia besar saya ceritakan padanya. Sudah dengan perjanjian untuk tidak membaginya kepada siapapun. Lalu suatu hari saya dikejutkan dengan alur kisah yang membuat saya sadar; rahasia besar itu terbongkar. Kepada siapa prasangka saya bermuara jika satu-satunya orang yang saya bagikan rahasia itu adalah orang yang saya kira bisa menjadi sahabat saya?

Harapan yang sama juga pernah saya bangun kepada seseorang. Saya menebak, jika saya dekat dengan dia, kami mungkin bisa jadi kekuatan yang luar biasa dalam hal-hal baik dan menyenangkan. Tapi, jangankan bersahabat, saya justru gagal menemukan celah berteman baik. Hanya sering mengobrol biasa saja. Pada akhirnya saya melihat dia berkelompok dengan orang-orang yang berkebiasaan hedonis.

Suatu waktu, saya menemukan informasi tentang sebuah komunitas kepemudaan di kota saya bermukim. Saya nekat mendaftar dengan alasan ketertarikan dan keyakinan bahwa saya mampu tumbuh, berbaur, dan memberi manfaat. Nyatanya, setelah serangkaian proses seleksi, saya ditolak. Tidak ada alasan penolakan, padahal mereka butuh relawan dan yang bersedia ikut kala itu kurang dari sepuluh.

Belakangan, saya mengetahui alasannya yang materialistis dan karenanya saya tidak pernah bisa lupa. Bukan perihal sakit hati ditolak, toh saya tidak sendiri. Alasan tersebut untuk sebuah komunitas sosial adalah sesuatu yang cukup rendah sehingga saya mengingatnya sebagai sebuah pengalaman yang membelajarkan saya tentang penerimaan.

Sahabat saya adalah orang-orang yang berkarakter penyabar, baik hati, religius, cerdas, optimis, humoris dan menyenangkan. Saya beruntung berkenalan dengan mereka di awal-awal sekolah (tiap jenjang sekolah sampai kuliah) lalu merasa cocok satu sama lain dan akhirnya bersahabat karena sering melakukan banyak hal bersama.

Seharusnya, saya bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang baik yang bisa menjadi teman berbagi dan bisa saya percaya. Namun, dasar saya! Saya masih juga sering berharap bisa berteman dengan seseorang yang menarik perhatian saya karena melihat pembawaan mereka. Kadang, pikiran bodoh saya hinggap; mengapa saya bersahabat dengan A, mengapa bukan B? Mengapa saya si A, sahabat saya tidak bisa terlihat seasik si B? Andai si A seperti si B, pasti bla bla bla...


Betapa buruknya pikiran itu seolah saya tidak mensyukuri telah dianugerahi sahabat baik. Seakan saya adalah makhluk sempurna yang pantas didampingi sahabat baik. Saya lupa berkaca; sudahkah saya menjadi sahabat baik bagi orang yang yang menganggap saya sahabat?

Pertanyaan paling sederhana: sudahkah saya bersikap sebagai teman yang layak disebut sahabat? Jangan-jangan selama ini saya menuntut terlalu banyak kepada sahabat saya; pengertian, waktu untuk bercerita, harapan tentang sesuatu dan lain-lain lantas rupanya saya tidak memberi feedback dan kesempatan yang sama kepada sahabat saya. Betapa buruk hal itu terdengar.

Saya menuntut mendapat sahabat baik namun saya tidak menjadi sahabat baik. Padahal, label baik untuk sebuah persahabatan seharusnya tidak dirasakan sepihak saja, harus keduanya. Seperti halnya kedua orang yang bersepakat saling memanggil sebagai sahabat karena kepantasan sebagai teman dalam suka dan duka, saudara tak sedarah.*(Na/29919)


0 komentar