Menyembuhkan Luka

Seharusnya hari itu saya bahagia hingga tiba kembali di rumah dan seterusnya. Namun tidak, kebahagiaan saya terhenti ketika beranjak meninggalkan rumah mempelai perempuan yang tengah duduk bersanding bersama mempelai pria setelah akad yang mengharu biru.

Barakallahu lakuma alaikuma wa jama bainakuma fii khair

Mempelai perempuan adalah teman kuliah saya. Mewakili teman-teman yang berhalangan hadir, jadilah saya bersama teman kuliah lainnya, Mita, sangat menyempatkan datang. Perjalanan dari Makassar ke Bulukumba lancar, meski beberapa kali berhenti untuk menelpon dan mengecek lokasi tujuan yang sesungguhnya tidak kami ketahui benar. Meninggalkan Makassar jam setengah tiga siang dan tiba di tujuan setengah sembilan malam. Sempat tersasar, dan dua kilometer melewati jalan masuk ke rumah tujuan. Beruntung, seorang pemuda setempat berbaik hati mengantar menunjukkan jalan yang benar.

Perjalanan jauh ini (paling cepat lima jam tempuh) adalah yang kedua kalinya dengan mengendarai motor. Saya duduk di belakang teman yang menyetir sembari berulang kali memperbaiki posisi duduk karena punggung yang mengirim sinyal pegal dan kram dengan posisi duduk begitu-begitu saja. Lalu di mana letak kebahagiaan saya berakhir?

Meninggalkan hajatan setengah dua siang, perjalanan aman hingga setelah singgah shalat ashar dan mengompres ban motor. Saat itu kami berada di Jeneponto, kabupaten ketiga sebelum mencapai Makassar. Saya menikmati angin yang bertiup kencang ketika melewati ladang garam. Gunungan garam yang baru saja diuapkan tampak sepanjang jalan lalu berganti barisan penjual garam.

Beberapa kilometer melewati pemandangan kehidupan garam, dengan sangat cepat di antara titik kesadaran saya sudah berada di depan rumah warga, dikerubungi banyak orang yang tidak lagi bisa saya lihat wajahnya. Ramai. Suara-suara prihatin, simpati dan peduli bersahut-sahutan di telinga saya. Saya terduduk setelah mencium tanah daerah penghasil garam dengan helm yang masih terpasang rapi.

Saya shock dengan level menengah menuju tinggi. Saya melihat darah mengental membanjiri jemari saya, kelingking kanan saya. Air mata belum keluar,  tapi memandangi dan menyadari keadaan saat itu, saya ambruk dengan isak tanpa tangis. Seseorang mengangsur botol plastik berisi air sepang. Saya sadar, botol air saya terlempar satu meter dari saya, di halaman rumah warga. Saya dibantu berdiri warga setempat, dipapah naik ke rumah panggung. Saya merasa seluruh tenaga saya hilang.

Seseorang menutupi separuh badan saya dengan sarung, apa pasal? Rok saya habis dilalap rantai motor. Itu pula yang menjadi sebab saya jatuh menghantam aspal lalu terguling tiga kali sampai tepat terbujur di depan pagar rumah warga. Di dalam rumah, saya dibaringkan, diperiksa bagian mana saja yang terluka. Rumah itu sudah ramai dengan warga setempat, anak-anak gadis yang saya dengar sedang kuliah kesehatan merawat luka saya; membersihkan dengan air dan menutupinya dengan dedaunan.

Ternyata bukan hanya jemari, tetapi juga kedua lutut. Paling parah lutut kiri; luka lebar di antara sendi yang ketika mengetahuinya, saya semakin shock. Beberapa orang menenangkan, beberapa lain terus berkomentar, bercerita dan berandai-andai perihal bagaimana seharusnya saya agar tidak mengalami kejadian naas itu. Mita, kawan seperjalanan saya tampak cemas dan bingung. Saya tahu dia turut sedih meski tak perlu berlinang air mata. Ia terus menguatkan di samping saya.

Ternyata, di antara orang-orang yang mengelilingi saya sore itu hanya ada anak-anak sang pemilik rumah. Kedua orang tua mereka baru pulang bekerja dengan mobil yang dengan segera mengantar saya menuju puskesmas. Dari rumah ke puskesmas tidak sampai sepuluh menit untuk sampai. Si Ibu terus menyuruh saya istighfar sambil menunjukkan simpati. Turun dari mobil, saya berjalan pelan sekali, sedikit terpincang dan sudah tidak mampu melihat jelas tanpa kacamata saat langit perlahan menggelap. Terdengar sayup-sayup suara mesjid bersahutan menanda sebentar lagi masuk waktu magrib.

Seorang suster menyuruh saya berbaring, segera membersihkan luka dengan NaCl dan obat merah yang disambut ngeri oleh saya. Mita tak henti menenangkan bahwa tidak akan ada rasa sakitnya walau saya merasakan perih.

Suster memeriksa dan menggerakkan seluruh sendi saya, mengecek tak ada keseleo. Dua orang ibu masuk menghampiri memastikan siapa pasien yang datang sore sekali; seorang nenek atau seorang gadis. Ibu yang berjilbab bersorak menang kepada temannya sebab ia benar menebak meski katanya saya berjalan masuk puskesmas persis wanita uzur. Saya tak terlalu peduli, sedang berdiskusi memutuskan apakah saya harus pulang atau singgah menginap di rumah keluarga Mita di Kabupaten selanjutnya yang berjarak sekitar 45 menit perjalanan.

Tak ingin semakin merepotkan, saya memutuskan pulang. Trauma dibonceng, akhirnya saya mengusulkan pulang menumpang mobil rental antar kabupaten. Berkali-kali orang rumah yang menolong saya menyuruh menginap tapi terlalu merepotkan, pikir saya. Sejauh ini mendapat pertolongan sudah membuat saya berterima kasih penuh.

Mita sudah mengabarkan kejadian ini kepada orangtua saya. Ibu saya menerima kabar dengan perasaan gundah namun tak bisa menjemput karena bapak tidak bisa menyetir malam hari. Saya pulang dengan perasaan berhutang budi, sedih, trauma dan ngeri sendiri melihat banyaknya perban di badan saya untuk pertama kali dalam hidup saya.

Di atas mobil saya minim gerak. Hanya terus melihat ke kaca gelap dengan pikiran mengembara. Saya merenung sampai tiba di terminal Mallengkeri. Sesekali menyimak ngeri perbincangan di atas mobil tentang kecelakaan berujung maut. Percakapan horor itu bermula saat penumpang menanyakan kondisi saya. Tentu sedikit pun tidak menghibur, meski mungkin seharusnya saya bersyukur tidak berakhir pulang dengan ambulans.

Dari terminal Mallengkeri saya diantar pulang dengan motor. Mita terus mengajak saya mengobrol di jalan dengan topik yang jauh dari musibah. Saya tahu dia berusaha menghibur dan itu bekerja. Dia pamit dengan terus meminta maaf, dan saya tahu ini semua sama sekali bukan salahnya sehingga tak ada yang perlu dimaafkan. Saat kejadian, Mita tidak menyadari saya terjatuh. Lima meter dari titik saya, dia baru sadar saya tidak lagi duduk di belakang dan ia berbalik dengan kaget memuncak. Di balik helm saya melihat Mita, memanggilnya, proses kejadian terlalu cepat.

Setiba di rumah, saya masuk kamar dan berbaring. Mengumpulkan keberanian dan kesadaran menghadapi kenyataan. Meratapi nasib, merasakan pedih. Saya tahu banyak yang lebih menderita, lebih parah dari apa yang saya alami. Tapi menggeneralisasi perasaan tiap orang dan menjustifikasi adalah hal yang keliru di saat simpati seharusnya diberikan. Apalagi bagi saya yang baru kali pertama merasakan jatuh, bagi saya yang tidak bisa (ngeri) melihat darah dan luka. Semuanya terasa berat.

Mama adalah orang yang paling sabar merawat luka saya. Setiap malam mengantar saya tidur setelah mengoles luka dengan revanol -- yang saya tahu itu hanyalah pencuci luka dan seharusnya dioles betadine agar cepat kering. Hari kedua, saya merasa seluruh tubuh pegal. Ternyata ada banyak lebam yang tak terlhat; kedua lengan, betis, punggung atas dan bawah. Ada luka-luka kecil yang tak diperhatikan.

Tiga hari pertama luka saya berbau telur alias amis. Entah itu nanah atau apa. Perih. Saya kesulitan tidur dan sering terjaga karena kaki kiri saya tidak bisa sering digerakkan. Luka saya tidak bisa tersentuh kain karena darah akan melengket dan perih. Dua pekan saya pincang. Memasuki pekan ketiga di hari ke-empat barulah kaki saya bisa dibengkokkan. Lama sekali.

Hari-hari pertama saya menangis dan mengeluh karena sulitnya buang air dan hanya bisa tayammum serta sholat dalam keadaan berbaring. Di saat seperti itu saya merindukan betapa nikmatnya sholat sempurna tapi kadang masih dilalaikan. Selama keadaan ini pula saya terserang sembelit; dua jam di toilet hanya untuk mengeluarkan kotoran. Sampai kadang saya merasa putus asa. Saya tidak bisa berkegiatan. Makan saja mesti diambilkan. Betapa saya merasa diri ini menyedihkan.

 Sebenarnya, sejak mengetahui saya tidak mengalami kondisi buruk dan luka serius, saya tak henti berterima kasih pada Tuhan. Meski banyak keluhan yang memenuhi dada saya. Di atas mobil rental saya sesenggukan menyadari Allah masih sayang saya; nyawa saya masih utuh dan saya tidak perlu perawatan ekstra dan intensif di rumah sakit.

Saya tak bisa membayangkan bagaimana jika saat itu hidup saya usai. Saya sungguh tak yakin berpulang dengan akhir baik seperti yang saya impikan selama ini. Maka bersyukur dalam keadaan sulit itu saya deraskan. 

Pekan ke-empat menuju sembuh total

Ini pekan ke-empat saya dalam proses pemulihan total. Saya kehilangan banyak momen penting dan melewatkan banyak agenda berharga. Saya sedih, saya menyalahkan diri saya di awal-awal namun pada akhirnya saya kembali menyadari bahwa di balik perihnya kejadian ini, Allah masih menunjukkan rahmanNya, mengajarkan pelajaran penting yang saya hikmati selama sakit. Saya pulang dengan kebahagiaan yang berubah menjadi sedih yang bertransformasi menjadi haru. Dia menegur saya dengan cara paling baik menurutNya. Siapalah saya yang hanya bisa menginginkan dan mengharapkan tapi Dia Maha Tahu mana yang terbaik. 

Seperangkat obat penyembuh luka. Thanks!

Saya menulis ini masih dalam perasaan ngeri. Sesungguhnya tulisan ini saya i'tikadkan untuk self-healing. Sebab bagi saya, trauma adalah hal besar yang sulit hilang. Sampai sekarang saya belum berani naik motor lagi, meski dibonceng. Bayangan kejadian terus berputar di kepala saya. Setiap siang bayangan kejadian menghantui sampai saya benar-benar mimpi buruk. Saya masih parno dan terjebak gambaran adegan yang lebih buruk dari kejadian sesungguhnya.

Luka fisik dan luka batin akan sembuh pada waktunya. Luka fisik segera sembuh ketika kulit baru terbentuk sempurna. Berbekas. Luka batin sembuh di waktu yang entah. Waktu menyembuhkannya secara rahasia. Tapi kapan? Bekasnya masih sangat terasa. Mita pernah berucap, "Na, nda apa-apaji itu. Nanti-nanti dicerita lucu mami ini kejadian bilang pernahki jatuh di Jeneponto." Lalu diaambung tawa singkat. Sungguh saya menanfi saat itu terjadi.* (Na/10919)

0 komentar