Biar Tuhan yang Balas!

Kampus kembali ramai, sejak pagi hingga siang seperti biasanya. Beberapa muda-mudi terlihat buru-buru menuju ruang kuliah di lantai tiga. Beberapa lainnya terlihat santai berjalan sambil mengobrol dengan teman. Sesekali cekikikan, asyik masyuk tak menghiraukan sekitar. Kursi-kursi taman dan "kursi tunggu dosen" juga penuh dengan aktivitas yang didominasi kesibukan senam jari, menunduk lama, dan memelototi layar biru. Dua orang lelaki berangkulan sambil mengobrolkan hal serius diselingi tawa.

Mereka mendaratkan bokong ke bangku taman yang baru saja ditinggal penduduknya. Entah karena sesuatu yang segera diurus atau ketakutan melihat dua lelaki cepak dan gondrong berhenti di dekat mereka. Lumayan garang juga muka si gondrong buat menakuti perempuan apalagi yang berstatus junior. Mending segera menyelamatkan diri dari pada masalah jadi runyam.

"Jadi begitu bro! Tertarik gak?" Kata si gondrong kepada kawan kelasnya yang cepak itu, namanya Ogi. Dia sendiri bernama Hafis. Jangan pertanyakan mengapa namanya seperti tertukar. Penampilan luar tak bisa jadi ukuran baik buruk, begitu katanya setiap kali ditertawakan mengapa tampilannya tak sealim namanya.

"Cek jadwal dulu, Pak Jehan bakal masuk atau nggak hari itu." Kata Ogi lama, ada yang membebani pikiran mahasiswa semester tujuh itu. 

"Tenang aja! Seperti kemarin, kita pasti bakal diizinkan. Ini atas nama bangsa Indonesia bro. Keren gak tuh? Atas nama bangsa Indonesia, Hafis Ogi. Hahaha sudah macam Bung Karno Hatta kita." Keasyikan tertawa Hafis malah refleks memukul bahu Ogi yang direspon dengan mengelus bahunya. 

Karena Ogi masih terlihat berpikir, Hafis lanjut membujuk, "kapan lagi kita turun aksi bela hak rakyat kalo bukan sekarang? Sebentar lagi kita lulus bro. Kan keren kalo nanti jadi anggota dewan ada yang demo kita bisa mengenang pernah juga turun ke jalan. Hahah. Yah, walaupun nanti kita harus jadi DPR yang pro-rakyat. Jangan kayak sekarang, kerjaannya gak jelas. Pas mau lengser malah nyusahin." 

Perbincangan siang itu didominasi Hafis tanpa Ogi yang banyak bicara. Keduanya sahabat karib, sekelas di fakultas ekonomi. Hanya saja, Ogi tipe mahasiswa yang lebih aktif mengejar kepentingan akademik, bergabung hanya di organisasi penelitian. Sementara Hafis aktif di organisasi pergerakan mahasiswa dan senat. Biar begitu, ipekanya masih bisa dibanggakan.
*
Kamis pagi-pagi sekali, Hafis sudah terlihat nongkrong di depan sekretariat BEM Fakultas Ekonomi. Dia sudah nampak macam bapak yang digambarkan banyak novel remaja: duduk membaca Koran sambil sesekali menyeruput kopi hitam tanpa gula. Serius sekali sampai tidak menyadari jika kawan baiknya sudah dua menit duduk di sebelahnya membisu, Ogi. Saat ia akhirnya melipat koran sambil mengucap kalimat ejekan yang seandainya ditulis di media sosial, ia pasti bakal dijerat undang-undang ITE.

“Sudah! Masih pagi sudah marah-marah. Belum wisuda, nanti udah tua aja!” Hafis yang mendengar Ogi tiba-tiba nyeletuk malah menyemburkan kopi yang baru saja menyentuh langit-langit mulutnya.

“Kau ini mengagetkan saja! Sejak kapan ada di situ?”

“Kau selalu bilang kalo hidupku terlalu serius, harus santai sedikit. Lah, aku sudah jamuran di sini kau baru sadar. Jangan-jangan kau yang terlalu serius?”

“Hahaha. Beda lah,” Hafis terpingkal-pingkal sampai kembali akan meninju bahu Ogi. Tentu saja Ogi yang sudah paham kebiasaan sobatnya segera menyingkir. “Aku senang akhirnya sahabatku mau kuliah lapangan. Satu jam lagi kita berangkat. Tunggu anak-anak lain datang semua. Tapi muka kau jangan kusut begitu lah!”

“Harusnya pamit ke orang tua. Tapi belum jadwal bapak ke kota kecamatan. Di desa tidak ada sinyal!

“Tenang bro, kau ke sini kan untuk belajar. Bapakmu pasti dukung semua hal baik yang kau lakukan.” Seperti bagaimana seharusnya sahabat, Hafis berusaha menenangkan Ogi.

*
Ribuan mahasiswa beralmamater benhur bergerombol bertolak menuju gedung dewan provinsi. Mereka long march dari gedung kampus, tidak hanya lelaki, tetapi perempuan juga tampak memenuhi barisan. Mereka terlihat memegang spanduk bertuliskan tuntutan aksi mereka dengan kata-kata menarik yang menggelitik.

Pertama kali dalam hidupnya Ogi berdiri di antara mahasiswa yang mengaku peduli pada bangsa. Selama ini ia menerjemahkan kepedulian pada bangsa dengan belajar baik-baik sebagaimana ia akhirnya berada jauh dari kampung halaman terpisah orang  tua. Mengejar cita-cita sebagai pengusaha yang kelak meningkatkan perekonomian orang-orang di desanya. Ia berdiri tidak jauh dari Hafis yang terus mengulang tuntutan aksi dengan pelantang suara.

Unjuk rasa berlangsung bahkan saat terang telah berganti gelap. Mereka hanya berhenti saat masjid berkumandang dan terus melanjutkan aksi. Mereka menuntut pertemuan dengan ketua dewan provinsi yang gedungnya telah dipagari polisi. Jangan kira macet tidak terjadi. Meski mereka mengaku memperjuangkan nasib rakyat, para pendemo justru dihujat masyarakat yang perjalanannya terhambat.

Saat Ogi merapatkan barisan dan kompak menyeru yel-yel, tiba-tiba sebuah semprotan menghujani mereka. Memerihkan mata jika bertahan di tempat. Aksi yang sebelumnya berjalan damai seketika rusuh saat mahasiswa bertebaran, lari menjauh dari semprotan gas air mata lalu mendekat kembali dengan batu di tangan yang dilontarkan ke arah polisi. Demonstrasi berubah seperti tawuran. Orasi menghilang di udara berganti teriakan, sumpah serapah dan caci maki. Tak lagi jelas, apakah demonstran sepenuhnya mahasiswa atau telah disusupi masyarakat non-mahasiswa.

Polisi yang semula bersikap tenang segera memburu pemuda yang tampak menyerang. Gelap malam tak memperjelas pandangan, lampu jalan bersinar temaram tak membantu banyak. Polisi berlari menangkapi siapa saja yang mencurigakan sebagai pembuat onar. Seorang polisi menggapai kaos seorang pemuda yang melarikan diri setelah melempar batu. Ia diseret ke arah kerumunan polisi di arah berlawanan. Ia bonyok oleh pukulan setelah berusaha kabur.

“Polisi a****g!” Seseorang yang berkaos biru di samping Ogi bereaksi. Ia bangkit sambil menggenggam batu besar. Maju dan melempari polisi yang memunggunginya.

Bruk! tepat mengenai bahu polisi yang tak terlindungi. Sesaat polisi itu meringis sakit, lalu sigap mengejar Di saat yang sama, masih terjadi aksi lempar batu, mahasiswa bertebaran, lari tak tentu arah, sembunyi dan maju lalu mundur sembunyi. Polisi yang kesakitan kehilangan target di tengah kekacauan dan segera bergabung kembali dengan kelompoknya. Bukannya mereda, kericuhan malah menjadi-jadi. Beberapa polisi tampak maju menangkapi target yang melempar batu.

Doorrr!!! Sebuah tembakan dilepaskan. Seorang pemuda tumbang dalam aksi polisi masih menangkapi pelempar batu. Tak jelas siapa yang tertembak dan menembak. Beberapa pemuda tampak menyeret kawan yang tertembak dan di belakang muncul sumpah serapah dan makian yang menjadi-jadi.

Ambulans yang siaga membawa korban menuju rumah sakit. Peluru ditemukan menembus dadanya. Dokter baru saja keluar, raut wajahnya sedih memberitahu korban tak tertolong. Seorang pengantar histeris berteriak sambil menyumpahi penembak yang belum jelas asalnya.

Di samping jenasah kawannya ia menangis, kencang sekali. Hafis tak pernah menduga akhir perjuangan menjadi tragis begini. Apa yang akan ia katakan saat membawa Ogi yang tinggal mayat ke hadapan keluarganya? Lima belas jam perjalanan harus ditempuh memulangkan Ogi ke kampungnya. Ia tewas dalam perjuangan seorang mahasiswa semester akhir yang meminta haknya, hak rakyat, hak bangsanya untuk menjadi baik. Ia gugur dalam melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan penguasa negaranya. Ia pergi selamanya bersama kenangan yang ia ingat sebagai bentuk perjuangan. Hafis masih di sampingnya, dalam tangis dan doa panjang.*(Na/27919)


Tulisan ini didedikasikan kepada mereka yang menjadi korban ketika aksi massa memperjuangkan suara rakyat 

0 komentar