Semoga Bapak Kuat!

Usai menunaikan salat magrib Ibu memanggil nama saya berulangkali. Saya segera melepas mukena dan berjalan ke ruang tengah, tempat kami berkumpul dan menonton TV. Saya kira ibu perlu bantuan atau ada perkara penting maka tanpa menunda lama saya menghampirinya.

"Lihat, Pak Imam jadi tersangka korupsi!" Ungkap Ibu langsung pada pokok persoalan sambil menunjuk ke layar televisi.

"Ini masih kasus yang dulu, akhir tahun 2018." Saya membalas anteng sembari menatap layar yang menampilkan gambar Pak Imam di ruang sidang.

Saya akhirnya duduk di kursi, di samping ibu, menyaksikan siaran berita kasus korupsi danah hibah KONI yang masuk ke kantong pribadi Menpora, Imam Nahrawi. Sejak kasus ini dikuak KPK, saya terkejut bukan kepalang. Antara percaya dan tidak percaya. Dalam pikiran saya kala itu: kasus bapak masih dalam proses. Bapak belum dipersalahkan. Ia masih diperiksa bersama staf Kemenpora lainnya. Masih ada kemungkinan beliau dikabarkan bersih.

Kurang dari sepuluh menit sejak siaran berita mengabarkan hal yang sama lalu berganti dengan topik lain, saya membuyarkan fokus ibu yang menatap layar TV.

"Jadi kenapaki' panggilka' (jadi ada apa memanggil saya)?"

"Ituji ada Pak Imam di dalam televisi (sebab ada Pak Imam di televisi)."

Apa pasal ibu dan saya begitu perhatian dengan Pak Imam Nahrawi, Menpora kabinet Indonesia Bersatu yang sebentar lagi berakhir itu? Meski tidak sekampung-- beliau asli Madura tapi saya menjadi saksi kebaikan beliau ketika tahun 2018 lalu terlibat dalam kegiatan kepemudaan yang diadakan Kemenpora selama hampir tiga bulan.

Bersama Pak Imam di Surabaya

Grup Watsap yang menampung teman-teman sekegiatan tahun lalu seketika ramai oleh diskusi serupa saat seorang teman mengirim link berita daring sebuah media yang memuat kasus beliau. Di luar sana, pasti banyak yang menghujat beliau. Banyak yang meragukan integritas beliau setelah berita tersebut. Tapi kami, anak-anaknya paham harus bersikap bagaimana kepada orang yang telah kami anggap seperti ayah.

Bukan hanya saat kegiatan formal, tapi setelah berakhir kami tetap menjalin hubungan baik dengan beliau. Sering diundang saat beliau menggelar open house, disambut dengan baik saat bertandang ke rumah dinasnya dan diberikan wejangan yang menyentuh selayaknya orangtua kepada anak-anaknya. Hm, bukan saya memang yang merasakannya langsung, sebab saya tidak di Jakarta sehingga tidak bisa hadir. Tapi teman-teman saya mengabarkan melalui grup. Alasan itu pula yang melatari teman-teman saya begitu berempati atas kasus yang sedang beliau hadapi.

Banyak hal-hal baik yang beliau lakukan kapada kami saat kegiatan tahun lalu dan lebih-lebih setelahnya. Saya senang sekali saat pertama kali bertatap muka di Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional (PPPON). Betapa kami berlomba-lomba swafoto padahal beliau saat itu lelah setelah menghadiri Asian Games. Lalu akhirnya tiba waktu tanpa bersikut-sikut kami bergiliran saling sapa dengan beliau dan berswafoto sekaligus mendengar nasehat beliau yang menguatkan.

Berbeda saat kita mengenal seseorang lebih dekat daripada hanya sekadar tahu karena posisi dan jabatannya. Itulah yang kami rasakan bersama; berempati kepada apa yang menimpa beliau, terlepas dari benar atau salahnya. Doa kami menyertai agar beliau kuat menjalani proses hukumnya.

Banyak hal baik yang tidak bisa saya jabarkan; saya ingat dan saya rasakan sebagai kenangan baik. Beliau menteri yang berprestasi, ayah yang baik, dan saya percaya kebaikannya tidak akan terhapus. Kami menyerahkan semuanya kepada pihak berwenang agar proses hukumnya berjalan sebagaimana mestinya tanpa menghujat dan menyudutkan. Jika pun beliau harus menanggung hukuman, semoga ada hikmah yang bisa dihikmati sebagai bagian dari proses hidup lebih baik.*(Na/18919)

0 komentar