Gagal Belanja

Perjalanan bisnis membawa langkah Rena menyusuri Milan, kota yang tak pernah membosankan bagi penggemar mode dan maniak belanja. Kedatangannya kali ini adalah yang ketiga. Kadang, Ia sengaja meninggalkan dompet beserta kartu-kartu gesek demi menahan hasrat belanja yang menggila saat kedua matanya menangkap barang-barang bermerek di etalase toko. 


Milan

Rena paling sulit menolak rayuan halu barang-barang edisi terbatas. Tampil manis dan menggoda di dalam kotak kaca berkilauan, seakan memanggil-manggil untuk segera dimiliki. Setiba di penginapan ia akan menjumpai nominal saldo yang jebol dari kartu debit. Juga jumlah tagihan kredit yang mesti dibayar di waktu-waktu mendatang. Meski sebenarnya ia tak perlu cemas karena pemasukan yang deras ke rekening, ia tersadar hobinya berubah menjadi tidak sehat dan perlu dikendalikan.


Hari terakhir di Milan, ia sengaja menyusuri pusat perbelanjaan. Niatnya sekadar cuci mata. Rena sengaja membawa uang tunai yang hanya cukup untuk jajan makanan. Ketika kakinya sampai di depan toko tas bermerek, matanya membulat sempurna. Berbinar penuh takjub saat melihat sebuah tas tangan merah burgundi dengan dengan hiasan dari bulu-bulu angsa Italia halus bertengger manis di sebuah rak khusus berpenutup kaca. Di depannya tertulis "edisi baru terbatas".

Ia beku sebentar, mendekat dan semakin tergoda. Bukan hanya karena merek dan label edisi terbatas, tapi menyadari bahwa barang itu adalah barang yang sama ditampilkan majalah mode 6 bulan lalu. Perempuan berambut pirang itu membaca detail tas itu di majalah dan mengingatnya dengan sangat baik. Seketika ia terobsesi memilikinya ketika kelak dijual ke publik.

Tirai toko tiba-tiba tertutup saat ia masih mengagumi kemewahan tas yang sangat diinginkannya. Pramuniaga mengubah plang "open" menjadi "close". Rena terkejut, ingin memprotes mengapa toko itu tutup lebih cepat daripada seharusnya, padahal hari masih petang. Namun, ia urung. Penjaga toko tampak buru-buru dan semua pengunjung terlihat telah keluar dan menjauh. Dengan langkah berat sambil mengembus napas panjang ia meninggalkan toko.

Rena membuka jaket tebal setiba di penginapan, wajahnya kusut. Hatinya remuk oleh kecewa. Ia telah menyusur sepanjang pusat perbelanjaan tapi sedikit sekali yang menjual barang yang dicarinya. Lagi pula, tak ada yang tersisa barang satu buah. Ia tak punya waktu mencari lagi, penerbangannya terjadwal pagi menuju Indonesia.

*

Sebulan berlalu, Rena masih belum bisa sepenuhnya memadamkan kekecewaannya. Sejak lama ia menginginkan tas itu, mendambanya, ingin memilikinya. Tak ada lagi tersisa di dunia bahkan toko online tak berkesempatan menjual. Benar-benar edisi terbatas. Butuh waktu bertahun-tahun kemudian menunggu seseorang bosan lalu menggadai tas yang sempat mereka miliki itu.

Dalam perjalanan pulang, ponselnya berdering. Seorang teman sosialita mengingatkan pertemuan bulanan di sebuah restoran mewah. Hampir saja ia lupa jika tak diingatkan.

Restoran telah tampak ramai saat ia melangkah masuk. Segera ia menyapa ibu-ibu yang usianya berbeda jauh dengan dirinya. Ia masih gadis berusia 34, sementara rekan sosialita kebanyakan telah memiliki anak-anak gadis yang usianya setengah dari umur Rena. Profesinya sebagai pebisnis dan kemampuan berbaur menggiringnya berada dalam lingkaran sosialita. Perempuan-perempuan dengan gaya hidup mewah dan berkelas.

"Selamat soreee Jeng semua, aduh maaf rada telat. Biasa jalur ke sini macet." Seorang ibu bersanggul mendekat memecah keramaian dengan penampilannya yang mencolok menggunakan kebaya lengkap.

"Indonesia banget ya Jeng Rosi, datang ke mari pake kebaya." Seorang ibu berjilbab hijau menyapanya. Lalu mereka tertawa-tawa saling mengomentari penampilan dan kesibukan.

Rena yang baru saja dari toilet segera bergabung kembali dan tergesa menghampiri keramaian. Matanya memelototi Jeng Rosi.

"Duh, tas edisi terbatas, Jeng beli di mana? Saya nyari ini kemarin-kemarin tapi kehabisan." Rena sedikit tampak norak mengomentari tas tangan Jeng Rosi yang memang datang memamerkan tasnya sambil diangkat-angkat. Akhirnya ada yang menegur tas mahalnya.


"Iya Jeng Rena, ini edisi terbatas makanya cepat habis. Sudah sebulan lalu saya beli waktu liburan ke Milan. Tinggal satu-satunya! Hoho". Jeng Rosi tertawa seperti dibuat-dibuat. Betapa ia bangga memamerkan tas itu.

"Loh, saya juga ke Milan sebulan lalu, tapi tokonya tutup". Ekspresi Rena segera berubah sedih. "Jual ke saya Jeng, saya beli tambah seperdua harga". Rena tampak memelas.

"Aduh, maaf jeng! Saya juga jatuh cinta sama tas ini. Kapan-kapan kalo saya sudah bosan saya hubungi Jeng Rena. Kalo saya sudah bosan loh ya. Hohoho". Jeng Rosi kembali tertawa di saksikan semua perempuan sosialita di lingkaran itu. Sesuatu yang lumrah terjadi antara mereka.

Kekecewaan Rena kembali mencuat. Sejak lama ia menunggu, sejak lama ia mengenal, sejak lama ia mendamba. Saat penantiannya tiba, betapa perih hatinya menerima kenyataan bahwa rupanya yang didamba tak ditakdirkan menjadi miliknya. Padahal ia lebih dulu mengincar.

Kisah tas ini seketika membawa pikirannya bernostalgia pada pengalaman bertahun-tahun silam saat kekasihnya memutuskan menikahi teman Rena. Delapan tahun yang telah dilalui sekejap menjadi tak berarti apa-apa, membuat luka cukup dalam di hatinya. Betapa takdir benar-benar bekerja di luar kehendak, tak terduga. Mengingatkannya bahwa apa yang diinginkan tak melulu bisa dimiliki. Begitupun ketika dalam genggaman, belum tentu akhirnya dimiliki.


Rena bergegas pamit sebelum para sosialita berencana bubar. Tak peduli jika dikira baper persoalan tas dambaannya. Ia mengutuk bekas-bekas luka lama yang tiba-tiba muncul  di saat tak tepat. Mungkin ia butuh berjam-jam menenggelamkan tubuh di dalam kehangatan air.* (Na/17919)

9 komentar