Gempa dan Peringatan Tuhan

“Tanah goyang... tanah goyang… keluar cepat… keluar!” Seruan panik bercampur gaduh memenuhi telinga saya saat itu.

Seisi rumah panik bukan main. Segera bergegas keluar rumah sementara ada beberapa detik saya tidak menyadari apa yang terjadi. Saya beserta seorang teman dan seorang gadis pemilik rumah masih asyik bercerita soal keperempuanan sambil menunggu mesin cuci membilas pakaian kami—numpang cuci di rumah tetangga. Kami tidak menyadari lampu gantung yang bergerak kiri kanan. Saya benar-benar santai saja menanggapi situasi, lebih tepatnya terlambat menyadari.

Barulah ketika orang dari ruang belakang bergerak menuju pintu depan dan mengajak keluar, kami tersadar bahwa terjadi gempa berkekuatan dahsyat di suatu tempat. Getarannya benar-benar terasa dan cukup lama. Saat itu menjelang petang, gelap baru menyelimuti, adzan bersahutan dan kami dilanda kecemasan.

Orang Gorontalo menyebut gempa dengan istilah tanah goyang. Kala itu saya tengah berada di Pohuwato, Gorontalo Utara untuk sebuah kegiatan selama lima hari. Sesaat setelah bumi yang kami pijak bergetar, kami masih berdiskusi di luar rumah. Berjaga jika tanah kembali bergetar, kami mungkin bakal lari.

"Gempa di mana ya ini? Kuat sekali. Semoga mereka di sana baik-baik saja." Ucap seorang penghuni rumah.

Kami menebak-nebak di mana gerangan tepatnya lokasi gempa yang kami yakini cukup dahsyat. Saya ingat sehari sebelumnya di beranda Twitter BMKG memberitakan bahwa gempa melanda Palu dan Luwuk Sulawesi Tengah.

Saya lalu tahu kepastian dari BMKG bahwa gempa berkekuatan 7.7 SR disertai tsunami menghantam seluruh wilayah Palu dan Donggala hingga porak-poranda. Rumah teman-teman saya di kota Palu roboh. Gempa Palu dan Donggala terkenang sebagai bencana dahsyat yang menelan ribuan nyawa dan tak menyisakan apapun. Di akhir 2018 pada penanggalan yang sama tahun ini saya juga mengenang bencana ini sebagai sebuah peringatan dari Tuhan.

Beberapa hari terakhir, teman saya di Ambon terus melaporkan info terkait gempa yang mengguncang sebagian wilayah Maluku. Di televisi, reporter melaporkan sekitar 15.000 warga mengungsi setelah rumah mereka roboh oleh guncangan gempa. Bahkan dilaporkan pengungsi di Pulau Haruku Maluku Tengah masuk ke hutan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Mereka kekurangan bekal pangan, pakaian, dan kebutuhan bayi. Mereka tak bisa bergerak karena hujan melanda.

Bencana alam selalu menjadi peringatan bagi manusia untuk kembali mengintrospeksi diri. Adakah perbuatan yang melampaui batas yang telah  diperbuat hingga Allah menegur, hingga manusia menuai apa yang mereka "tanam" kepada alam.

Kita berempati penuh kepada saudara sebangsa yang tengah berduka. Doa dilangitkan sebanyak-banyaknya agar mereka selalu dalam lindungan Tuhan dan secepatnya mendapat pengganti. Mungkin adapula yang masih dalam kekhawatiran dan trauma pasca bencana. Semoga perlahan waktu mengobatinya dengan segera.

Tentu, untuk saat ini mereka amat membutuhkan uluran tangan kita. Bantuan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Ada banyak posko penyalur bantuan yang bisa kita hubungi, baik mengirimkan donasi berupa uang atau barang. Jika sendiri terasa sulit, kita juga bisa bersama teman untuk bergerak mengumpulkan bantuan. Semoga sekecil apapun usaha yang kita kerahkan mampu membantu saudara kita.*(Na(/27919)

0 komentar