Titisan Dewi Hujan

Masih pukul empat saat gelap menyergap kota seperti malam yang datang lebih cepat. Jalanan sepi, yang tampak hanyalah kendaraan roda empat yang menggilas aspal dengan akselarasi tinggi. Seakan saling adu kecepatan dengan jarum air yang tumpah ruah di kota X. Semua orang menggila berlomba ingin segera tiba di tujuan.

Hujan

Sementara emperan toko ramai pengendara bermotor yang menepi, berteduh karena tak membawa mantel. Ada yang bermantel plastik lengkap tapi memutuskan mengambil jeda karena sulitnya memandang lurus jalanan. Terlalu deras air menghantam wajah, sementara menutup kaca helm mengundang embun yang memperpendek jarak pandang.

Di antara orang-orang yang berteduh, tampak perempuan bersetelan kantor yang gelisah. Dua puluh menit berselang ia telah bersiap melajukan motor. Berpasang-pasang mata memandang heran ke arahnya. Hujan belum juga reda sementara perempuan itu tak bermantel, tak memasang helm. Ia menembus derai hujan dengan santai, menikmatinya tanpa sedikitpun rasa khawatir; sakit.

Di sebuah perempatan, ia seharusnya membelok ke arah kanan tapi ia melajukan roda dua merah miliknya lurus. Ia sangat sadar bahwa keputusannya justru membuat  ia semakin lama tiba di rumah. Karena harus melintas jauh dan berputar. Rute yang biasanya hanya akan ia tempuh jika macet saat jam pergi-pulang kantor.

Tak ada yang memerhatikan. Tak ada yang memedulikan. Semua pengendara sibuk dengan rute masing-masing. Pengendara motor bisa dihitung jari. Sedikit sekali yang nekat menembus keras hantaman air langit. Lagipula, kaca-kaca mobil penuh embun. Tak ada yang sempat mengelap karena mungkin terlelap.

Satu kilometer menuju rumah, tubuhnya telah mengirim sinyal gigil. Mengerutkan kulit-kulit jemari yang lekat erat mengendali setir. Bibirnya membiru menuju ungu, bergetar tanpa kendali.

Pagar indekos tingkat tiga tempatnya tinggal tertutup rapat. Padahal biasanya terbuka lebar. Memudahkan ia langsung memarkir motor di halaman. Tangannya sempurna bergetar kala ia membuka kunci pagar dan mendorongnya. Sudah persis terkena tremor dadakan. Semua kamar tertutup rapat. Sepi. Ia menebak bahwa semua penghuni tengah asik berkelana di alam mimpi, bergelung dalam kehangatan selimut. Dan separuh penghuni lainnya mungkin masih terjebak di luar.

Tak ada yang seberani dirinya, ia pikir. Ia dengan bangga menobatkan diri sebagai titisan dewi hujan. Tahan dingin dan tetap tegar walau tersiram deras air bertubi-tubi.

Hujan baginya adalah berkah. Waktu yang sempurna menguapkan kesah yang berhari-hari menumpuk di dada. Saat kepalanya tersiram, ada sensasi dingin yang mengalir masuk meredakan amarah dan benci. Hujan baginya adalah waktu yang tepat meluapkan kegelisahan yang jenuh di dalam hati. Saat segalanya berubah menjadi air mata, siapa yang tahu pipinya basah? Saat ia terisak bahkan berteriak kencang, siapa yang mendengar? Saat ia harus menanggung bayaran atas pertukaran sedih dengan gigil, siapa yang peduli?

Jejak-jejak air membekas di lantai sampai ia tiba di pintu kamar. Tak lagi peduli akan ada penghuni lain yang mengoceh karena perbuatannya. Susah payah ia mengerahkan tenaga membuka pakaian basah yang lengket di badan. Menggantinya dengan piyama yang seketika menghangatkan kulit. Kepalanya pening, berat. Gigil dan getar belum juga berhenti. Ia tak sanggup lagi berkeramas dan meluruhkan bekas-bekas air hujan dengan air bak yang sama dinginnya.

Setelah berganti baju, minum air hangat, membalur bagian tubuhnya dengan balsem dan minyak kayu putih ia matikan lampu kamar dan tidur dalam alunan hujan yang belum juga reda barang sebentar. Suhu tubuhnya berganti. Ia tahu sebentar lagi terserang demam. Tak ada sesal. Ia senang memikirkan bahwa sakit akan menjadi alasan terbaik untuk libur. Dalam serangan demam, dan gigil yang belum berhenti, ia tersenyum memikirkan libur; rehat dari padatnya aktivitas dan tekanan kerja di ibukota, macet yang memangkas kebahagiannya, orang-orang ibukota yang tak punya hati dan sesaknya rindu pada kampung halaman yang selalu datang menyerang bersamaan. Kali ini, ia ingin berdamai dengan diri sendiri walau sebentar.*(14919)

0 komentar