Memilih Menjadi Penulis Fiksi atau Nonfiksi?


Apakah seorang penulis fiksi sebaiknya terus menulis fiksi untuk memantapkan penjenamaan dirinya?
Dua tahun lalu, saya mengikuti lokakarya menulis dengan mengulik sisi humanis/kemanusiaan sebuah objek. Tentu saja objek utamanya adalah manusia. Mirip menulis feature dalam karya jurnalistik. Kala itu pemateri yang diundang komunitas saya adalah Pepih Nugraha. Penulis yang telah malang melintang di dunia literasi saat bergabung dengan Kompas dan mendirikan Kompasiana.

Saya mengenalnya sebagai penulis yang menghasilkan produk jurnalistik dan artikel-artikel berbau kritik terhadap masalah nasional. Namun, dua hari yang kami habiskan bersama di ruang pelatihan membuat saya tahu rupanya saat masih mahasiswa karya beliau sering dimuat majalah dan koran. Bukan artikel atau opini melainkan cerpen. Berarti bahwa karyanya bukan kaleng-kaleng. Lalu saya bertanya-tanya apakah beliau akhirnya memutuskan hijrah dari penulis fiksi (cerpenis) menjadi penulis nonfiksi (jurnalis)?

Pertanyaan itu tidak sampai saya utarakan. Saya ganti dengan pertanyaan lain bahwa saya gemar menulis cerpen tapi belakangan ketika sibuk menyusun skripsi dan menulis laporan praktikum yang penulisannya lebih formal, saya merasa kehilangan kemampuan menulis cerpen. Saya merasa kehilangan rasa, semangat, diksi dan tidak pernah berhasil menuntaskannya meski hanya ratusan kata.

Pertanyaan saya juga menjurus pada: apakah seorang penulis fiksi sebaiknya terus menulis fiksi untuk membangun branding pribadi? Beliau menjawab dengan cerita latar belakang beliau sebagai cerpenis majalah yang meski telah tenggelam dalam dunia kepenulisan nonfiksi tetapi masih tekun mengasah kemampuannya menulis fiksi. Beliau masih rajin baca produk-produk fiksi seperti novel, prosa dan puisi. Padahal jika dipikir atau menebak, seharusnya beliau banyak membaca karya jurnalistik lainnya. Kemungkinan lebih tekun membaca esai dan tulisan nonfiksi lain.

"Banyak orang berpikir jika profesi jurnalis harus selalu membaca buku-buku nonfiksi. Padahal dulu sewaktu masih magang di Kompas, kami dironrong untuk banyak membaca novel. Kalimat-kalimat percakapan, diksi-diksi yang dimuat dalam novel itu sangat berguna bagi kami menulis berita dan laporan." Ceritanya kemudian.

Terjawab sudah! Selama menyusun skripsi, saya memang tidak pernah membaca novel. Terlalu sibuk membaca buku referensi sehingga kepala saya hanya merekam semua kalimat-kalimat baku dan ilmiah. Saya kira banyak yang merasakan hal serupa: apa yang kita baca mempengaruhi apa yang kita tulis.

Seperti teman saya yang hobi sekali membaca novel, tulisan yang dihasilkannya kemudian adalah cerita-cerita pendek, puisi dan prosa. Pernah saya bertanya mengapa ia tak pernah menulis artikel dan ia jawab bahwa artikel terlalu berat. Tidak sedikitpun menjadi minatnya. Ia juga mengakui bahwa semua tulisannya banyak berpengaruh dari buku bacaannya. Kentara sekali pengaruh besar Fiersa Besari dalam tulisan-tulisannya.

Selain Kang Pepih, banyak nama-nama beken yang tidak hanya fokus sebagai penulis fiksi/nonfiksi saja tetapi menulis kedua jenis tulisan dengan sangat baik. Sebut saja Maman Suherman, Eka Kurniawan, dan banyak lainnya. Saya membaca novel keduanya, kali lain pernah membaca esainya di media.

Banyak penulis yang menghasilkan kedua jenis karya yang awalnya saya kenal dari novelnya. Ya, mereka memang lebih dikenal sebagai novelis karena karyanya best seller atau mendapat penghargaan literasi. Mereka menginspirasi saya bahwa tidak perlu kaku dan menulis hanya pada satu jenis karya.

Bisa saja membranding diri  sebagai penulis fiksi atau nonfiksi tetapi tidak membatasi hasil karya yang dihasilkan. Dari pengamatan itu juga, saya mengetahui bahwa lebih banyak penulis yang bermula/lahir dari karya fiksi lalu menulis karya nonfiksi sama bagusnya. Mungkin ada yang berawal dari penulis nonfiksi dan mampu menulis fiksi juga sama baiknya. Namun jarang, apalagi jika penulis karya ilmiah.

Khusus di blog, sedari awal membuatnya, saya lebih sering menulis nonfiksi. Baik berupa curhatan pribadi, review (buku, film, kegiatan dan tempat), artikel, tips dan catatan hikmah kehidupan. Blog bagi saya sudah serupa catatan digital harian dan tempat berbagi sehingga jarang menulis cerita fiksi.

Namun, beberapa hari ini saya jadi rajin menulis fiksi. Sebab memang, sebenarnya passion saya besar sekali pada fiksi. Di samping itu, menulis fiksi melatih banyak hal: kreativitas, diksi, dan kemampuan mengambil keputusan (akan seperti apa akhir cerita).

Masih menjadi misteri apakah nanti, selama mengikuti ODOP, blog saya akan lebih banyak diisi tulisan fiksi atau nonfiksi. Kecenderungan saya adalah fiksi, tapi sekali lagi bahwa menulis di blog mendorong saya lebih sering menulis nonfiksi. Novelis favorit saya, Eka Kurniawan, pernah menulis pesan bahwa sekalipun kita menulis rutin setiap hari, belum bisa menjamin kita mampu menulis dengan baik. Saya berharap bisa konsisten menulis, setidaknya menjadi biasa ketika dalam lingkup ODOP ini. Menjadi penulis baik itu urusan nanti, saya berkeyakinan bahwa konsisten 'ngodop' ini membawa perubahan baik bagi tulisan saya.*(Na/20919)

8 komentar

  1. Untuk doa yang dipanjatkan di paragraf terakhir: aamiiin.
    Semangat selalu Kak Hannah!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kak Mardiah. Semangat buat kakak juga. :D

      Hapus
  2. Apakah fiksi atau non-fiksi akan mengalir seperti air saja ya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. pertama tentu berawal dari ketertarikan pribadi, lebih suka menulis fiksi atau nonfiksi. hal itu mempengaruhi semangat kita dalam menulis. tentu yang paling disukai lebih membuat kita bersemangat. mengetahui ketertarikan tentu mencoba lebih dahulu. mana yang dirasa saat menuliskannya lebih mengalir dan tidak perlu bersusah payah dan merasa terbebani dalam menuliskannya. tapi ya tetapi sih harus bisa menulis keduanya meskipun nanti akan ada kecenderungan ke salah satunya :D

      Hapus
  3. Sejauh ini saya masih nyaman bernon fiksi ria, kalau nulis fiksi berasa keluar dari zona nyaman. Mungkin karena sekarang makin jarang juga baca buku-buku fiksi, bacanya buku parenting melulu. Hehe. Semangat menulis mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. boleh tuh mbak sesekali nulis fiksi, biar keluar dari zona nyaman, menantang diri. kali aja ternyata tulisannya bagus.

      Hapus
  4. Tulisannya jadi masukan dan motivasi, semoga bisa terus konsisten menulis. Terima kasih.

    BalasHapus