Nenek Pakande

Tersebutlah seorang perempuan tua yang tinggal di sebuah desa di Sulawesi Selatan. Kehadirannya ditakuti seluruh warga desa. Konon, karena ia sakti mandraguna dengan ilmu sihir turun temurun yang dimilikinya. Tak ada yang berani mendekati apalagi bercengkerama dengannya.

Perempuan tua itu terkenal dengan julukan "Nenek Pakande". Dalam bahasa masyarakat setempat bermakna Nenek Kanibal (pemakan orang). Ia dijuluki demikian oleh sebuah selentingan yang mengatakan jika perempuan tua itu memangsa anak kecil.

Kabar itu semakin dipercaya setelah seorang warga kehilangan putranya yang berumur delapan tahun ketika bermain sendiri di luar rumah. Sebelum anak lelaki itu menghilang, diketahui Nenek Pakande baru saja lewat di depan rumahnya. Setelah kejadian itu, bocah lelaki tak lagi pernah tampak batang hidungnya. Tak diketahui lagi bagaimana nasibnya.

Orang tuanya menangis dan meminta kepala desa mencari hingga akhirnya anak lelaki harus diikhlaskan. Nenek pakande jadi tertuduh yang paling kuat karena ilmu sihir yang dimilikinya. Warga menebak jika Nenek Pakande menjadikan anak lelaki santapan hariannya. Mengingat si nenek juga punya kebiasaan makan yang ekstrim. Ia gemar menyantap binatang hutan: ayam hitam, kelinci dan rusa.

Namun, tidak ada yang berani menangkap Nenek Pakande. Semua takut terkena sihir. Tidak ada yang berani memanggil polisi untuk meringkus Nenek Pakande. Tidak ada satu pun bukti kuat jika bocah lelaki raib dimakan Nenek Pakande. Tidak ada yang berani mendekati gubuk reot Nenek Pakande. Sebab tidak ada yang mau dikejar anjing hitam berwajah galak yang berjaga di pekarangan sempit gubuk Nenek Pakande.

Nenek Pakande jarang keluar rumah. Jika pun keluar, ia hanya berkeliaran di sekitar hutan. Sesekali melintas di jalanan rumah warga jika hendak kembali dari hutan menuju rumahnya.

Jalanan yang disusurinya sepi dan tak pernah tampak warga desa. Semua mengurung diri di rumah ketika tahu Nenek Pakande keluar gubuk. Semua yang berada di jalanan akan pontang-panting masuk ke dalam rumah ketika melihat sosok Nenek Pakande dari kejauhan.

*

Suatu hari, dua orang bersaudara asyik bermain di jalanan rumah. Anak itu Marsha yang berumur 10 tahun bersama Yunisa yang berusia dua tahun lebih muda. Mereka asyik menaklukkan permainan dende bulan sampai terlupa jika matahari perlahan merangkak kembali ke peraduannya.

"Marshaaaa... Yunisaaaa... sudah hampir malam. Ayo masuk rumah! Besok baru lanjut main!" Ibu mereka memanggil dari dalam rumah. Namun, mereka hanya menyahut tanpa memedulikan perintah Ibu. Akhirnya, Ibu keluar dan memaksa mereka masuk.

"Sebentar Bu, ini kami hampir selesai main. Sebentar lagi mendarat di bulan." Kata anak tertua.

"Besok lagi baru lanjut! Sudah hampir gelap. Ayo cepat masuk!" Ibu semakin memaksa mereka masuk.

Tetapi kedua kakak beradik bersikeras ingin menyelesaikan permainan. Mereka menolak masuk rumah sambil meringis bahwa mereka hampir selesai. Karena bosan dan lelah memaksa kedua anaknya masuk, akhirnya ibu masuk ke rumah duluan sambil berjalan tergesa ke dapur menengok nasi yang ditanak.

Hari hampir gelap sempurna sementara kedua anak belum beranjak masuk ke dalam rumah. Dalam gelap mereka tidak mengetahui bahwa Nenek Pakande hendak melintas di jalanan rumah mereka. Keduanya baru tersadar ketika Nenek Pakande berada tepat di belakang mereka. Pekikan mereka menjadi pengisi hening di kala petang bersama suara burung yang kembali ke sarang.

Ibu yang selesai mengangkat nasi hendak kembali memaksa masuk anaknya. Namun, tak ada tanda-tanda lagi ke mana anaknya pergi. Ibu panik dan bergegas ke rumah tetangga hendak mengadu.

Setelah mendengar cerita Ibu yang kehilangan dua anak gadisnya, kepala desa bersama warganya sepakat mencari segera anak tersebut di seluruh penjuru desa hingga ke hutan. Menjelang tengah malam, para warga berkumpul kembali di rumah kepala desa seusai aksi pencarian. Mereka melaporkan hasil pencarian bilamana ada bukti jejak ke mana kedua anak menghilang.



"Apakah ada yang menemukan tanda-tanda ke mana kedua anak pergi?" Kepala desa memandang semua warganya. Berharap penuh ada yang bersuara. Para warga hanya saling pandang sesama. Semakin lama tak terdengar tetanda, suara tangis ibu yang kehilangan anaknya semakin nyaring mengisi kesunyian.

"Pak Desa, jika sudah begini, sudah jelas siapa yang menculik kedua anak itu." Seorang pemuda berambut gondrong, berkulit putih dan bertubuh cukup kekar tiba-tiba bersuara. Wajahnya menggambarkan antusiasme yang besar.

"Maksud kamu apa anak muda?" Bapak tua di antara kerumunan warga menyahut dengan tanya.

"Ini pasti ulah Nenek Pakande! Kita harus segera bertindak sebelum lebih banyak korban berjatuhan."

"Hei anak muda, kau punya ilmu apa berani melawan Nenek Pakande?"

"Aku punya ide bagus saudara-saudara sekalian! Aku yakin kita bisa mengalahkannya dengan akal budi dan kecerdasan yang kita punya!"

"Ayo segera sampaikan!" Sahut-menyahut di antara para warga terjadi. Mereka seperti tak sabar.

Anak muda tersebut hendak menjebak Nenek Pakande. Setelah semua warga mengetahui rencana sang pemuda dan menyetujuinya, dua hari kemudian mereka segera melancarkan aksi. Seorang anak di arahkan bermain-main di belakang rumah Nenek Pakande sebagai umpan. Tentu saja, anak itu dalam pengawasan penduduk desa.

Ketika Nenek Pakande keluar dari pintu belakang gubuknya, ia melihat anak yang berisik itu dan mengejarnya sampai ke dalam hutan. Anak itu berlari mengarah pada jebakan yang telah dibuat warga desa. Sebuah lubang sedalam 5 meter yang penuh lumpu tertutupi rumput kering.

Ketika anak kecil berhenti di seberang jebakan, ia sengaja memancing amarah Nenek Pakande dengan ejekan dan sikap tidak sopan. Nenek Pakande geram, mengejar bocah lelaki itu dengan langkah patah-patah berbantukan tongkat kayu. Lalu byurrr... Nenek Pakande terjerembab masul ke lubang dan bermandikan lumpur yang telah dicampur sampah dapur.

Nenek Pakande tidak hanya kotor tapi juga berbau busuk. Lumpur membuatnya sulit bernapas dan tak sanggup keluar dari lubang. Sejak pagi ia dalam kubangan. Ketika matahari tepat di atas kepala, warga melihat lubang sudah kosong. Jejak-jejak lumpur mengarah masuk ke tengah hutan.

Di sana, jebakan kedua telah di pasang. Mereka senang berhasil mengarahkan nenek tua itu masuk ke hutan. Ada kurungan ayam yang digantung di atas pohon beserta batu pemberat yang siap menindih tubuh ringkih orang tua itu.

Sewaktu jarak jebakan tinggal selangkah, sebuah suara riuh terdengar mengalihkan perhatian nenek hingga ia berhenti mencari sumber suara. Namun, suara itu hanyalah pancingan. Beberapa warga memutuskan tali pengikat hingga kurungan kayu sukses memerangkap Nenek Pakande.

Ia meronta ingin melepaskan diri. Namun, sebuah pemberat menahannya. Tongkat kayu yang dimilikinya, ia manfaatkan menerabas pengurung hingga rapuh dan ia berhasil keluar. Warga menebak jika ia memanfaatkan ilmu sihirnya.

Tampak lelah tergambar jelas di wajah keriputnya. Sosoknya semakin terlihat menyeramkan dengan lumpur mengering, tanah, dan dedaunan kering yang menempel tak karuan. Nenek Pakande bangkit berjalan, semakin pelan dan tak bertenaga.

Beberapa meter ke depan, jebakan terakhir menunggunya. Batu kali besar yang siap menindih tubuhnya yang kurang tenaga digantung di sisi pohon. Tersembunyi dari tubuh pohon besar. Beberapa langkah lagi dari jebakan, para warga yang bertugas menjalankan aksi bersiap. Namun, belum sempat memancing, Nenek Pakande tersungkur. Menggelepar di tanah bagai ikan di daratan lalu hening dan tenang.

"Kenapa tukang sihir itu? Ayo kita tengok! Mungkin dia sudah mati." Ajak seorang perempuan kepada warga lainnya.

"Tenang, jangan gegabah! Ini jebakan! Bisa saja dia cuma pura-pura, lalu nanti menyihir kita!" Lelaki di sebelah perempuan itu menahan hingga mereka tetap mengamati di tempat yang sama.

Mereka menunggu berjam-jam. Lama sekali sampai para warga itu bosan sendiri. Akhirnya seseorang memberanikan diri memeriksa Nenek Pakande. Tak ada denyut nadi dan jantungnya sudah berhenti berdetak. Nenek Pakande tewas sebelum jebakan terakhir. Warga akhirnya memboyong tubuhnya ke rumah kepala desa untuk dikubur.

*

Seharusnya para warga berbahagia setelah kematian Nenek Pakande. Namun, kuburan nenek yang tertuduh memiliki ilmu sihir dan hobi memangsa anak kecil itu justru ramai dikunjungi setiap hari. Gubuk reot miliknya direnovasi dan diubah menjadi taman belajar yang kini jauh dari kesan seram dan suram.


Sepekan pertama, tak ada yang tak berhenti menangis karena merasa berdosa membunuh Nenek Pakande. Tepat saat ia meninggal, pemuda dan warga desa memeriksa rumah Nenek Pakande dan menemukan ruangan yang penuh anak kecil. Anehnya, tak ada anak yang terlihat menderita dan tersiksa.

Semua anak yang menghilang dari desa berada di sana. Mereka asyik bermain dan belajar. Aneh! Tapi itulah yang terjadi. Mereka tidak mau pulang karena betah tinggal bersama Nenek Pakande. Mereka menangis keras ketika tahu Nenek Pakande mati.

Anak-anak itu bercerita bahwa Nenek Pakande tidak jahat. Nenek tidak makan anak kecil. Nenek mengajari mereka sopan santun dan adab dengan cara menyenangkan melalui cerita dongeng masa lalu yang menarik. Anak-anak itu tidak mau pulang karena senang bisa bermain dengan teman-teman sebayanya.

Nenek Pakande berencana memulangkan anak-anak itu ketika dipikirnya sudah memiliki rasa hormat pada orang tua. Ketika nenek melihat perubahan sikap anak-anak. Nenek selama ini kesepian, menghabiskan tahun-tahun seorang diri. Nenek Pakande juga bersedih. Ia diam-diam melihat dan mengamati anak-anak desa yang tak sopan dan pembangkang pada orang tua dan sekitarnya. Nenek Pakande seperti namanya, ia hanya hobi makan binatang hutan yang juga dibagi dengan anak-anak sehingga ia semakin sering masuk hutan.

Nenek Pakande memang sejak muda pandai berburu. Ia bungkam dengan segala kebaikan terselubung yang bagi sebagian orang tetap dinilai salah karena tak memberitahu. Tapi apa hendak dikata, jika tak ada yang berani bercakap dengannya. Nenek Pakande bukan penyihir. Ia memang kuat sampai berumur puluhan tahun, ia masih bugar karena sering minum ramuan.

Betapa warga merasa amat bersalah terlebih pemuda yang mencetus ide membunuh Nenek Pakande dengan berbagai jebakan kurang ajar. Maka, dengan segenap hati pemuda itu berjanji meneruskan perjuangan Nenek Pakande. Ia mengajarkan anak-anak adab dan kebiasaan baik melalui dongeng, permainan dan berbagai bacaan di gubuk reot yang ramai-ramai dibangun warga menjadi layaknya istana bagi anak-anak desa.*(Na/061019)

Diadaptasi dari cerita rakyat Sulawesi Selatan dengan judul yang sama. Sebagian isi cerita telah diubah dalam rangka mengikuti tantangan menulis ODOP Batch 7 pekan ke-empat. 

1 komentar