Perempuan yang Kucintai

Masih lekat dalam ingatanku garis-garis tangannya yang berkerut membelai lembut pucuk kepalaku tiap kali akan terlelap. Keriput tangannya tiap hari makin jelas tak mengurangi kekokohannya untuk bekerja. Rambutnya yang dulu masih abu-abu, terakhir kali tertangkap telah memutih semua oleh kornea mataku. 


Ingatannya masih baik, sebaik dia merawatku dari perempuan yang telah menodai hidupku. Nenek, satu-satunya perempuan yang kukenal baik dalam hidupku telah menyelamatkanku dari kebiadaban perempuan yang dari rahimnya aku mengenal dunia tapi tidak pernah mengenal kasih sayang.

Perempuan itu, makian kasar sering terlontar dari bibirnya yang terpulas gincu merah. Matanya yang dilingkari celak hitam kerap membuatku takut oleh pandangan paling penuh amarahnya. Rahangnya makin tegas tatkala melampiaskan kekesalan padaku lewat pukulan dan cubitan yang membirukan badanku. 

Kuku-kukunya yang panjang berwarna-warni pun sering melukai kulitku dalam hingga lama sembuh. Aku tak pernah bisa berkutik apalagi melawan, di usia yang masih kanak-kanak aku hanya bisa berteriak kesakitan dan meraung meminta berhenti. Akhir dari penyiksaan panjang itu baru bisa usai saat nenek dengan berani menjemputku secara paksa dan perempuan setengah waras itu pergi meninggalkan kota bersama lelaki yang menjemputnya dengan mobil hitam mengkilap.

Di rumah nenek penderitaanku belum betul-betul berakhir, sebab tiap kali melihat perempuan berambut panjang dengan gincu merah dan mata bercelak aku mengingat ibu dan perlakuan kasarnya padaku. Aku mendadak histeris. Meraung seperti kesetanan. Tak bisa berhenti sebelum tenggorokanku parau karena berteriak. Aku tumbuh menjadi lelaki penakut yang tidak bersekolah karena terlalu takut melihat guru wanita dan tidak pernah keluar ke tempat ramai. Nenek hanya membayar guru lelaki untuk mengajarku di rumah. 

Diriku benar-benar telah tumbuh bersama kebencian, trauma, dan dendam yang disebabkan oleh ibuku. Sepanjang waktu kutahu diam-diam nenek terus mengkhawatirkanku, tapi psikiater andal sekalipun tak bisa benar-benar menghilangkan rasa trauma itu. Meski seiring kedewasaanku, pelan aku bisa bertemu dengan wanita dewasa lainnya termasuk teman-teman kerjaku saat memutuskan untuk mengambil alih tanggungjawab keluarga.

Seorang rekan kerja pernah memberitahuku bahwa kadang-kadang teman-teman wanitaku di kantor menggosipkan tingkah anehku dan statusku yang masih bujang. Mereka kadang berusaha mendekatiku bahkan menjodohkanku.

“Kalian pikir ini masih zaman Siti Nurbaya pake’ main jodoh-jodohin segala! Urus saja urusan kalian!” Emosiku meledak di hari kamis terik saat kerjaan pula menumpuk.

“Ih, nyantai dong Pak Imawan! Kita-kita itu anggap bapak teman kami makanya kami kasihan liat bapak yang masih single! Kita cuma niat bantu kok!” Beberapa perempuan teman kantorku pun menjauhiku dan tak lagi benar-benar berani menyapa setelah kejadian itu. Jujur saja, penyesalan menghinggapiku sampai tak sanggup berkonsentrasi dengan tugas kantor.

“Mawan, apa sudah ada seseorang yang menarik perhatianmu?”

“Banyak kok Nek, kecuali perempuan!” Mendengar ujung dari kalimatku, nenek menyerah sebab tahu pembicaraan itu tak akan sampai pada tujuan yang sebenarnya.

Di sabtu siang yang cerah, nenek memasak banyak sekali makanan dengan menu yang tak biasa. Menu berbahan dasar makanan laut mendominasi meja makan. Rupanya ada cucu nenek yang lain bertandang ke rumah. Itikad dari mereka ternyata merencanakan perjodohan. Seorang gadis yang masih cucu perempuan nenek direncanakan untuk dijodohkan denganku. Keras aku menolak dan dengan tidak sopan kutinggalkan pembicaraan busuk itu dengan makanan bersisa di piring putihku.

Wanita tua itu pasti malu dan seharusnya marah padaku. Saat ku buka pintu rumah, ia tetap menyambutku seperti biasa bahkan meminta maaf dengan memasakkan menu makanan laut pengganti. Ia tahu, traumatis dalam jiwaku belum benar-benar sembuh tapi bagiku pun hanyalah kesia-siaan untuk meluangkan hidupku menikah. Tujuan yang tidak pernah masuk dalam daftar mimpi dan keinginan hidupku.

Tahun-tahun berlalu, aku baru benar-benar mengerti mengapa nenek terus memaksaku menikah meski tahu ada luka yang tidak bisa sembuh dalam jiwaku. Hari ini semua terjawab. Di bawah gundukan tanah merah yang telah mengering aku berharap nenek memaafkan sikapku yang telah melukainya. 

Siang malam kudoakan kebaikan untuknya di alam sana. Bersama Kamelia dan benih dalam kandungannya aku mencium pusara nenek beberapa kali. Demi nenek akhirnya aku menikahi cucu perempuannya yang lain, benar wanita ini berbeda. Dia bukan ibuku dan kelembutannya telah perlahan mengobati traumatisku dan rasa sepi ditinggal nenek selamanya. Kini wanitaku bukan lagi hanya nenek, tapi juga istriku dan mungkin anakku jika ia lahir sebagai perempuan.***

1 komentar