Hidup Bagaikan Tahu Bulat?

Sebuah notifikasi masuk melalui obrolan grup yang enam bulan terakhir menjadi pantauan terdepan. Dikirim langsung oleh admin yang menjawab pertanyaan beberapa kawan maya (yang sebentar lagi mewujud menjadi kawan seperjuangan) tentang jadwal keberangkatan kegiatan yang kami ikuti. Tiga pekan sebelum keberangkatan akan dikabarkan, harap bersabar! Begitu isinya.

Menenangkan sekaligus menggelisahkan. Pasalnya, kami sudah menunggu dua bulan terkait kabar keberangkatan. Namun, belum juga ada hilal. Saya memahami, teman-teman saya yang sebagian besar telah berkeluarga itu ingin mempersiapkan banyak hal, termasuk mempersiapkan diri menghadapi momen berpisah yang jangka waktunya tidak singkat. Plus, jaraknya tidak dekat. Mesti memakai paspor dan visa untuk menebus rindu yang kian waktu kian menggunung. Belum lagi yang berencana resign. Jika ternyata salah memprediksi jarak, terancam pailit oleh pemenuhan kebutuhan yang semakin banyak.

Sebenarnya bukan dua bulan saja. Namun, sejak Juni sampai dua hari sebelum saya menulis ini, dua grup, regional dan nasional, selalu saja ada yang bertanya perihal kapan waktu keberangkatan. Serius, tiada hari tanpa seseorang yang mempertanyakannya. Sudah bersaing dengan teman-teman (kerja, komunitas, kuliah dan yang mengetahui rencana saya) yang setiap saya memperbarui stori Watsap bakal bertanya perihal “kapan”. Kok ya malah jadi lebih seram dari pertanyaan “itu”?

Saya memilih cuek dan tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Pelan-pelan, rasa gereget dan antusiasme yang dulu memuncak kemudian meredup. Sudah jauh beranjak dari tanggal yang dipajang di situs resmi. Saya malah jadi berat pergi. Suatu sore saat baru saja membuka mata dari tidur siang singkat yang terganggu, saya terdorong mengecek ponsel. Ada puluhan pesan baru dari grup pantau nasional dan ratusan dari grup pantau regional. Ada apa?

Degup jantung saya terasa berlomba dengan sepersekian detik waktu yang bergulir. Perasaan saya tidak nyaman, segera saya buka grup pantau dan mendapati admin grup yang mengirim rilis resmi jadwal keberangkatan dan segala printilan yang harus dipersiapkan. Deg! Saya lemas. Loh, bukannya ini kabar baik yang sekian lama saya tunggu? Iya, berpekan-pekan lalu. Lagi pula saya tidak masuk daftar orang yang sekali pun mempertanyakan perihal kapan. Justru menjadi orang yang masuk daftar bosan ditanya karena akan menjawab dengan ketidakpastian yang juga membosankan bagi penanya.

Salah satu hal yang membuat saya lemas adalah betapa mendadaknya kabar tersebut. Katanya tiga pekan, hey ini sepekan dari hari H loh! Saya sungguh tidak ingin tergesa-gesa dan di luar dari pertanyaan membosankan teman-teman saya yang terdengar seperti mengusir dan mencurigai jika saya kena tipu, saya woles saja menikmati hari-hari yang tersisa dan hangat Makassar di bulan Oktober bersama orang-orang tersayang. Namun, kabar dadakan itu membuat kepala saya pening memikirkan agenda yang sudah saya susun. Sebelumnya, beberapa orang telah mengingatkan untuk bersiap-siap jikalau ada kabar dadakan. Benar saja, kabar baik itu datang mendadak di saat ada banyak niat baik lain yang ingin saya realisasikan.

Ini bukan kali pertama saya menerima kabar dadakan. Juga bukan pertama kali didadak. Namun, kesan dan rasanya selalu sama, mengesalkan! Banyak agenda yang harus dibatalkan dengan berat hati. Banyak keperluan yang awalnya ditunda menjadi perlu disiapkan segera. Ada perasaan yang belum ditata untuk beranjak pergi dalam waktu dan jarak yang terbentang. Betapa… saya diajari untuk cepat tanggap dan sigap bertindak.

Jika saya telusur kembali, hidup saya memang penuh dengan hal-hal dadakan. Seakan saya diberi kejutan di waktu yang sungguh tak terduga. Beberapa kegiatan nasional pun sering sekali mendadak mengumumkan keberangkatan dan pelaksanaan kegiatan. Saya sering sekali dibelajarkan untuk berlaku sabar tapi belum lulus juga. Sayang, beberapa orang yang menduga hal buruk terjadi akhirnya mundur. Beruntung, saya masih mau sedikit bersabar menunggu.

Saya sendiri senang sekali mengulur waktu hingga memanfaatkan the power of kepepet yang selalu bekerja dengan baik di ujung tenggat. Jika para ontimers bertanya mengapa begitu senang berkepepetria, jawaban saya karena pekerjaan (entah mengapa) terasa semakin mudah dan otak saya bekerja lebih baik dalam memburu akhir waktu.

Meski begitu, saya tetap tidak senang didadak. Rasanya berbeda jika merencanakan keperluan mendadak dengan orang lain yang memberi kabar dadakan. Mengakhirkan pekerjaan itu berarti sudah mengestimasi waktu penyelesaian dan mengukur kemampuan dalam menyelesaikannya tepat di ujung tenggat. Tapi didadak? Orang lain yang mengukurnya tanpa mengetahui pasti apakah ada kendala yang dihadapi individu dalam menyelesaikannya tepat waktu.

Kendala yang tidak terduga mungkin juga menjadi penyebab lain dari kabar dadakan yang tidak diketahui oleh penerima kabar. Jika sudah begitu, mungkin tidak perlu mengeluhkan kabar dadakan. Meski tetap saja, saya dan banyak orang sering mengeluh karena terbatasnya pengetahuan.

Akan selalu ada kabar dadakan. Akan selalu ada hal-hal yang mendadak dan itulah yang menjadi penempa dan cerita yang bisa dibagi kepada orang lain. Jika tahu bulat digoreng dadakan agar pembeli nikmat menyantap selagi panas, cerita dadakan dalam hidup tidak sesederhana itu. Karena lambat bersikap dan bertindak berarti sengaja membunuh diri di ujung waktu.*(Na/9102019)

0 komentar