Mencari Teman Curhat Terbaik

Ketika dilanda kesedihan, beberapa orang memilih menyendiri. Tidak ingin diganggu sampai ia merasa bisa menerima keadaan. Beberapa lainnya, memutuskan membagi kisah kepada orang yang telah dipercaya mampu memberi masukan atau paling tidak, menjadi pendengar yang baik. Pada keadaan tertentu, ada yang melakukan kedua tindakan bergantung suasana hati dan besar kecilnya masalah. Saya termasuk kelompok ketiga.

Namun, bila menjadi bagian kelompok kedua, sering kali orang yang curhat berharap mendapat respon yang baik dari pendengar (teman curhat). Persepsi baik kedua belah pihak kadang berbeda sehingga sebelah pihak (kerap orang yang curhat) merasa tidak puas dan tidak direspon dengan baik. Misalnya, A curhat kepada B tentang rasa sakit hati yang dialaminya ketika tersinggung dengan ucapan C yang juga dikenal B. A mengutarakan kekesalannya hingga menyebut segala kekurangan C, sebagai teman B ingin bersikap netral menjadi pendengar yang baik tanpa ikut serta menjelekkan C. Sikap B pun hanya mendengar dan menyarankan A agar memaafkan C.

Namun, A justru kecewa dengan tanggapan B karena menganggap B tidak mendukungnya. Justru menuding jika B berbalik mendukung C dan menganggap C tidak bersalah. B pun menjadi sosok teman yang serba salah. Padahal niatnya baik, ingin mencari jalan keluar atas masalah A tanpa menumbuhkan kebencian mendalam pada A dan juga pada dirinya.

Pada situasi berbeda, D bercerita kepada sahabatnya E tentang rasa sedihnya ketika harus kena PHK dan telah sebulan menganggur. E merespon dengan berkata bahwa hal yang dialami D adalah biasa di dalam dunia kerja. E menyarankan D untuk segera mencari pekerjaan baru tanpa bertanya apa yang telah D lakukan selama sebulan. E juga bilang bahwa sebulan menganggur belum berarti apa-apa dibanding orang yang menganggur setahun, masih ada waktu yang panjang bagi D untuk mencari kerja.

E berasumsi bahwa apa yang disampaikan kepada D adalah bentuk penyemangatan tanpa harus berkata semangat. Sementara D yang curhat kepada E dengan tujuan mendapat penguatan dan penyemangatan, merasa tidak sedikitpun mendapatkan apa yang diharapkannya selain penurunan semangat dan kesedihan yang bertambah. Oleh sebab apa yang disampaikan E terdengar seperti penyepelehan. Bukan kalimat yang ingin D dengar dari E pada situasi tersebut.

Apa yang dialami oleh A dan D mungkin pernah kita alami. Atau justru kita juga pernah berada di posisi B dan E. Sebagai seseorang yang curhat kepada teman, kita mungkin mengharapkan respon tertentu dari teman yang kita anggap sebagai sebuah solusi dan bentuk dukungan moral. Kita lupa bahwa teman curhat punya isi kepala sendiri yang bisa saja menerjemahkan masalah kita berbeda dan melihatnya dari sisi lain sehingga memberikan jalan keluar yang berbeda pula.

Jika berharap respon yang sesuai persepsi kita, mengapa mesti curhat dan meminta solusi kepada orang lain? Mengapa justru memicu perdebatan untuk mengakui bahwa pilihan kita adalah yang terbaik, jika memang sedari awal tak ingin mendengar masukan orang lain? Jika kita sebagai orang yang curhat ingin mencari kebenaran dalam mengambil keputusan dan tindakan, seharusnya saran teman dapat dipertimbangkan alih-alih langsung dinilai sebagai hal negatif. Yaa, kecuali jika yang kita cari hanyalah pembenaran yang belum tentu benar.

Di sisi lain, kita tidak dapat memungkiri bahwa semua orang lebih senang mendengar berita baik dari pada berita buruk. Lebih banyak yang mafhum dalam merespon kabar baik dari pada kabar buruk. Dalam kondisi bersukacita, tidak perlu mengabarkan pun biasanya para kerabat akan turut merayakan dengan ucapan selamat. Sementara dalam keadaan berduka, lebih sedikit yang menunjukkan empati dalam bentuk ucapan. Padahal, kita justru lebih butuh didengar, disemangati, dan didoakan saat merasa berada di titik terendah kehidupan.

Saya sering berusaha berhusnuzan, bahwa tidak banyak orang yang pandai menunjukkan empati dalam kondisi berduka. Bisa jadi pula, ada yang tidak mengucapkan langsung (verbal dan nonverbal) namun justru diam-diam deras melangitkan doa tanpa menyampaikan isi doanya. Mungkin mereka tipe orang-orang yang selalu berdonasi dalam kegiatan sosial dengan memakai nama Hamba Allah. Dalam berhubungan dengan orang lain, husnuzan adalah salah satu bentuk penyelamatan diri dari prasangka dan kecewa.

Sebab memang, sering sekali Allah mengingatkan untuk tidak menaruh harap pada manusia. Apalagi berharap jalan pikiran dan respon yang diolah kepala mereka harus sama dengan kita. Mustahil! Kita memutuskan membagi kisah kepada orang yang telah dipercaya berarti kita juga siap mendengar responnya. Oleh karena teman curhat beranggapan bahwa ketika seorang teman menceritakan masalahnya, kadang mereka tidak hanya butuh didengarkan melainkan juga butuh saran dan masukan. Tidak mesti diterima, tapi juga tidak langsung ditolak.

Lebih penting lagi, saya bersyukur bahwa masih ada yang sudi memasang telinga mendengar cerita saya tanpa distraksi padahal dia juga mungkin punya masalah yang berat. Semoga para tukang curhat dan teman curhat bisa saling memahami tanpa menyimpan perasaan kecewa setelah bercerita. Karena kerap, kita butuh berbagi untuk menemukan jalan keluar dari perspektif orang lain atau sekadar melepaskan beban masalah yang telah menggunung.

Jika ragu bercerita kepada teman baik, maka bercerita selepas sujud panjang adalah pilihan yang baik. Tak ada respon verbal langsung tapi percayalah akan ada petunjuk untuk sebuah solusi. Perasaan lega pun akan kita peroleh. Karena Dia adalah Pendengar yang baik.*(Na/051019)

0 komentar