Life is Never Flat

"Duh, kena tilang! Kenapa bisa aku sih? Padahal tadi banyak pengendara yang gak pake helm juga!" Contoh saja tapi saya yakin banyak yang mengeluhkan hal serupa jika berada di posisi sang penutur.

Seberapa sering kita mengeluhkan kejadian buruk yang menimpa kita? Entah terjadi karena sengaja melakukan sesuatu yang memicu akibat buruk seperti pertanyaan pembuka atau kejadian buruk yang tak pernah kita prediksi akan menimpa kita, misalnya kecelakaan lalu lintas. Jika terjadi begitu, apa respon pertama kita? Siapa yang pertama kali kita salahkan?

Beberapa pengamatan pribadi, respon pertama orang sering bernada negatif. Ada yang merutuki keadaan, menuduh/menyalahkan orang yang mereka pikir paling bertanggungjawab menyebabkan kejadian buruk terjadi dan menyudutkan Tuhan, mengapa tidak menyelamatkan mereka dengan mukjizatNya. Betapa kita menjadi pengutuk tak tahu diri! Seakan merefleksikan diri yang tidak mengimani qada dan qadar (takdirNya). Padahal, kerap, hal buruk yang dialami bersumber dan dipicu dari kesalahan sendiri yang alpa dan dhaif.

Tidak satu pun manusia bumi ingin mengecap buruknya nasib. Sependek apapun seseorang berniat menjalani hidupnya, tak sedikit pun ia ingin sepotong episode buruk menjadi bagian kisahnya. Menandakan bahwa seperti fitrahnya, manusia menginginkan kebahagiaan.

Namun, sedikit sekali dari kita yang menyadari bahwa tak mungkin merasa senang jika tak pernah merasa sedih. Takkan pernah kita tahu manisnya gula jika tak pernah mengecap asinnya garam, dan pahit keduanya jika berlebih. 
Selalu ada pembanding untuk merasakan puncak sesuatu yang berkebalikan. 


Berbeda ketika merasa senang, adakah kita pernah protes mengapa selalu dilimpahi karunia? Adakah kita pernah pertanyakan mengapa Tuhan sangat baik pada diri setelah bertubi-tubi nikmat dikirimkannya? Adakah pernah kita menolak, lalu meminta agar nikmat kita diberikan saja pada orang lain? Atau justru terus meminta yang lebih banyak?

Jika jawabannya tidak, betapa diri ini sungguh egois dan serakah. Memang akan  jarang kita temui orang-orang yang merasakan keadaan terakhir. Kecuali pada mereka yang merasa cukup dan bersyukur saja, tanpa meminta lebih.

Setelah berbagai kesedihan oleh hal-hal buruk yang tak diinginkan, saya berusaha menyadari bahwa dibalik semua kejadian tak ada tujuan lain Allah menimpakannya selain untuk menaikkan level "kekuatan" saya. Kekuatan bertahan dengan sabar, kekuatan menemukan hikmah, dan kekuatan untuk siap naik kelas. Paling penting, kekuatan untuk percaya bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan.  Setelah sedih akan terbit bahagia. Sebab dengan begitu, hidup akan berwarna. Tidak flat!*(Na/

0 komentar