Primadona Baru

Dulu, aku mendambanya setengah mati. Ia primadona sejauh mata memandang dunia tak terbatas. Hasratku membuncah, bergelora. Ingin sekali aku memilikinya. Pikirku, betapa beruntung jika ia akhirnya berada dekat dalam hangat tubuhku.

Susah payah kukerahkan segala upaya. Kupasang tenggat waktu. Tiga bulan ke depan, ia sudah harus bersamaku. Ambisiku besar, tak tertahan lagi. Dalam gelap malam, aku membayangkannya dengan segala kesempurnaan paripurna. Ia, di sisiku, kapan saja.

Bersamanya, jelang tidur selepas "pisah singkat", mataku akan menemukannya kembali. Ia milikku, lekat tak terpisahkan. Segala yang kucari ada padanya, betapa ia mampu memenuhi segala kebutuhanku. kurang sempurna apa lagi?

Akhirnya, ia berhasil kurengkuh. Persis sebelum waktu memupus harapanku. Betapa bahagianya. Kegembiraanku tumpah ruah, lebih dari yang mampu kepalaku gambarkan. Serupa dengan asa yang kugantungkan. Ia sungguh sempurna.

Ia sempurna, kala itu. Setelah bulan berganti tahun, hubungan baik kami terasa membosankan. Ia tetap memenuhi inginku seperti biasa. Hanya saja, ia menjadi lebih lambat. Aku menjadi sering kesal dan tidak sabar.

Hingga tiba sebuah kabar, primadona baru lahir. Lebih molek, lebih cekatan, lebih mampu melayani dengan segala kemampuan plus-plus yang ia miliki dan segala kelebihan yang tidak dipunyai primadonaku. Tentu saja, upaya untuk memilikinya juga lebih besar.

Mau ku ke manakan primadonaku? Tentu, ia tak pernah keberatan jika harus kutinggal. Di luar sana, ribuan orang akan berebut demi bersamanya. Tapi, hubungan singkat ini...

Tidak! Aku bukan orang seperti itu. Aku harus memilikinya, primadona baru itu. Sebab dunia melesat cepat, tidak telat, tidak kudet. Bagaimanapun caranya, primadona baru itu; ponsel canggih berkapasitas besar, berkecepatan tinggi, berkemampuan mutakhir harus segera kugenggam. Tak peduli tagihan menumpuk, tak peduli jika ia tak kekal bersamaku.*(Na/111019)

0 komentar