Menelusur Bromo untuk Kedua Kali

Tahun lalu, saya kembali mengunjungi Bromo. Saya menginap di Tosari dan hanya tidur tiga jam sampai waktu berkumpul tiba. Pukul 02.00 kami sudah harus berada di balai desa. Tujuan kami bukan hanya mengunjungi gunung Bromo yang ketinggiannya mencapai 2600 mdpl, tetapi juga menyaksikan keindahan mentari saat pertama kali bangun dari istirahat malamnya. Tampak para kawan dengan pakaian a la musim dingin: jaket tebal, kupluk, syal, dan kaos tangan. Inilah saatnya masyarakat tropis bisa menggunakan atribut masyarakat empat musim.

Belasan hartop telah siap mengantar kami menuju lokasi matahari terbit. Masing-masing hartop membawa lima penumpang. Kami diarahkan menuju penanjakan pertama dan berjalan sekira satu kilometer menuju lokasi pengamatan matahari terbit tertinggi. Ada tempat serupa tribun bertingkat 10 berbentuk setengah lingkaran yang dibangun khusus untuk menyaksikan fenomena alam favorit banyak orang ini dengan jelas tanpa distraksi. Sayangnya, rinai hujan mewarnai subuh disertai kabut tebal menyelimuti atmosfer di sekitar lokasi. Seseorang menyarankan bahwa sebaiknya mengunjungi Bromo di musim kemarau sekitar Juni – September. Matahari pasti akan menyapa dengan bahagia.

Ratusan wisatawan secara bergantian tampak kecewa. Mereka hanya duduk sebentar, berfoto di tengah suasana yang serupa musim dingin di luar negeri. Saya amat kasihan kepada wisatawan mancanegara yang tampak mencolok dengan mantel plastik menyelimuti tubuh mereka. Dalam bahasa ibu mereka terus mengobrol dan satu per satu rombongan keluar dari lokasi. Kami bertemu dengan sekelompok bule perempuan. Seorang turis berwajah kearaban dengan hijab di balik mantelnya berdiri di dekat saya. Spontan kami mengajaknya berswafoto dan dengan amat ramah ia menyambut ajakan kami bahkan meminta untuk swafoto diponselnya.


“Bromo sangat cantik dan pemandangannya juga luar biasa memesona. Kunjungan ini memotivasi saya untuk datang kembali ke Indonesia. Saya akan ceritakan ke orang-orang bahwa keindahan Indonesia bukan hanya di Bali. Saya sangat berharap bisa mengunjungi pulau-pulau di Indonesia dan bertemu lebih banyak orang Indonesia.” Cerita Maryam yang berasal dari Maroko namun tengah menempuh pendidikan di Prancis dengan sangat antusias menggunakan bahasa Inggris. Bersyukur sampai saat ini kami masih menjalin komunikasi meski terpisah benua.

Setelah meninggalkan penanjakan pertama dengan perasaan yang dingin. Kami diantar Hartop menuju kawah Gunung Bromo. Jalanan yang kami lewati penuh dengan kelokan. Dari atas Hartop kami melihat pemandangan kompleks gunung-gunung yang diselimuti kabut tebal di lerengnya serupa awan yang sengaja dibentuk dengan liukan estetik yang pelan-pelan berarak. Panorama yang sangat indah serupa lukisan hidup dan meneduhkan. Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan mengambil gambar.



“Ada lagi tempat bagus untuk berfoto di bukit teletubbies dan pasir berbisik. Kita kemungkinan tidak ke sana, tapi kalau berminat saya bisa mengantar.” Tawar bapak kepada para gadis penumpang Hartop yang hobi berfoto: saya, Kak Bening, Yeni, Rini, dan Mita.

Di lautan luas pasir hitam kami melihat puluhan Hartop memarkir mobil. Belasan pemilik kuda mendekat lalu menawarkan tumpangan dengan harga beragam sesuai jarak kepada para pengunjung. Tidak sedikit yang akhirnya membayar jasa angkut kuda berkisar Rp.50.000-125.000 demi menghemat energi dan merasakan sensasi menunggang kuda Bromo. Tempat tujuannya adalah kawah Bromo yang jaraknya sekira dua kilometer dari tempat Hartop terparkir. Semakin jauh kuda menjemput, semakin mahal harga sewa yang harus dibayar. Menawar masih dibolehkan.

Sungguh tidak afdhol jika telah berada di lokasi kawah bromo dan tidak mendaki naik menyaksikan kawahnya. Kesabaran dan perjuangan kembali diuji di sini. Tersebab jarak sejauh dua kilometer itu bukan jalan lurus dan mendaki pasti selalu membutuhkan tenaga ekstra dan stamina prima. Maka sebelum mulai menjejakkan kaki pada batu-batu besar menuju kawah, belasan pedagang makanan siap memenuhi perut-perut pengunjung dengan aneka makanan dan minuman hangat.

Kuda sewaan hanya mengantar para penunggangnya sampai di dekat tangga menuju kawah. Ada 250 anak tangga yang harus dilalui sampai ke atas. Siap-siap saja otot betis akan menegang dan telapak kaki mengeras. Inilah puncak perjuangan menuju tujuan yang sesungguhnya. Perjuangan berjalan dari Hartop hanyalah pemanasan. Tapi setelah sampai di mulut kawah, perjalanan yang telah dilalui rasanya terbayarkan. Kawah Bromo tidak sedang dalam aktivitas terbesarnya hari itu. Asap putih hanya tampak saat kami menunduk ke dasar kawah.


Saya juga berkesempatan mengunjungi Bromo di awal tahun 2017. Saat itu jumlah pengunjung dua kali lebih banyak dari kunjungan kedua saya ini. Kawah disesaki pengunjung bermasker di setiap pinggirnya. Kali ini tanpa masker pun masih aman, tahun lalu aktivitas kawah sedang tinggi. Bau belerang terendus sejak menapak tangga teratas. Tidak akan tahan berlama-lama di puncak kawah tanpa masker. Asapnya mengepul naik dengan bunyi seperti pembakaran di dalam mesin yang cukup ribut. Hidung saya bahkan penuh dengan polusi hitam asap-asap yang tersaring rambut-rambut hidung. Muka saya bahkan menghitam jika digosok, asap belerang menempel di pori-pori kulit.

Sekarang sampai berapa lama pun di sekitar kawah tidak membahayakan diri. Dari atas kawah, saya bisa melihat pemandangan kawasan Bromo secara keseluruhan. Jalur-jalur pendakian, batu-batu besar yang ditapak, pasir-pasir hitam sebagai alas yang di atasnya penuh jejak-jejak kaki kuda dan manusia, gunung-gunung yang bersebelahan dengan kawah, vegetasi yang menghijau dari kejauhan dan beragam aktivitas manusia. Awan kelabu tanpa matahari membuat suasana sendu kembali terasa.  Suhu udara tak lagi sedingin saat berada di penanjakan pertama.

Di sekitar Bromo juga ada Pura besar bernama Mandara Giri sebelum menanjak ke kawah. Di sebelah anak tangga pun, ada pura kecil tempat menyimpan sesembahan. Kawasan Bromo memang terkenal didiami oleh Suku Tengger yang menganut ajaran Hindu. Suku Tengger adalah penduduk asli Bromo yang meyakini bahwa gunung Bromo adalah gunung suci sehingga lahirlah upacara bernama Kasodo. Upacara ini dihelat di Pura Mandara Giri sampai ke atas puncak Bromo setiap pertengahan bulan berdasarkan penanggalan Jawa.


Di Tosari pun jumlah masyarakat Tengger hampir sebanding dengan masyarakat Muslim Jawa. Saya hanya bisa mengenali para perempuan-perempuan Tengger yang berbaju kebaya khas seperti orang Bali. Selebihnya hampir tidak bisa dibedakan. Mereka seakan telah menyatu. Tosari dan Bromo adalah bukti keberagaman Indonesia. Wajah lain dari Jawa Timur setelah perjalanan kami dari Gresik yang kental dengan jejak Islam yang dibawa para Wali.

Tosari dan Bromo akan selalu ramai meski bukan hari libur. Kata Pak Priyo, wisatawan tidak akan pernah bosan mengunjungi Bromo dan Tosari. Meski dingin menyelimuti udara, selalu ada kehangatan yang akan kita temukan. Apalagi jika berkunjung bersama orang tersayang, kehangatan akan selalu terasa meski dingin membungkus atmosfer sekitar. Sudahkah kamu menikmati kehangatan Tosari dan Bromo bersama orang tercinta di tengah keberagaman dan keindahan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa?***

9 komentar

  1. Lengkap....
    Semakin menguatkan rasa ingin berkunjung ke sana.

    BalasHapus
  2. Pingin juga akuh ke sana dengan sensasi naik kudanya...

    BalasHapus
  3. Wah, Bromo selalu dengar namanya tapi tak pernah kesana😆

    BalasHapus
  4. Ngak ke Bromo pun, ketika dah baca ini sudah dapat dikhayalkan. Tapi, kurang pas jika tak berkunjung kesana

    BalasHapus
  5. Udah keDua kalinya aja nih. Ari aku pertama pun belum. Semoga bisa ikutan kesana, trus mereview nya juga

    BalasHapus
  6. Salah satu tempat yanh ingin kukunjungi selain raja ampat papua, semoga berjodoh dengan bromo.

    BalasHapus
  7. Sampe umur segini, aku belum pernah ke Bromo ��

    BalasHapus