Apa yang Kamu Cari dari Plagiarisme?

Pernah gak sih kamu pengen banget nulis tentang suatu hal tapi hasilnya gak sesuai ekspektasi? Tidak memuaskan maksud dan keinginan hatimu. Padahal, kamu berniat untuk menerbitkannya di media (cetak atau elektronik. Atau pada situasi kamu menerima tulisanmu apa adanya dan mengirimnya ke media, tim editor malah menolak. Kamu sedih. Kamu lalu pasrah, menyerah dan kecewa. Menyadari diri kamu belum bisa apa-apa, bahkan menulis dengan baik.

Tanpa sengaja, kamu lalu membaca tulisan seseorang di koran dengan tema yang sama dengan idemu. Bahkan, kamu menganggap jika latar belakang tulisannya serupa dengan isi kepalamu. Sampai kamu nyeletuk, " ini dia nih yang kumaksud!"

Kamu jadi berpikir jika kamu ditolak karena ada yang menulis lebih baik darimu. Kegagalan itu menjadi pelecut semangat untuk semakin giat menulis dan tak berhenti mengirim tulisan sampai diterima tim editor. Kamu berkeyakinan, jika tulisan kamu sudah baik, sesuai segmen media, dan layak baca, maka tulisanmu akan terpampang. Selanjutnya menjadi lebih mudah untuk menulis dan mengirim karya.

Namun, otakmu tidak berpikir demikian. Kamu telah berusaha sekuat yang kamu bisa tapi belum berhasil. Padahal kamu ingin segera melihat karyamu diterbitkan media. Kekecewaan dan harapan membuatmu berpikir pendek. Mengambil jalan pintas untuk meniru jejak penulis yang berhasil.

Kamu tidak menghubungi penulisnya untuk membuang-buang waktu berkonsultasi. Kamu ingin segera melihat tulisanmu di media. Akhirnya, kamu memutuskan mencontoh tulisan penulis. Bukan amati, tiru, modifikasi tetapi amati, tiru, publikasi. Kamu mengesampingkan idealisme yang dulu kamu pegang teguh sebagai calon penulis andal yang bebas plagiarisme.

"Tidak masalah!" Pikirmu. Toh sekali saja, kamu juga sudah mengubah tokoh dan sedikit tulisan pembuka. Akhirnya beberapa hari kemudian, media berbeda mengabarkan penerimaan karyamu. Kamu terlonjak. Kaget terkira.

Kamu senang sebentar, namun tidak merasa lega dan bahagia sebagaimana kamu memahami perasaan itu. Media besar menerima hasil karyamu, sudah tentu sudah bisa digelari penulis.  Belum lagi ketika mengecek saldo tabungan yang kian banyak setelah honor perdana yang tidak sedikit. Kamu senang. Seharusnya!

Berbulan-bulan tak ada kabar miring. Pembaca menikmati karyamu. Senang bukan kepalang hingga kamu paham cara mendapat kehormatan dan uang tanpa berpeluh lelah dan masih juga  ditolak. Sekarang kamu akrab dengan segala lawan kesedihan.

Hingga seorang pembaca setia media tempat kamu menulis membuat laporan daring di media sosial bahwa kamu terindikasi plagiat parah. Media memblokir namamu. Pembaca setiamu berubah jadi pengkritik paling tajam. Kamu terkenal setelah dibicarakan di mana-mana.

Kamu dihujat hingga sembunyi dari riuhnya media sosial. Kamu sakit dan depresi. Kamu bingung cara mengembalikan semua yang terhitung sebagai materi dan telah terpakai. Kamu bingung membersihkan namamu hingga suci lagi. Dunia hitam dan kejam.

Bagaimana pun derasnya keinginan hatimu untuk melihat karyamu diterbitkan, berusahalah sekuat tenaga hingga tak tersisa. Bagaimana pun baiknya karya orang, kamu tidak berhak mengakuinya. Apalagi jika harus mengambil keuntungan. Seberapa kecil berkahnya? 

Kamu tidak tahu saja bahwa ada banyak hitungan waktu yang bersamaan denganmu habis digunakan berpikir dan mengolah karya. Sementara mungkin dirimu terlelap atau leyeh-leyeh. Kamu tidak tahu bahwa ada pembaca yang menunggu karyanya. Bukan karyanya yang diubah tanpa izin. Kamu tidak tahu saja, tim editor menerima karyamu dengan tulus tapi belakang hari kecewa berat mengecewakan pembaca. Semoga kamu paham.*(Na/131019)

0 komentar