Masih lekat dalam ingatanku garis-garis tangannya yang berkerut membelai lembut pucuk kepalaku tiap kali akan terlelap. Keriput tangannya tiap hari makin jelas tak mengurangi kekokohannya untuk bekerja. Rambutnya yang dulu masih abu-abu, terakhir kali tertangkap telah memutih semua oleh kornea mataku.
Ingatannya masih baik, sebaik dia merawatku dari perempuan yang telah menodai hidupku. Nenek, satu-satunya perempuan yang kukenal baik dalam hidupku telah menyelamatkanku dari kebiadaban perempuan yang dari rahimnya aku mengenal dunia tapi tidak pernah mengenal kasih sayang.
Perempuan itu, makian kasar sering terlontar dari bibirnya yang terpulas gincu merah. Matanya yang dilingkari celak hitam kerap membuatku takut oleh pandangan paling penuh amarahnya. Rahangnya makin tegas tatkala melampiaskan kekesalan padaku lewat pukulan dan cubitan yang membirukan badanku.
Kuku-kukunya yang panjang berwarna-warni pun sering melukai kulitku dalam hingga lama sembuh. Aku tak pernah bisa berkutik apalagi melawan, di usia yang masih kanak-kanak aku hanya bisa berteriak kesakitan dan meraung meminta berhenti. Akhir dari penyiksaan panjang itu baru bisa usai saat nenek dengan berani menjemputku secara paksa dan perempuan setengah waras itu pergi meninggalkan kota bersama lelaki yang menjemputnya dengan mobil hitam mengkilap.
Di rumah nenek penderitaanku belum betul-betul berakhir, sebab tiap kali melihat perempuan berambut panjang dengan gincu merah dan mata bercelak aku mengingat ibu dan perlakuan kasarnya padaku. Aku mendadak histeris. Meraung seperti kesetanan. Tak bisa berhenti sebelum tenggorokanku parau karena berteriak. Aku tumbuh menjadi lelaki penakut yang tidak bersekolah karena terlalu takut melihat guru wanita dan tidak pernah keluar ke tempat ramai. Nenek hanya membayar guru lelaki untuk mengajarku di rumah.
Diriku benar-benar telah tumbuh bersama kebencian, trauma, dan dendam yang disebabkan oleh ibuku. Sepanjang waktu kutahu diam-diam nenek terus mengkhawatirkanku, tapi psikiater andal sekalipun tak bisa benar-benar menghilangkan rasa trauma itu. Meski seiring kedewasaanku, pelan aku bisa bertemu dengan wanita dewasa lainnya termasuk teman-teman kerjaku saat memutuskan untuk mengambil alih tanggungjawab keluarga.
Seorang rekan kerja pernah memberitahuku bahwa kadang-kadang teman-teman wanitaku di kantor menggosipkan tingkah anehku dan statusku yang masih bujang. Mereka kadang berusaha mendekatiku bahkan menjodohkanku.
“Kalian pikir ini masih zaman Siti Nurbaya pake’ main jodoh-jodohin segala! Urus saja urusan kalian!” Emosiku meledak di hari kamis terik saat kerjaan pula menumpuk.
“Ih, nyantai dong Pak Imawan! Kita-kita itu anggap bapak teman kami makanya kami kasihan liat bapak yang masih single! Kita cuma niat bantu kok!” Beberapa perempuan teman kantorku pun menjauhiku dan tak lagi benar-benar berani menyapa setelah kejadian itu. Jujur saja, penyesalan menghinggapiku sampai tak sanggup berkonsentrasi dengan tugas kantor.
“Mawan, apa sudah ada seseorang yang menarik perhatianmu?”
“Banyak kok Nek, kecuali perempuan!” Mendengar ujung dari kalimatku, nenek menyerah sebab tahu pembicaraan itu tak akan sampai pada tujuan yang sebenarnya.
Di sabtu siang yang cerah, nenek memasak banyak sekali makanan dengan menu yang tak biasa. Menu berbahan dasar makanan laut mendominasi meja makan. Rupanya ada cucu nenek yang lain bertandang ke rumah. Itikad dari mereka ternyata merencanakan perjodohan. Seorang gadis yang masih cucu perempuan nenek direncanakan untuk dijodohkan denganku. Keras aku menolak dan dengan tidak sopan kutinggalkan pembicaraan busuk itu dengan makanan bersisa di piring putihku.
Wanita tua itu pasti malu dan seharusnya marah padaku. Saat ku buka pintu rumah, ia tetap menyambutku seperti biasa bahkan meminta maaf dengan memasakkan menu makanan laut pengganti. Ia tahu, traumatis dalam jiwaku belum benar-benar sembuh tapi bagiku pun hanyalah kesia-siaan untuk meluangkan hidupku menikah. Tujuan yang tidak pernah masuk dalam daftar mimpi dan keinginan hidupku.
Tahun-tahun berlalu, aku baru benar-benar mengerti mengapa nenek terus memaksaku menikah meski tahu ada luka yang tidak bisa sembuh dalam jiwaku. Hari ini semua terjawab. Di bawah gundukan tanah merah yang telah mengering aku berharap nenek memaafkan sikapku yang telah melukainya.
Siang malam kudoakan kebaikan untuknya di alam sana. Bersama Kamelia dan benih dalam kandungannya aku mencium pusara nenek beberapa kali. Demi nenek akhirnya aku menikahi cucu perempuannya yang lain, benar wanita ini berbeda. Dia bukan ibuku dan kelembutannya telah perlahan mengobati traumatisku dan rasa sepi ditinggal nenek selamanya. Kini wanitaku bukan lagi hanya nenek, tapi juga istriku dan mungkin anakku jika ia lahir sebagai perempuan.***
Sejak lama bermimpi menjadi penulis dan pertama kali mengetahui jika ada platform untuk menulis bernama blog adalah saat rajin berselancad di warnet. Sudah lama sekali itu, sejak SMA kelas satu. Tulisan pertama saya berisi tentang perasaan yang saya pendam untuk seseorang.
Terhitung tiga kali saya membuat blog dan akhirnya paten dengan blog ini (versi blogspot). Meski telah berulang mengganti nama situs dengan alasan pilihan nama yang terkesan alay. Alamat blog ini saja, bagi sebagian teman dinilai alay. Tetapi tentu, setiap keputusan memiliki makna dibaliknya. Seperti alamat blog ini.
Selain blog di blogspot, adapula blog di wordpress, tumblr, dan alamat aktif lainnya di blogspot. Saya masih selalu mencari-cari platform yang membuat saya nyaman menulis. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Blogspot dengan fitur sederhana dan mudah, wordpress yang terlihat premium namun agak ribet, dan tumblr yang sulit dikomentari.
Blog ini, menjadi tempat saya bersetia menuangkan rasa, pikiran, dan curahan hati yang tak sanggup tersampaikan bibir. Saat memutuskan membuat wordpress, saya sudah membagi jenis konten tiap blog. Di sini, memang khusus tentang pribadi sehingga terkesan curcol. Hahah.
Sedari 2009 hingga hari ini di tahun 2019, sepuluh tahun saya ngeblog. Sudah 200 tulisan terpublikasi. Mulai dari tulisan asal jadi yang ejaan dan aturannya menyimpang, bahasanya campur baur, paragrafnya acakadut hingga tulisan yang pelan-pelan rapi meski masih sangat jauh dari kesempurnaan. Saya bersyukur masih ngeblog. Meski itu tuntutan tantangan komunitas menulis.
Blog ini menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan saya ngeblog. Mulai dari yang tulus dari hati, tulisan tantangan, PR menulis, dan review berbagai macam hal. Saya akhirnya menyadari bahwa menulis bukan perkara mudah. Berkali-kali saya mengikuti kelas menulis, tidak semudah itu tulisan saya menjadi baik. Baik sesekali dengan pujian dari senior blogger ternama di kota saya, besok-besok eh sudah jelek lagi.
Hari ini, para blogger merayakan harinya. Dengan tulisan yang berseliweran di media sosial. Ada yang kembali menulis demi mengucap hari peringatan ini. Kembali membersihkan sarang laba-laba yang menutup rumah-rumah digital mereka. Hari ini, mereka yang mengaku blogger kembali pada tujuan impian mereka. Sekali lagi, selamat hari blogger para penulis blog :)*(Na/271019)
Di ruang paling gaduh di sebuah dusun, Akia menatap jauh langit biru yang perlahan memerah. Anak-anak bermain-main di sekitarnya. Ragam permainan yang sulit dijumpai tengah dimainkan anak di kotanya dulu.
Lelaki tua berotot lengkung baru saja pulang dari ladang menenteng peralatan. Istri-istri mereka menyambut di pintu rumah. Pemandangan menyenangkan lainnya.
Berhari-hari telah terlewati. Ia menghitung setiap hari yang berlalu dengan jemarinya. Sembilan puluh hari sudah. Belum cukup seratus hari pun, apalagi jika menghitung sampai setahun penuh. Hari masih panjang.
Setengah tahun nanti, ia bisa memutuskan apakah harus pergi atau menetap. Pergi berarti ia akan meninggalkan segala "kemewahan" pemandangan dan kehangatan yang tak ia jumpai di kotanya. Jika harus menetap, ada banyak rasa yang harus tertahan di dadanya.
Sekali lagi melihat anak-anak bermain di sekitarnya, ibu bapak yang begitu harmonis, dan segala sumber daya yang melimpah ruah, ia paham harus memilih apa. Bukan hanya segala "kemewahan" itu, namun tentang siapa yang membutuhkannya dengan sangat.*(Na/271019)
|
Di sini saya sekarang |
Memori saya kembali memutar rekaman peristiwa setahun lampau. Pada tetanggal yang hampir sama, kaki saya menapak tempat yang membuat saya harus berselimut tebal di malam hari. Menunda mandi pagi karena guyuran air yang rasanya seperti baru keluar dari kulkas.
Di daratan Pulau Jawa, saya menghabiskan sepekan di Wanayasa, daerah terdingin di Purwakarta. Tujuh hari di desa ekowisata Pancoh, permukiman korban bencana letusan Merapi, di kaki gunung Merapi. Melewati setengah pekan di desa Tosari yang terletak di kaki gunung Bromo.
Hari-hari yang saya lalui di semua tempat itu sangat menyenangkan dan mengesankan. Ketiganya memiliki karakteristik lingkungan yang hampir sama; dingin, sejuk, bersih dan tergolong daerah wisata.
Keluar dari rumah, hati rasa tenang dan sejuk didukung suasana yang adem. Tak ada panas terik membakar seperti di Makassar. Karenanya, saya selalu berharap bisa tinggal lama. Jika pun tidak, saya diam-diam menaruh asa bahwa kelak saya bisa tinggal di tempat yang karakteristiknya sama. Begitu setiap kali harus meninggalkan tempat tersebut.
Asa yang pernah saya patri itu, terwujud sekarang. Saya tak pernah terpisah dari jaket yang tebalnya tidak seberapa, tiap malam mesti bersarung meski dingin tak jua berkurang, air bak serasa es yang baru mencair dan sejauh mata memandang yang nampak adalah bukit dan gunung menghijau yang ditanami sayuran.
Saya bersyukur. Banyak yang berharap tinggal di tempat yang nama saya ditakdirkan di sana. Saya tidak pernah secara khusus mengidamkannya. Inilah yang terbaik dan saya merasa bahwa doa saya dikabulkanNya.
Berlokasi di daratan Borneo, di sinilah saya akan melewati waktu-waktu yang tak singkat. Tak terprediksi alurnya. Di tempat saya tepat menuliskan ini, ada harapan besar dari saya dan mereka yang telah lama menanti hadir saya. Ada tujuan besar dari alasan jiwa raga saya akhirnya berada di sini. Semoga saya betah dan apa yang saya lakukan bermanfaat.*(Na/251019)
Tahun lalu, saya kembali mengunjungi Bromo. Saya menginap di Tosari dan hanya tidur tiga jam sampai waktu berkumpul tiba. Pukul 02.00 kami sudah harus berada di balai desa. Tujuan kami bukan hanya mengunjungi gunung Bromo yang ketinggiannya mencapai 2600 mdpl, tetapi juga menyaksikan keindahan mentari saat pertama kali bangun dari istirahat malamnya. Tampak para kawan dengan pakaian a la musim dingin: jaket tebal, kupluk, syal, dan kaos tangan. Inilah saatnya masyarakat tropis bisa menggunakan atribut masyarakat empat musim.
Belasan hartop telah siap mengantar kami menuju lokasi matahari terbit. Masing-masing hartop membawa lima penumpang. Kami diarahkan menuju penanjakan pertama dan berjalan sekira satu kilometer menuju lokasi pengamatan matahari terbit tertinggi. Ada tempat serupa tribun bertingkat 10 berbentuk setengah lingkaran yang dibangun khusus untuk menyaksikan fenomena alam favorit banyak orang ini dengan jelas tanpa distraksi. Sayangnya, rinai hujan mewarnai subuh disertai kabut tebal menyelimuti atmosfer di sekitar lokasi. Seseorang menyarankan bahwa sebaiknya mengunjungi Bromo di musim kemarau sekitar Juni – September. Matahari pasti akan menyapa dengan bahagia.
Ratusan wisatawan secara bergantian tampak kecewa. Mereka hanya duduk sebentar, berfoto di tengah suasana yang serupa musim dingin di luar negeri. Saya amat kasihan kepada wisatawan mancanegara yang tampak mencolok dengan mantel plastik menyelimuti tubuh mereka. Dalam bahasa ibu mereka terus mengobrol dan satu per satu rombongan keluar dari lokasi. Kami bertemu dengan sekelompok bule perempuan. Seorang turis berwajah kearaban dengan hijab di balik mantelnya berdiri di dekat saya. Spontan kami mengajaknya berswafoto dan dengan amat ramah ia menyambut ajakan kami bahkan meminta untuk swafoto diponselnya.
“Bromo sangat cantik dan pemandangannya juga luar biasa memesona. Kunjungan ini memotivasi saya untuk datang kembali ke Indonesia. Saya akan ceritakan ke orang-orang bahwa keindahan Indonesia bukan hanya di Bali. Saya sangat berharap bisa mengunjungi pulau-pulau di Indonesia dan bertemu lebih banyak orang Indonesia.” Cerita Maryam yang berasal dari Maroko namun tengah menempuh pendidikan di Prancis dengan sangat antusias menggunakan bahasa Inggris. Bersyukur sampai saat ini kami masih menjalin komunikasi meski terpisah benua.
Setelah meninggalkan penanjakan pertama dengan perasaan yang dingin. Kami diantar Hartop menuju kawah Gunung Bromo. Jalanan yang kami lewati penuh dengan kelokan. Dari atas Hartop kami melihat pemandangan kompleks gunung-gunung yang diselimuti kabut tebal di lerengnya serupa awan yang sengaja dibentuk dengan liukan estetik yang pelan-pelan berarak. Panorama yang sangat indah serupa lukisan hidup dan meneduhkan. Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan mengambil gambar.
“Ada lagi tempat bagus untuk berfoto di bukit teletubbies dan pasir berbisik. Kita kemungkinan tidak ke sana, tapi kalau berminat saya bisa mengantar.” Tawar bapak kepada para gadis penumpang Hartop yang hobi berfoto: saya, Kak Bening, Yeni, Rini, dan Mita.
Di lautan luas pasir hitam kami melihat puluhan Hartop memarkir mobil. Belasan pemilik kuda mendekat lalu menawarkan tumpangan dengan harga beragam sesuai jarak kepada para pengunjung. Tidak sedikit yang akhirnya membayar jasa angkut kuda berkisar Rp.50.000-125.000 demi menghemat energi dan merasakan sensasi menunggang kuda Bromo. Tempat tujuannya adalah kawah Bromo yang jaraknya sekira dua kilometer dari tempat Hartop terparkir. Semakin jauh kuda menjemput, semakin mahal harga sewa yang harus dibayar. Menawar masih dibolehkan.
Sungguh tidak afdhol jika telah berada di lokasi kawah bromo dan tidak mendaki naik menyaksikan kawahnya. Kesabaran dan perjuangan kembali diuji di sini. Tersebab jarak sejauh dua kilometer itu bukan jalan lurus dan mendaki pasti selalu membutuhkan tenaga ekstra dan stamina prima. Maka sebelum mulai menjejakkan kaki pada batu-batu besar menuju kawah, belasan pedagang makanan siap memenuhi perut-perut pengunjung dengan aneka makanan dan minuman hangat.
Kuda sewaan hanya mengantar para penunggangnya sampai di dekat tangga menuju kawah. Ada 250 anak tangga yang harus dilalui sampai ke atas. Siap-siap saja otot betis akan menegang dan telapak kaki mengeras. Inilah puncak perjuangan menuju tujuan yang sesungguhnya. Perjuangan berjalan dari Hartop hanyalah pemanasan. Tapi setelah sampai di mulut kawah, perjalanan yang telah dilalui rasanya terbayarkan. Kawah Bromo tidak sedang dalam aktivitas terbesarnya hari itu. Asap putih hanya tampak saat kami menunduk ke dasar kawah.
Saya juga berkesempatan mengunjungi Bromo di awal tahun 2017. Saat itu jumlah pengunjung dua kali lebih banyak dari kunjungan kedua saya ini. Kawah disesaki pengunjung bermasker di setiap pinggirnya. Kali ini tanpa masker pun masih aman, tahun lalu aktivitas kawah sedang tinggi. Bau belerang terendus sejak menapak tangga teratas. Tidak akan tahan berlama-lama di puncak kawah tanpa masker. Asapnya mengepul naik dengan bunyi seperti pembakaran di dalam mesin yang cukup ribut. Hidung saya bahkan penuh dengan polusi hitam asap-asap yang tersaring rambut-rambut hidung. Muka saya bahkan menghitam jika digosok, asap belerang menempel di pori-pori kulit.
Sekarang sampai berapa lama pun di sekitar kawah tidak membahayakan diri. Dari atas kawah, saya bisa melihat pemandangan kawasan Bromo secara keseluruhan. Jalur-jalur pendakian, batu-batu besar yang ditapak, pasir-pasir hitam sebagai alas yang di atasnya penuh jejak-jejak kaki kuda dan manusia, gunung-gunung yang bersebelahan dengan kawah, vegetasi yang menghijau dari kejauhan dan beragam aktivitas manusia. Awan kelabu tanpa matahari membuat suasana sendu kembali terasa. Suhu udara tak lagi sedingin saat berada di penanjakan pertama.
Di sekitar Bromo juga ada Pura besar bernama Mandara Giri sebelum menanjak ke kawah. Di sebelah anak tangga pun, ada pura kecil tempat menyimpan sesembahan. Kawasan Bromo memang terkenal didiami oleh Suku Tengger yang menganut ajaran Hindu. Suku Tengger adalah penduduk asli Bromo yang meyakini bahwa gunung Bromo adalah gunung suci sehingga lahirlah upacara bernama Kasodo. Upacara ini dihelat di Pura Mandara Giri sampai ke atas puncak Bromo setiap pertengahan bulan berdasarkan penanggalan Jawa.
Di Tosari pun jumlah masyarakat Tengger hampir sebanding dengan masyarakat Muslim Jawa. Saya hanya bisa mengenali para perempuan-perempuan Tengger yang berbaju kebaya khas seperti orang Bali. Selebihnya hampir tidak bisa dibedakan. Mereka seakan telah menyatu. Tosari dan Bromo adalah bukti keberagaman Indonesia. Wajah lain dari Jawa Timur setelah perjalanan kami dari Gresik yang kental dengan jejak Islam yang dibawa para Wali.
Tosari dan Bromo akan selalu ramai meski bukan hari libur. Kata Pak Priyo, wisatawan tidak akan pernah bosan mengunjungi Bromo dan Tosari. Meski dingin menyelimuti udara, selalu ada kehangatan yang akan kita temukan. Apalagi jika berkunjung bersama orang tersayang, kehangatan akan selalu terasa meski dingin membungkus atmosfer sekitar. Sudahkah kamu menikmati kehangatan Tosari dan Bromo bersama orang tercinta di tengah keberagaman dan keindahan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa?***
Bukan mati muda yang menggoyahkan keberanianku
Berpisah dengan kefanaan yang telah menjadi keluarga karib
Aku lebih takut nanti saat menyadari aku telah berpisah dengan ragaku sementara di sekitar hanya ada orangtuaku sampai aku benar-benar hilang ditelan bumi.
Aku terkadang cemas memikirkan kita yang akan berpisah sebelum aku pernah menggambarkan bahagia diwajahmu yang berkerut-kerut lalu nanti kita terpisah sejauh surga dan neraka. Tanpa kenal, lalu sialnya aku di neraka.
Aku kadang takut juga sedih jika nanti aku kembali kepadaNya, tapi tak kulihat kau yang selalu mencemaskan kami juga aku sejak berabad-abad lampau. Sialnya aku tak pernah lihat kau di bumi manusia juga di "bumi Tuhan"
Aku selalu takut mengira kelak aku pulang menghadap Tuhanku tapi yang kuhadapi adalah makhluk-makhluk tak berwajah yang lebij menyeramkan dari rupa-rupa setan di film paling horor yang pernah ada.
Aku selalu khawatir jika aku kembali ke muasalku dengan setitik harapan bahwa aku membawa kebaikan yang lekat di kulit-kulitku tapi ia malah luruh dan menguap habis. Aku tidak punya apa-apa.
Lalu apa?
Budi dan Ibunya sedang berpikir keras tentang nasib kucing-kucing jalanan yang mereka selamatkan dari kemelaratan dan kerasnya hidup di jalanan. Rumah mereka sudah lebih mirip istana kucing yang dihuni tiga generasi kucing yang semula hanya berjumlah empat pasang lalu beranakpinak menjadi dua puluh ekor. Alih-alih memikirkan mencari istri, Budi lebih tertarik memikirkan nasib para kucing betina yang terus menerus melahirkan.
Kepala Ibu Budi makin berat tatkala memikirkan bagaimana menghidupi para kucing selepas usaha susu kedelai yang bangkrut pasca naiknya harga kedelai. Beberapa saat setelah mereka berdebat hebat tentang usaha baru, tiba-tiba terdengar keributan kucing yang saling mengamuk. Budi menengok ke ruang keluarga dan menemukan para kucing berhamburan di sofa dan karpet dengan TV menyala menyiarkan acara memasak.
"Oh, rupanya itu suara perkelahian kucing di jalan. Tepat di depan rumah." Kata ibu setelah mengamati dari depan pintu. "ahha... bagaimana jika kita pungut geng kucing yang sedang berkelahi itu?"
Budi terkejut mendengar usul ibu. Padahal baru saja ibu ingin membuka usaha adopsi kucing peliharaan mereka.
"Bukan untuk menambah adopsi, ini untuk mewujudkan usahamu, susu kucing. Carmela, Susana, dan Imelda juga lagi hamil. Biasanya produksi susunya banyak."
Sejujurnya Budi menyesal mengungkapkan ide gila yang keluar saat pikirannya sedang sempit. Ia tak sampai hati melakukannya. Mereka sudah menemukan racikan susu kucing yang akan dicampur olahan kedelai. Tapi keesokan harinya saat mereka membuka mata, seluruh kucing di rumah sudah lenyap. Anehnya tak ada tetangga yang mengenal makhluk bernama kucing dan bersuara meong.
Kucing lenyap tak dikenali sebagai binatang. Budi dan ibunya makin pusing. Tepat tengah malam yang sunyi, di depan rumah mereka terdengar suara erangan para kucing yang mengamuk. Tidak bertengkar tapi menyiratkan murka. Ah, kucing-kucing sudah tiba di bumi lagi. Ia menutup mata dan telinga tak ingin mendengar dan berharap lelap melupakan halusinasinya.
Halah, hidup itu tidak seindah dan sesederhana kata-kata mutiara Mario Teguh. Kata Dilan, berat! Aku aja gak sanggup.
Saya baru tahu ada jenis manusia yang anti-kutipan. Sejak jaman saya hobi membagi kata-kata mutiara Mario Teguh sampai membaca kutipan buku grafis #nkcthi juga segala macam tulisan quoteable lain yang bertebaran, dia masih saja kekeuh mengatakan hal yang sama. Dia teman saya, pandai memilin kata dan tidak pernah mau mengakui tulisan kerennya termasuk tulisan quoteable. Padahal saya amat terinspirasi (:
Manusia-manusia pengutip kutipan menyadari bahwa menjalani hidup memang tidak mudah dan suntikan semangat diperoleh salah satunya lewat kutipan yang sudah mudah dijumpai di media sosial. Kami menyadari bahwa mereka yang melahirkan kutipan telah melalui masa-masa sulit dalam mengandung problematika hidup dari yang receh sampai pelik.
Kami meyakini bahwa kutipan juga adalah imboost yang berfungsi meningkatkan imunitas manusia mudah rapuh agar lebih kebal dari baper terhadap masalah-masalah tak terduga. Kuat dan menguatkan diri sendiri. 'Pembenaran' tindakan dan keadaan untuk lebih legowo menerima takdir. Penguatan batin di saat sekitar tak cukup kuat menopang. Iya saya selalu kuat kok, ada teman saya si kutipans eh bukan dia anak saya.
Makhluk bumi menyadari kelemahannya, mereka butuh kutipan. Ah ya, kami juga mengagumi rangkaian kata-kata yang bernas. We're fans of fascinating quotes. Estetique. Semakin saya mengagumi kutipan, semakin saya kuat berteman dera. Sebab best sellernya 'Milk and honey' dan #nkcthi serta buku kutipan lainnya dibanding sekadar buku puisi karena kutipan menguatkan, menyadarkan saya tidak sendiri mengalaminya, dan sekali lagi mendeklarasikan kekuatan.
Benar gak sih? Atau kamu beda?
Oktober pernah membawa wangi tanah yang dibasuh hujan sore hari.
Kita menahan diri berdiam di ruang tamu. Menyesap teh hangat dan sepiring pisang berlumur gula.
Obrolan berpindah dari satu cerita ke cerita lain yang membawa ingatan kita pada masa kanak-kanak.
Keceriaan yang sempurna.
Kesenangan yang tak terbeli.
Kenangan yang tak terlupa
Sepasang kanak-kanak yang bersorak gembira.
Tatkala jarum-jarum air melenting menumbuk atap rumah.
Seperti Tuhan tengah memberi hadiah besar.
Baju dilepas, tanpa sandal berlari lalu melompat menginjak air tergenang di jalanan berlubang.
Hujan mengguyur kepala hingga kaki.
Wajah kita tengadahkan.
Kanak-kanak yang belum paham arti menenangkan, merasakan sederhananya bahagia.
Melepas tawa berderai bersama rasa asin yang menguar di langit-langit.
Membuat cemas perempuan paruh baya yang sudah berdiri di depan pintu.
Suaranya beradu dengan bebunyian air tumpah dari langit.
Kita kadang tak peduli lalu menjadi kasihan setelah perempuan itu ikut memburu.
Lupa berpayung, tak ingat mengalas kaki.
Demi mengejar kita yang menikmati permainan hujan.
Katanya, hujan bisa membuat sakit.
Kita tidak percaya.
Hujan pemberian terindah dari Tuhan.
Kita harus merayakannya dengan bahagia.
Kita selalu percaya hujan adalah hadiah spesial.
Meski dua tiga hari kita meringkuk di bawah selimut sambil menggigil.
Menyantap bubur encer tiga kali sehari.
Kita masih selalu percaya hujan adalah kado istimewa.
Di bawah selimut kita bersukacita. Tersenyum dengan mata terpejam.
Melafal syukur.
Merayakan air dari langit bergemerincing di atas seng tua.*(Na/131019)
Pernah gak sih kamu pengen banget nulis tentang suatu hal tapi hasilnya gak sesuai ekspektasi? Tidak memuaskan maksud dan keinginan hatimu. Padahal, kamu berniat untuk menerbitkannya di media (cetak atau elektronik. Atau pada situasi kamu menerima tulisanmu apa adanya dan mengirimnya ke media, tim editor malah menolak. Kamu sedih. Kamu lalu pasrah, menyerah dan kecewa. Menyadari diri kamu belum bisa apa-apa, bahkan menulis dengan baik.
Tanpa sengaja, kamu lalu membaca tulisan seseorang di koran dengan tema yang sama dengan idemu. Bahkan, kamu menganggap jika latar belakang tulisannya serupa dengan isi kepalamu. Sampai kamu nyeletuk, " ini dia nih yang kumaksud!"
Kamu jadi berpikir jika kamu ditolak karena ada yang menulis lebih baik darimu. Kegagalan itu menjadi pelecut semangat untuk semakin giat menulis dan tak berhenti mengirim tulisan sampai diterima tim editor. Kamu berkeyakinan, jika tulisan kamu sudah baik, sesuai segmen media, dan layak baca, maka tulisanmu akan terpampang. Selanjutnya menjadi lebih mudah untuk menulis dan mengirim karya.
Namun, otakmu tidak berpikir demikian. Kamu telah berusaha sekuat yang kamu bisa tapi belum berhasil. Padahal kamu ingin segera melihat karyamu diterbitkan media. Kekecewaan dan harapan membuatmu berpikir pendek. Mengambil jalan pintas untuk meniru jejak penulis yang berhasil.
Kamu tidak menghubungi penulisnya untuk membuang-buang waktu berkonsultasi. Kamu ingin segera melihat tulisanmu di media. Akhirnya, kamu memutuskan mencontoh tulisan penulis. Bukan amati, tiru, modifikasi tetapi amati, tiru, publikasi. Kamu mengesampingkan idealisme yang dulu kamu pegang teguh sebagai calon penulis andal yang bebas plagiarisme.
"Tidak masalah!" Pikirmu. Toh sekali saja, kamu juga sudah mengubah tokoh dan sedikit tulisan pembuka. Akhirnya beberapa hari kemudian, media berbeda mengabarkan penerimaan karyamu. Kamu terlonjak. Kaget terkira.
Kamu senang sebentar, namun tidak merasa lega dan bahagia sebagaimana kamu memahami perasaan itu. Media besar menerima hasil karyamu, sudah tentu sudah bisa digelari penulis. Belum lagi ketika mengecek saldo tabungan yang kian banyak setelah honor perdana yang tidak sedikit. Kamu senang. Seharusnya!
Berbulan-bulan tak ada kabar miring. Pembaca menikmati karyamu. Senang bukan kepalang hingga kamu paham cara mendapat kehormatan dan uang tanpa berpeluh lelah dan masih juga ditolak. Sekarang kamu akrab dengan segala lawan kesedihan.
Hingga seorang pembaca setia media tempat kamu menulis membuat laporan daring di media sosial bahwa kamu terindikasi plagiat parah. Media memblokir namamu. Pembaca setiamu berubah jadi pengkritik paling tajam. Kamu terkenal setelah dibicarakan di mana-mana.
Kamu dihujat hingga sembunyi dari riuhnya media sosial. Kamu sakit dan depresi. Kamu bingung cara mengembalikan semua yang terhitung sebagai materi dan telah terpakai. Kamu bingung membersihkan namamu hingga suci lagi. Dunia hitam dan kejam.
Bagaimana pun derasnya keinginan hatimu untuk melihat karyamu diterbitkan, berusahalah sekuat tenaga hingga tak tersisa. Bagaimana pun baiknya karya orang, kamu tidak berhak mengakuinya. Apalagi jika harus mengambil keuntungan. Seberapa kecil berkahnya?
Kamu tidak tahu saja bahwa ada banyak hitungan waktu yang bersamaan denganmu habis digunakan berpikir dan mengolah karya. Sementara mungkin dirimu terlelap atau leyeh-leyeh. Kamu tidak tahu bahwa ada pembaca yang menunggu karyanya. Bukan karyanya yang diubah tanpa izin. Kamu tidak tahu saja, tim editor menerima karyamu dengan tulus tapi belakang hari kecewa berat mengecewakan pembaca. Semoga kamu paham.*(Na/131019)
Seorang perempuan berhijab cokelat keluar meninggalkan gedung bertingkat tiga. Langkahnya tidak segesit biasanya, seakan ada beban yang baru saja menempel memberati kedua tungkainya. Menuju pagar, ia semakin memelankan langkah hingga nyaris terlihat berhenti jika dipandang dari kejauhan.
Ia menyeka pipi yang basah. Jika bisa, ia pun juga ingin memakai kacamata hitam, bermaksud menyembunyikan kedua matanya yang ia yakini serupa penampakan setan melotot dalam film horor. Namun, jika saja tak ada satpam dan sekelompok orang di sekitar gerbang, ia bakal bodo amat.
Ia hanya tak ingin terlihat sedang tidak baik-baik saja. Ia menghindari pertanyaan beranak-pinak yang akan lahir dari kondisinya. Ia hanya ingin pergi dengan tenang dan damai meninggalkan sekolah yang telah mewarnai hidupnya dua tahun terakhir. Tidak lama, namun juga tidak cepat.
*
"Bu, kenapa harus pergi?" Tanya seorang siswa yang duduk di barisan pertama setelah Ibu guru mengumumkan pertemuan terakhir dengan para siswanya.
"Ada urusan di tempat lain, nak!" Bu guru menyungging senyum dari bibir tak bergincu.
"Duh Ibu, kenapa harus pergi di saat lagi sayang-sayangnya, sih?" Siswi berkacamata lalu buku di atas mejanya tepat setelah menyampaikan isi hatinya.
"Iya Bu, kenapa mesti tinggalkan kami di saat saya sudah memahami pelajaran Ibu? Sudah suka, mulai cinta!" Sebuah suara terdengar tertahan tanpa jelas pemiliknya.
"Sabar dan tetap semangat ya! Ibu pergi, tapi kalian akan tetap belajar. Guru pengganti segera masuk pekan depan! Lebih bagus dari Ibu." Perempuan itu senyum lagi. Meski dalam hatinya ada perasaan perih yang mulai menjalar.
"Guru baru, adaptasi lagi dong Bu!" Satu per satu siswa kemudian berkomentar.
"Iya, kita maunya Ibu saja!"
Setelah siswa terakhir berbicara, mereka langsung maju ke tempat Ibu guru berdiri, persis di tengah dan memeluknya. Suasana kelas yang tadinya tegang bercampur serius menjadi lebih dramatis.😷
Belasan menit perpisahan kecil itu terjadi. Jika bukan karena bel pergantian pelajaran dibunyikan berulang kalihe, perempuan itu sudah kewalahan, sesak, dan terpancing menangis. Benar saja, ia terpancing dan keluar kelas dengan mata merah.
Dulu, aku mendambanya setengah mati. Ia primadona sejauh mata memandang dunia tak terbatas. Hasratku membuncah, bergelora. Ingin sekali aku memilikinya. Pikirku, betapa beruntung jika ia akhirnya berada dekat dalam hangat tubuhku.
Susah payah kukerahkan segala upaya. Kupasang tenggat waktu. Tiga bulan ke depan, ia sudah harus bersamaku. Ambisiku besar, tak tertahan lagi. Dalam gelap malam, aku membayangkannya dengan segala kesempurnaan paripurna. Ia, di sisiku, kapan saja.
Bersamanya, jelang tidur selepas "pisah singkat", mataku akan menemukannya kembali. Ia milikku, lekat tak terpisahkan. Segala yang kucari ada padanya, betapa ia mampu memenuhi segala kebutuhanku. kurang sempurna apa lagi?
Akhirnya, ia berhasil kurengkuh. Persis sebelum waktu memupus harapanku. Betapa bahagianya. Kegembiraanku tumpah ruah, lebih dari yang mampu kepalaku gambarkan. Serupa dengan asa yang kugantungkan. Ia sungguh sempurna.
Ia sempurna, kala itu. Setelah bulan berganti tahun, hubungan baik kami terasa membosankan. Ia tetap memenuhi inginku seperti biasa. Hanya saja, ia menjadi lebih lambat. Aku menjadi sering kesal dan tidak sabar.
Hingga tiba sebuah kabar, primadona baru lahir. Lebih molek, lebih cekatan, lebih mampu melayani dengan segala kemampuan plus-plus yang ia miliki dan segala kelebihan yang tidak dipunyai primadonaku. Tentu saja, upaya untuk memilikinya juga lebih besar.
Mau ku ke manakan primadonaku? Tentu, ia tak pernah keberatan jika harus kutinggal. Di luar sana, ribuan orang akan berebut demi bersamanya. Tapi, hubungan singkat ini...
Tidak! Aku bukan orang seperti itu. Aku harus memilikinya, primadona baru itu. Sebab dunia melesat cepat, tidak telat, tidak kudet. Bagaimanapun caranya, primadona baru itu; ponsel canggih berkapasitas besar, berkecepatan tinggi, berkemampuan mutakhir harus segera kugenggam. Tak peduli tagihan menumpuk, tak peduli jika ia tak kekal bersamaku.*(Na/111019)
Sebuah notifikasi masuk melalui obrolan grup yang enam bulan terakhir menjadi pantauan terdepan. Dikirim langsung oleh admin yang menjawab pertanyaan beberapa kawan maya (yang sebentar lagi mewujud menjadi kawan seperjuangan) tentang jadwal keberangkatan kegiatan yang kami ikuti. Tiga pekan sebelum keberangkatan akan dikabarkan, harap bersabar! Begitu isinya.
Menenangkan sekaligus menggelisahkan. Pasalnya, kami sudah menunggu dua bulan terkait kabar keberangkatan. Namun, belum juga ada hilal. Saya memahami, teman-teman saya yang sebagian besar telah berkeluarga itu ingin mempersiapkan banyak hal, termasuk mempersiapkan diri menghadapi momen berpisah yang jangka waktunya tidak singkat. Plus, jaraknya tidak dekat. Mesti memakai paspor dan visa untuk menebus rindu yang kian waktu kian menggunung. Belum lagi yang berencana resign. Jika ternyata salah memprediksi jarak, terancam pailit oleh pemenuhan kebutuhan yang semakin banyak.
Sebenarnya bukan dua bulan saja. Namun, sejak Juni sampai dua hari sebelum saya menulis ini, dua grup, regional dan nasional, selalu saja ada yang bertanya perihal kapan waktu keberangkatan. Serius, tiada hari tanpa seseorang yang mempertanyakannya. Sudah bersaing dengan teman-teman (kerja, komunitas, kuliah dan yang mengetahui rencana saya) yang setiap saya memperbarui stori Watsap bakal bertanya perihal “kapan”. Kok ya malah jadi lebih seram dari pertanyaan “itu”?
Saya memilih cuek dan tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Pelan-pelan, rasa gereget dan antusiasme yang dulu memuncak kemudian meredup. Sudah jauh beranjak dari tanggal yang dipajang di situs resmi. Saya malah jadi berat pergi. Suatu sore saat baru saja membuka mata dari tidur siang singkat yang terganggu, saya terdorong mengecek ponsel. Ada puluhan pesan baru dari grup pantau nasional dan ratusan dari grup pantau regional. Ada apa?
Degup jantung saya terasa berlomba dengan sepersekian detik waktu yang bergulir. Perasaan saya tidak nyaman, segera saya buka grup pantau dan mendapati admin grup yang mengirim rilis resmi jadwal keberangkatan dan segala printilan yang harus dipersiapkan. Deg! Saya lemas. Loh, bukannya ini kabar baik yang sekian lama saya tunggu? Iya, berpekan-pekan lalu. Lagi pula saya tidak masuk daftar orang yang sekali pun mempertanyakan perihal kapan. Justru menjadi orang yang masuk daftar bosan ditanya karena akan menjawab dengan ketidakpastian yang juga membosankan bagi penanya.
Salah satu hal yang membuat saya lemas adalah betapa mendadaknya kabar tersebut. Katanya tiga pekan, hey ini sepekan dari hari H loh! Saya sungguh tidak ingin tergesa-gesa dan di luar dari pertanyaan membosankan teman-teman saya yang terdengar seperti mengusir dan mencurigai jika saya kena tipu, saya woles saja menikmati hari-hari yang tersisa dan hangat Makassar di bulan Oktober bersama orang-orang tersayang. Namun, kabar dadakan itu membuat kepala saya pening memikirkan agenda yang sudah saya susun. Sebelumnya, beberapa orang telah mengingatkan untuk bersiap-siap jikalau ada kabar dadakan. Benar saja, kabar baik itu datang mendadak di saat ada banyak niat baik lain yang ingin saya realisasikan.
Ini bukan kali pertama saya menerima kabar dadakan. Juga bukan pertama kali didadak. Namun, kesan dan rasanya selalu sama, mengesalkan! Banyak agenda yang harus dibatalkan dengan berat hati. Banyak keperluan yang awalnya ditunda menjadi perlu disiapkan segera. Ada perasaan yang belum ditata untuk beranjak pergi dalam waktu dan jarak yang terbentang. Betapa… saya diajari untuk cepat tanggap dan sigap bertindak.
Jika saya telusur kembali, hidup saya memang penuh dengan hal-hal dadakan. Seakan saya diberi kejutan di waktu yang sungguh tak terduga. Beberapa kegiatan nasional pun sering sekali mendadak mengumumkan keberangkatan dan pelaksanaan kegiatan. Saya sering sekali dibelajarkan untuk berlaku sabar tapi belum lulus juga. Sayang, beberapa orang yang menduga hal buruk terjadi akhirnya mundur. Beruntung, saya masih mau sedikit bersabar menunggu.
Saya sendiri senang sekali mengulur waktu hingga memanfaatkan the power of kepepet yang selalu bekerja dengan baik di ujung tenggat. Jika para ontimers bertanya mengapa begitu senang berkepepetria, jawaban saya karena pekerjaan (entah mengapa) terasa semakin mudah dan otak saya bekerja lebih baik dalam memburu akhir waktu.
Meski begitu, saya tetap tidak senang didadak. Rasanya berbeda jika merencanakan keperluan mendadak dengan orang lain yang memberi kabar dadakan. Mengakhirkan pekerjaan itu berarti sudah mengestimasi waktu penyelesaian dan mengukur kemampuan dalam menyelesaikannya tepat di ujung tenggat. Tapi didadak? Orang lain yang mengukurnya tanpa mengetahui pasti apakah ada kendala yang dihadapi individu dalam menyelesaikannya tepat waktu.
Kendala yang tidak terduga mungkin juga menjadi penyebab lain dari kabar dadakan yang tidak diketahui oleh penerima kabar. Jika sudah begitu, mungkin tidak perlu mengeluhkan kabar dadakan. Meski tetap saja, saya dan banyak orang sering mengeluh karena terbatasnya pengetahuan.
Akan selalu ada kabar dadakan. Akan selalu ada hal-hal yang mendadak dan itulah yang menjadi penempa dan cerita yang bisa dibagi kepada orang lain. Jika tahu bulat digoreng dadakan agar pembeli nikmat menyantap selagi panas, cerita dadakan dalam hidup tidak sesederhana itu. Karena lambat bersikap dan bertindak berarti sengaja membunuh diri di ujung waktu.*(Na/9102019)
Arah langkah adalah sebuah jejak petualang yang dibukukan oleh
penulisnya, Fiersa Besari sewaktu menjelajahi Indonesia pada 2013 silam. Fiersa
memutuskan berjalan jauh keluar dari zona nyamannya, tanah jawa, demi
menyaksikan sendiri keindahan Indonesia. Namun, yang ia peroleh lebih dari
sekadar yang ia niatkan. Sebenarnya, Fiersa ingin menghapus rasa sakit hati
yang masih bersemayam di hatinya. Pengkhianatan cinta rupanya mendorongnya
berkenalan dan melihat sisi lain kehidupan.
Ia bersama kedua orang kawannya, Prem (Anisa) dan Baduy,
memulai perjalanan ke Palembang lalu ke Padang hingga sampai ke ujung barat
Indonesia di Sabang. Setelah menjelajahi Sumatera, mereka bergeser ke Sulawesi
dan memulai petualangan dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan
cukup lama di Sulawesi Utara hingga sebuah konflik internal terjadi dan
memisahkan mereka.
Fiersa bercerita tentang tempat-tempat yang mereka
kunjungi. Deskripsi lokasi dan suasana sangat pas tergambarkan. Mereka juga
berjumpa dengan orang-orang baik yang sudi memperlakukan mereka layaknya tamu.
Melalui percakapan-percakapan yang mereka lakukan, keakraban serta kehangatan,
tergambar bahwa penduduk lokal yang mereka temui juga memperlakukan mereka
layaknya kawan lama. Menjadi sebuah hal menarik dalam sebuah perjalanan.
Apalagi mereka bertualang sebagai backpackers
bukan turis. Penghematan jelas harus diupayakan dengan sebesar-besarnya.
Pertolongan penduduk lokal sangat membantu mereka.
Konflik yang terjadi selama perjalanan menjadi cerita
menarik. Tentang mereka yang harus berupaya merebut hati penduduk lokal
sehingga bisa menjadi akrab, perbedaan budaya dan pemahaman terhadap sesuatu
dan nilai-nilai yang tertanam di masyarakat setempat, dan tentang mereka
bertiga dalam memahami kondisi dan perubahan suasana hati masing-masing. Menjadi
pelajaran penting bagi pembaca yang senang dan berniat bertualang.
*
Saya selalu menyukai cerita petualangan dan catatan
perjalanan. Bagi saya, selalu ada pelajaran dan hikmah berharga yang bisa
dipetik dari setiap makna yang dicatat para pejalan. Saya memandang bahwa
perjalanan jauh adalah sebuah “kuliah” kehidupan yang tidak pernah bisa
diperoleh di bangku sekolah manapun. Semua nilai yang tertanam dalam diri akan
diuji dan dipakai ketika bersinggungan langsung dengan komunitas baru.
Melalui pertemuan-pertemuan dengan orang baru itu pula,
kita diuji untuk menyikapi perbedaan. Ada yang berhasil dan akhirnya bertahan,
ada yang gagal dan akhirnya pulang. Semua kembali kepada diri pribadi. Saya
melihat gambaran itu pada saat Fiersa dan kawan-kawan berada di Sibolga. Mereka
yang awalnya harus membayar untuk menyaksikan pertunjukan akhirnya menikmati
pertunjukan dengan cuma-cuma setelah pendekatan secara emosional yang berhasil
mereka lakukan. Bahkan berhadiah pula! Menginap gratis selama berhari-hari.
Cerita Fiersa mungkin terdengar menyenangkan dan mudah,
namun akan menjadi sulit bagi yang tak terbiasa bersosialisasi dan cukup
tertutup. Saya bisa merasakan bagian-bagian cerita Fiersa yang benar-benar
menyedihkan. Seakan saya mampu memahami bagaimana perasaannya dalam sebuah
situasi. Misalnya, saat tiba-tiba merindukan rumah setelah mendapat telepon
orang tua. Merayakan Ramadan dan lebaran di kampung orang.
Arah Langkah juga mengajarkan tentang keberanian untuk
terus melangkah. Bahwa orang baik akan selalu ada di manapun kita berada. Tuhan
akan selalu menolong saat hambaNya meminta. Buku ini menjadi menarik karena
ditulis dengan Bahasa khas Fiersa yang mengalir dan penuh diksi. Ada banyak
kutipan makna yang lahir dari perjalanan Fiersa yang disematkan di antara
baris-baris paragraf membuat pembaca langsung memahami apa yang penulis peroleh
dari titik perjalanannya.
Satu hal yang saya sesali bahwa saya menghadiri peluncuran
buku ini tahun lalu di MIWF dan baru berkesempatan menuntaskan sekarang.
Padahal, di tahun yang sama saya juga menjelajah Indonesia. Buku ini
menginspirasi cara menulis catatan perjalanan dan bahan eksplorasi untuk
tulisan sehingga kesannya tidak hanya menuliskan curhatan semata tapi juga
edukasi dan wawasan wisata Indonesia.*(Na/081019)
Tersebutlah seorang perempuan tua yang tinggal di sebuah desa di Sulawesi Selatan. Kehadirannya ditakuti seluruh warga desa. Konon, karena ia sakti mandraguna dengan ilmu sihir turun temurun yang dimilikinya. Tak ada yang berani mendekati apalagi bercengkerama dengannya.
Perempuan tua itu terkenal dengan julukan "Nenek Pakande". Dalam bahasa masyarakat setempat bermakna Nenek Kanibal (pemakan orang). Ia dijuluki demikian oleh sebuah selentingan yang mengatakan jika perempuan tua itu memangsa anak kecil.
Kabar itu semakin dipercaya setelah seorang warga kehilangan putranya yang berumur delapan tahun ketika bermain sendiri di luar rumah. Sebelum anak lelaki itu menghilang, diketahui Nenek Pakande baru saja lewat di depan rumahnya. Setelah kejadian itu, bocah lelaki tak lagi pernah tampak batang hidungnya. Tak diketahui lagi bagaimana nasibnya.
Orang tuanya menangis dan meminta kepala desa mencari hingga akhirnya anak lelaki harus diikhlaskan. Nenek pakande jadi tertuduh yang paling kuat karena ilmu sihir yang dimilikinya. Warga menebak jika Nenek Pakande menjadikan anak lelaki santapan hariannya. Mengingat si nenek juga punya kebiasaan makan yang ekstrim. Ia gemar menyantap binatang hutan: ayam hitam, kelinci dan rusa.
Namun, tidak ada yang berani menangkap Nenek Pakande. Semua takut terkena sihir. Tidak ada yang berani memanggil polisi untuk meringkus Nenek Pakande. Tidak ada satu pun bukti kuat jika bocah lelaki raib dimakan Nenek Pakande. Tidak ada yang berani mendekati gubuk reot Nenek Pakande. Sebab tidak ada yang mau dikejar anjing hitam berwajah galak yang berjaga di pekarangan sempit gubuk Nenek Pakande.
Nenek Pakande jarang keluar rumah. Jika pun keluar, ia hanya berkeliaran di sekitar hutan. Sesekali melintas di jalanan rumah warga jika hendak kembali dari hutan menuju rumahnya.
Jalanan yang disusurinya sepi dan tak pernah tampak warga desa. Semua mengurung diri di rumah ketika tahu Nenek Pakande keluar gubuk. Semua yang berada di jalanan akan pontang-panting masuk ke dalam rumah ketika melihat sosok Nenek Pakande dari kejauhan.
*
Suatu hari, dua orang bersaudara asyik bermain di jalanan rumah. Anak itu Marsha yang berumur 10 tahun bersama Yunisa yang berusia dua tahun lebih muda. Mereka asyik menaklukkan permainan dende bulan sampai terlupa jika matahari perlahan merangkak kembali ke peraduannya.
"Marshaaaa... Yunisaaaa... sudah hampir malam. Ayo masuk rumah! Besok baru lanjut main!" Ibu mereka memanggil dari dalam rumah. Namun, mereka hanya menyahut tanpa memedulikan perintah Ibu. Akhirnya, Ibu keluar dan memaksa mereka masuk.
"Sebentar Bu, ini kami hampir selesai main. Sebentar lagi mendarat di bulan." Kata anak tertua.
"Besok lagi baru lanjut! Sudah hampir gelap. Ayo cepat masuk!" Ibu semakin memaksa mereka masuk.
Tetapi kedua kakak beradik bersikeras ingin menyelesaikan permainan. Mereka menolak masuk rumah sambil meringis bahwa mereka hampir selesai. Karena bosan dan lelah memaksa kedua anaknya masuk, akhirnya ibu masuk ke rumah duluan sambil berjalan tergesa ke dapur menengok nasi yang ditanak.
Hari hampir gelap sempurna sementara kedua anak belum beranjak masuk ke dalam rumah. Dalam gelap mereka tidak mengetahui bahwa Nenek Pakande hendak melintas di jalanan rumah mereka. Keduanya baru tersadar ketika Nenek Pakande berada tepat di belakang mereka. Pekikan mereka menjadi pengisi hening di kala petang bersama suara burung yang kembali ke sarang.
Ibu yang selesai mengangkat nasi hendak kembali memaksa masuk anaknya. Namun, tak ada tanda-tanda lagi ke mana anaknya pergi. Ibu panik dan bergegas ke rumah tetangga hendak mengadu.
Setelah mendengar cerita Ibu yang kehilangan dua anak gadisnya, kepala desa bersama warganya sepakat mencari segera anak tersebut di seluruh penjuru desa hingga ke hutan. Menjelang tengah malam, para warga berkumpul kembali di rumah kepala desa seusai aksi pencarian. Mereka melaporkan hasil pencarian bilamana ada bukti jejak ke mana kedua anak menghilang.
"Apakah ada yang menemukan tanda-tanda ke mana kedua anak pergi?" Kepala desa memandang semua warganya. Berharap penuh ada yang bersuara. Para warga hanya saling pandang sesama. Semakin lama tak terdengar tetanda, suara tangis ibu yang kehilangan anaknya semakin nyaring mengisi kesunyian.
"Pak Desa, jika sudah begini, sudah jelas siapa yang menculik kedua anak itu." Seorang pemuda berambut gondrong, berkulit putih dan bertubuh cukup kekar tiba-tiba bersuara. Wajahnya menggambarkan antusiasme yang besar.
"Maksud kamu apa anak muda?" Bapak tua di antara kerumunan warga menyahut dengan tanya.
"Ini pasti ulah Nenek Pakande! Kita harus segera bertindak sebelum lebih banyak korban berjatuhan."
"Hei anak muda, kau punya ilmu apa berani melawan Nenek Pakande?"
"Aku punya ide bagus saudara-saudara sekalian! Aku yakin kita bisa mengalahkannya dengan akal budi dan kecerdasan yang kita punya!"
"Ayo segera sampaikan!" Sahut-menyahut di antara para warga terjadi. Mereka seperti tak sabar.
Anak muda tersebut hendak menjebak Nenek Pakande. Setelah semua warga mengetahui rencana sang pemuda dan menyetujuinya, dua hari kemudian mereka segera melancarkan aksi. Seorang anak di arahkan bermain-main di belakang rumah Nenek Pakande sebagai umpan. Tentu saja, anak itu dalam pengawasan penduduk desa.
Ketika Nenek Pakande keluar dari pintu belakang gubuknya, ia melihat anak yang berisik itu dan mengejarnya sampai ke dalam hutan. Anak itu berlari mengarah pada jebakan yang telah dibuat warga desa. Sebuah lubang sedalam 5 meter yang penuh lumpu tertutupi rumput kering.
Ketika anak kecil berhenti di seberang jebakan, ia sengaja memancing amarah Nenek Pakande dengan ejekan dan sikap tidak sopan. Nenek Pakande geram, mengejar bocah lelaki itu dengan langkah patah-patah berbantukan tongkat kayu. Lalu byurrr... Nenek Pakande terjerembab masul ke lubang dan bermandikan lumpur yang telah dicampur sampah dapur.
Nenek Pakande tidak hanya kotor tapi juga berbau busuk. Lumpur membuatnya sulit bernapas dan tak sanggup keluar dari lubang. Sejak pagi ia dalam kubangan. Ketika matahari tepat di atas kepala, warga melihat lubang sudah kosong. Jejak-jejak lumpur mengarah masuk ke tengah hutan.
Di sana, jebakan kedua telah di pasang. Mereka senang berhasil mengarahkan nenek tua itu masuk ke hutan. Ada kurungan ayam yang digantung di atas pohon beserta batu pemberat yang siap menindih tubuh ringkih orang tua itu.
Sewaktu jarak jebakan tinggal selangkah, sebuah suara riuh terdengar mengalihkan perhatian nenek hingga ia berhenti mencari sumber suara. Namun, suara itu hanyalah pancingan. Beberapa warga memutuskan tali pengikat hingga kurungan kayu sukses memerangkap Nenek Pakande.
Ia meronta ingin melepaskan diri. Namun, sebuah pemberat menahannya. Tongkat kayu yang dimilikinya, ia manfaatkan menerabas pengurung hingga rapuh dan ia berhasil keluar. Warga menebak jika ia memanfaatkan ilmu sihirnya.
Tampak lelah tergambar jelas di wajah keriputnya. Sosoknya semakin terlihat menyeramkan dengan lumpur mengering, tanah, dan dedaunan kering yang menempel tak karuan. Nenek Pakande bangkit berjalan, semakin pelan dan tak bertenaga.
Beberapa meter ke depan, jebakan terakhir menunggunya. Batu kali besar yang siap menindih tubuhnya yang kurang tenaga digantung di sisi pohon. Tersembunyi dari tubuh pohon besar. Beberapa langkah lagi dari jebakan, para warga yang bertugas menjalankan aksi bersiap. Namun, belum sempat memancing, Nenek Pakande tersungkur. Menggelepar di tanah bagai ikan di daratan lalu hening dan tenang.
"Kenapa tukang sihir itu? Ayo kita tengok! Mungkin dia sudah mati." Ajak seorang perempuan kepada warga lainnya.
"Tenang, jangan gegabah! Ini jebakan! Bisa saja dia cuma pura-pura, lalu nanti menyihir kita!" Lelaki di sebelah perempuan itu menahan hingga mereka tetap mengamati di tempat yang sama.
Mereka menunggu berjam-jam. Lama sekali sampai para warga itu bosan sendiri. Akhirnya seseorang memberanikan diri memeriksa Nenek Pakande. Tak ada denyut nadi dan jantungnya sudah berhenti berdetak. Nenek Pakande tewas sebelum jebakan terakhir. Warga akhirnya memboyong tubuhnya ke rumah kepala desa untuk dikubur.
*
Seharusnya para warga berbahagia setelah kematian Nenek Pakande. Namun, kuburan nenek yang tertuduh memiliki ilmu sihir dan hobi memangsa anak kecil itu justru ramai dikunjungi setiap hari. Gubuk reot miliknya direnovasi dan diubah menjadi taman belajar yang kini jauh dari kesan seram dan suram.
Sepekan pertama, tak ada yang tak berhenti menangis karena merasa berdosa membunuh Nenek Pakande. Tepat saat ia meninggal, pemuda dan warga desa memeriksa rumah Nenek Pakande dan menemukan ruangan yang penuh anak kecil. Anehnya, tak ada anak yang terlihat menderita dan tersiksa.
Semua anak yang menghilang dari desa berada di sana. Mereka asyik bermain dan belajar. Aneh! Tapi itulah yang terjadi. Mereka tidak mau pulang karena betah tinggal bersama Nenek Pakande. Mereka menangis keras ketika tahu Nenek Pakande mati.
Anak-anak itu bercerita bahwa Nenek Pakande tidak jahat. Nenek tidak makan anak kecil. Nenek mengajari mereka sopan santun dan adab dengan cara menyenangkan melalui cerita dongeng masa lalu yang menarik. Anak-anak itu tidak mau pulang karena senang bisa bermain dengan teman-teman sebayanya.
Nenek Pakande berencana memulangkan anak-anak itu ketika dipikirnya sudah memiliki rasa hormat pada orang tua. Ketika nenek melihat perubahan sikap anak-anak. Nenek selama ini kesepian, menghabiskan tahun-tahun seorang diri. Nenek Pakande juga bersedih. Ia diam-diam melihat dan mengamati anak-anak desa yang tak sopan dan pembangkang pada orang tua dan sekitarnya. Nenek Pakande seperti namanya, ia hanya hobi makan binatang hutan yang juga dibagi dengan anak-anak sehingga ia semakin sering masuk hutan.
Nenek Pakande memang sejak muda pandai berburu. Ia bungkam dengan segala kebaikan terselubung yang bagi sebagian orang tetap dinilai salah karena tak memberitahu. Tapi apa hendak dikata, jika tak ada yang berani bercakap dengannya. Nenek Pakande bukan penyihir. Ia memang kuat sampai berumur puluhan tahun, ia masih bugar karena sering minum ramuan.
Betapa warga merasa amat bersalah terlebih pemuda yang mencetus ide membunuh Nenek Pakande dengan berbagai jebakan kurang ajar. Maka, dengan segenap hati pemuda itu berjanji meneruskan perjuangan Nenek Pakande. Ia mengajarkan anak-anak adab dan kebiasaan baik melalui dongeng, permainan dan berbagai bacaan di gubuk reot yang ramai-ramai dibangun warga menjadi layaknya istana bagi anak-anak desa.*(Na/061019)
Diadaptasi dari cerita rakyat Sulawesi Selatan dengan judul yang sama. Sebagian isi cerita telah diubah dalam rangka mengikuti tantangan menulis ODOP Batch 7 pekan ke-empat.
Ketika dilanda kesedihan,
beberapa orang memilih menyendiri. Tidak ingin diganggu sampai ia merasa bisa
menerima keadaan. Beberapa lainnya, memutuskan membagi kisah kepada orang yang
telah dipercaya mampu memberi masukan atau paling tidak, menjadi pendengar yang
baik. Pada keadaan tertentu, ada yang melakukan kedua tindakan bergantung
suasana hati dan besar kecilnya masalah. Saya termasuk kelompok ketiga.
Namun, bila menjadi bagian
kelompok kedua, sering kali orang yang curhat berharap mendapat respon yang
baik dari pendengar (teman curhat). Persepsi baik kedua belah pihak kadang
berbeda sehingga sebelah pihak (kerap orang yang curhat) merasa tidak puas dan
tidak direspon dengan baik. Misalnya, A curhat kepada B tentang rasa sakit hati
yang dialaminya ketika tersinggung dengan ucapan C yang juga dikenal B. A
mengutarakan kekesalannya hingga menyebut segala kekurangan C, sebagai teman B
ingin bersikap netral menjadi pendengar yang baik tanpa ikut serta menjelekkan
C. Sikap B pun hanya mendengar dan menyarankan A agar memaafkan C.
Namun, A justru kecewa
dengan tanggapan B karena menganggap B tidak mendukungnya. Justru menuding jika
B berbalik mendukung C dan menganggap C tidak bersalah. B pun menjadi sosok
teman yang serba salah. Padahal niatnya baik, ingin mencari jalan keluar atas
masalah A tanpa menumbuhkan kebencian mendalam pada A dan juga pada dirinya.
Pada situasi berbeda, D
bercerita kepada sahabatnya E tentang rasa sedihnya ketika harus kena PHK dan
telah sebulan menganggur. E merespon dengan berkata bahwa hal yang dialami D
adalah biasa di dalam dunia kerja. E menyarankan D untuk segera mencari
pekerjaan baru tanpa bertanya apa yang telah D lakukan selama sebulan. E juga
bilang bahwa sebulan menganggur belum berarti apa-apa dibanding orang yang
menganggur setahun, masih ada waktu yang panjang bagi D untuk mencari kerja.
E berasumsi bahwa apa yang
disampaikan kepada D adalah bentuk penyemangatan tanpa harus berkata semangat.
Sementara D yang curhat kepada E dengan tujuan mendapat penguatan dan
penyemangatan, merasa tidak sedikitpun mendapatkan apa yang diharapkannya
selain penurunan semangat dan kesedihan yang bertambah. Oleh sebab apa yang
disampaikan E terdengar seperti penyepelehan. Bukan kalimat yang ingin D dengar
dari E pada situasi tersebut.
Apa yang dialami oleh A dan
D mungkin pernah kita alami. Atau justru kita juga pernah berada di posisi B
dan E. Sebagai seseorang yang curhat kepada teman, kita mungkin mengharapkan
respon tertentu dari teman yang kita anggap sebagai sebuah solusi dan bentuk
dukungan moral. Kita lupa bahwa teman curhat punya isi kepala sendiri yang bisa
saja menerjemahkan masalah kita berbeda dan melihatnya dari sisi lain sehingga
memberikan jalan keluar yang berbeda pula.
Jika berharap respon yang
sesuai persepsi kita, mengapa mesti curhat dan meminta solusi kepada orang
lain? Mengapa justru memicu perdebatan untuk mengakui bahwa pilihan kita adalah
yang terbaik, jika memang sedari awal tak ingin mendengar masukan orang lain?
Jika kita sebagai orang yang curhat ingin mencari kebenaran dalam mengambil
keputusan dan tindakan, seharusnya saran teman dapat dipertimbangkan alih-alih
langsung dinilai sebagai hal negatif. Yaa, kecuali jika yang kita cari hanyalah
pembenaran yang belum tentu benar.
Di sisi lain, kita tidak
dapat memungkiri bahwa semua orang lebih senang mendengar berita baik dari pada
berita buruk. Lebih banyak yang mafhum dalam merespon kabar baik dari pada
kabar buruk. Dalam kondisi bersukacita, tidak perlu mengabarkan pun biasanya
para kerabat akan turut merayakan dengan ucapan selamat. Sementara dalam
keadaan berduka, lebih sedikit yang menunjukkan empati dalam bentuk ucapan.
Padahal, kita justru lebih butuh didengar, disemangati, dan didoakan saat
merasa berada di titik terendah kehidupan.
Saya sering berusaha
berhusnuzan, bahwa tidak banyak orang yang pandai menunjukkan empati dalam
kondisi berduka. Bisa jadi pula, ada yang tidak mengucapkan langsung (verbal
dan nonverbal) namun justru diam-diam deras melangitkan doa tanpa menyampaikan
isi doanya. Mungkin mereka tipe orang-orang yang selalu berdonasi dalam
kegiatan sosial dengan memakai nama Hamba Allah. Dalam berhubungan dengan orang
lain, husnuzan adalah salah satu bentuk penyelamatan diri dari prasangka dan
kecewa.
Sebab memang, sering sekali
Allah mengingatkan untuk tidak menaruh harap pada manusia. Apalagi berharap
jalan pikiran dan respon yang diolah kepala mereka harus sama dengan kita. Mustahil!
Kita memutuskan membagi kisah kepada orang yang telah dipercaya berarti kita
juga siap mendengar responnya. Oleh karena teman curhat beranggapan bahwa
ketika seorang teman menceritakan masalahnya, kadang mereka tidak hanya butuh
didengarkan melainkan juga butuh saran dan masukan. Tidak mesti diterima, tapi
juga tidak langsung ditolak.
Lebih penting lagi, saya
bersyukur bahwa masih ada yang sudi memasang telinga mendengar cerita saya
tanpa distraksi padahal dia juga mungkin punya masalah yang berat. Semoga para
tukang curhat dan teman curhat bisa saling memahami tanpa menyimpan perasaan
kecewa setelah bercerita. Karena kerap, kita butuh
berbagi untuk menemukan jalan keluar dari perspektif orang lain atau sekadar
melepaskan beban masalah yang telah menggunung.
Jika ragu bercerita
kepada teman baik, maka bercerita selepas sujud panjang adalah pilihan yang
baik. Tak ada respon verbal langsung tapi percayalah akan ada petunjuk untuk
sebuah solusi. Perasaan lega pun akan kita peroleh. Karena Dia adalah Pendengar
yang baik.*(Na/051019)
"Duh, kena tilang! Kenapa bisa aku sih? Padahal tadi banyak pengendara yang gak pake helm juga!" Contoh saja tapi saya yakin banyak yang mengeluhkan hal serupa jika berada di posisi sang penutur.
Seberapa sering kita mengeluhkan kejadian buruk yang menimpa kita? Entah terjadi karena sengaja melakukan sesuatu yang memicu akibat buruk seperti pertanyaan pembuka atau kejadian buruk yang tak pernah kita prediksi akan menimpa kita, misalnya kecelakaan lalu lintas. Jika terjadi begitu, apa respon pertama kita? Siapa yang pertama kali kita salahkan?
Beberapa pengamatan pribadi, respon pertama orang sering bernada negatif. Ada yang merutuki keadaan, menuduh/menyalahkan orang yang mereka pikir paling bertanggungjawab menyebabkan kejadian buruk terjadi dan menyudutkan Tuhan, mengapa tidak menyelamatkan mereka dengan mukjizatNya. Betapa kita menjadi pengutuk tak tahu diri! Seakan merefleksikan diri yang tidak mengimani qada dan qadar (takdirNya). Padahal, kerap, hal buruk yang dialami bersumber dan dipicu dari kesalahan sendiri yang alpa dan dhaif.
Tidak satu pun manusia bumi ingin mengecap buruknya nasib. Sependek apapun seseorang berniat menjalani hidupnya, tak sedikit pun ia ingin sepotong episode buruk menjadi bagian kisahnya. Menandakan bahwa seperti fitrahnya, manusia menginginkan kebahagiaan.
Namun, sedikit sekali dari kita yang menyadari bahwa tak mungkin merasa senang jika tak pernah merasa sedih. Takkan pernah kita tahu manisnya gula jika tak pernah mengecap asinnya garam, dan pahit keduanya jika berlebih. Selalu ada pembanding untuk merasakan puncak sesuatu yang berkebalikan.
Berbeda ketika merasa senang, adakah kita pernah protes mengapa selalu dilimpahi karunia? Adakah kita pernah pertanyakan mengapa Tuhan sangat baik pada diri setelah bertubi-tubi nikmat dikirimkannya? Adakah pernah kita menolak, lalu meminta agar nikmat kita diberikan saja pada orang lain? Atau justru terus meminta yang lebih banyak?
Jika jawabannya tidak, betapa diri ini sungguh egois dan serakah. Memang akan jarang kita temui orang-orang yang merasakan keadaan terakhir. Kecuali pada mereka yang merasa cukup dan bersyukur saja, tanpa meminta lebih.
Setelah berbagai kesedihan oleh hal-hal buruk yang tak diinginkan, saya berusaha menyadari bahwa dibalik semua kejadian tak ada tujuan lain Allah menimpakannya selain untuk menaikkan level "kekuatan" saya. Kekuatan bertahan dengan sabar, kekuatan menemukan hikmah, dan kekuatan untuk siap naik kelas. Paling penting, kekuatan untuk percaya bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan. Setelah sedih akan terbit bahagia. Sebab dengan begitu, hidup akan berwarna. Tidak flat!*(Na/
Pertama kali saya mengenal Andori Andriani adalah melalui Twitter. Saya tertarik menyimak cuitannya tentang Jepang, kehidupan dan perjuangannya bersekolah di negeri sakura. Lalu baru saja saya menamatkan buku karangannya berjudul "Doriyaki: Jauh di Mata Dori di Hati" yang diterbitkan Bukune. Membaca Doriyaki membuat saya mengenal sisi kehidupan Andori yang tidak ditampakkannya di media sosial.
Betapa di media sosial Andori tampil sebagai perempuan kuat, milenial ceria dan tampak tak pernah memiliki masalah besar. Di bukunya, Andori bercerita lebih detail lagi tentang kehidupannya. Mulai dari pengalaman masa kecilnya yang menyenangkan ketika tinggal di Jepang sampai perjuangannya mengejar mimpi ke Jepang setelah lama menetap kembali ke Indonesia.
Sebagian orang akan menilai mudah saja bagi Andori yang Ayahnya bekerja dan tinggal di Jepang untuk melanjutkan sekolah di Jepang. Namun, di Doriyaki, pembaca akan mengetahui bahwa perjuangan mengejar mimpi ke Jepang tidak mudah. Berliku dan penuh air mata.
Tentang bagaimana Andori tidak berhenti ketika tersandung kegagalan. Tentang bagaimana Andori mengupayakan berbagai cara untuk tetap mewujudkan impiannya setelah berulangkali mengecap pahit perjuangan. Cerita Andori ini, akan memotivasi para pengejar mimpi terutama yang juga bercita-cita ke Jepang.
Di balik keceriaan dan sikap tampak tak punya masalah, ada cerita kelam dan menguras air mata yang dirasakan Andori menyaksikan keluarga yang tidak harmonis. Sikap Andori untuk menghapus kesedihannya, berdamai dengan sakit hati dan dendam patut jadi inspirasi. Terutama bagi pembaca yang juga mengalami broken home. Bahwa anak-anak yang broken home tidak selamanya berakhir dalam kegagalan dan masa depan suram. Namun, bergantung pada pilihan untuk bangkit dan memilih menyongsong masa depan, mengejar mimpi.
Doriyaki mencontohkan bagaimana memuliakan orang tua meski awalnya sering tak sepaham. Bagaimana pada akhirnya seorang anak harus menjadi anak yang berbakti dan patuh kepada orang tua. Andori membagikan kisah tentang proses mendewasa setelah berbagai cobaan dalam hidupnya.
Bagi saya, buku Doriyaki cukup inspiratif di samping ia disetting juga sebagai buku yang menyajikan komedi segar melalui percakapan sehari-hari yang blak-blakan. Juga ilustrasi imut dan manis yang membumbui halaman-halaman buku. Desain buku juga terlihat keren. Setiap halaman memiliki desain tersendiri yang membuat pembaca semakin asyik berpaku pada buku.
Kekurangannya, karena Andori bukan berasal dari latar belakang penulis, kadang-kadang terdapat kalimat yang kurang asyik. Ada pula beberapa saltik/typo. Namun, tidak menganggu.
Membaca Doriyaki, membuat saya terharu atas perjuangan hidup Andori. Saya juga sempat menangis dan dibuat sedih ketika membahas tentang Ibunya yang harus berpulang di saat-saat terakhir Dori hampir mewujudkan mimpinya memakai toga di Jepang. Ada beberapa kalimat inspiratif pula yang tersirat dalam tulisan Dori yang dapat menjadi penyemangat bagi pembaca.*(Na/031019)
”Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin,
rugilah dia. Barangsiapa yang hari ini lebih buruk dibandingkan dengan hari
kemarin, celakalah dia. Dan barangsiapayang hari ini lebih baik dibandingkan
hari kemarin, beruntunglah dia.”
Pepatah bijak tersebut
sering disampaikan guru saya semasa sekolah untuk memotivasi para siswa terus
menjadi lebih baik, rajin belajar dan tidak berpuas diri ketika mendapat hasil
yang bagus. Kutipan yang bila menjadi motto hidup niscaya diri akan tumbuh
menjadi pribadi yang baik karena terus berusaha membaikkan diri. Begitu pula
saya. Meski hingga hari ini masih jauh dari “baik”, saya tak berhenti
mengupayakan kebaikan diri.
Beragam cara saya lakukan: belajar
di majelis ilmu, berkumpul dengan orang-orang alim, mendengar rekaman ceramah luring
dan membaca buku motivasi. Ragam cara tersebut berkaitan satu sama lain yang
kemudian saya praktikkan sebagai upaya pemberdayaan diri. Hal yang paling
sering saya dengar dan baca adalah meningkatkan kemampuan diri atau mengubah
kebiasaan menjadi lebih baik dengan merencanakan dengan konsisten.
Beberapa hari terakhir, saya
sibuk menulis proposal berisi rencana hidup yang saya alamatkan kepada Allah.
Membuat proposal adalah hal biasa bagi mahasiswa yang sering terlibat kegiatan
kampus, namun proposal yang saya buat tetap berdasarkan sebuah panduan dari
sebuah buku. Ditulis oleh seorang motivator sukses mulia, Jamil Azzaini, buku
dengan judul “Tuhan, Inilah Proposal Hidupku” membimbing saya merumuskan tujuan
hidup beserta misi untuk mencapai tujuan tersebut.
|
Sepotong sampul proposal saya yang masih butuh diedit biar kece |
Ada lima langkah yang perlu
ditempuh untuk menyelesaikan proposal. Langkah pertama adalah saya harus
meyakini bahwa diri ini spesial dan diciptakan Allah istimewa dengan hal-hal
yang tidak dimiliki dan dilalui sama seperti orang lain. Keyakinan bahwa diri
saya spesial lalu saya tuliskan. Saya jabarkan dengan narasi-deskripsi bahwa
saya istimewa karena terlahir sebagai diri saya saat ini yang telah melakukan
hal istimewa dengan menjelaskan pencapaian, target yang terlampaui, hal-hal
yang membanggakan dan apapun pengalaman hidup yang berharga.
|
tuliskan semua yang membuat diri spesial |
|
ini versi lebih ringkasnya, tapi sebaiknya menulis keduanya |
Banyak orang yang memiliki
mimpi besar tapi yang dilakukannya tidak mendekatkan pada mimpinya, dengan kata
lain bahwa ia bermimpi tetapi tidak serius mewujudkannya. Lebih parah lagi jika
berada pada kondisi tidak mengetahui cita-cita atau tujuan hidup. Hidup
berprinsip seperti ikan mati: mengikuti arus, membiarkan ke mana arus kehidupan
membawanya.
Maka selanjutnya adalah menetapkan
prestasi terbaik yang ingin diraih. Buku tersebut memandu saya menetapkan
prestasi terbesar apa yang paling saya ingin wujudkan dalam hidup saya. Bukan
kaleng-kaleng, prestasi terbaik yang dituliskan adalah prestasi tertinggi di
puncak kehidupan yang spesifik, terukur, memiliki jangka waktu jelas untuk
diwujudkan, harus meningkatkan 4-ta (harta, tahta, kata dan cinta) dan harus
bermanfaat untuk orang lain.
Prestasi yang dimaksud bukan
sekadar pencapain kecil-kecilan, tapi prestasi besar yang berdampak memenuhi
semua kriteria yang disebutkan. Menuliskan bagian ini, menyadarkan saya jika
prestasi yang selama ini ingin saya wujudkan masih terbilang kecil. Meski
berefek positif bagi lingkungan sekitar, namun tidak besar kecuali untuk saya
saja. Prestasi yang dituliskan bukan prestasi jangka pendek, bisa saja
diwujudkan di usia matang 45 – 60 tahun.
|
|
Langkah ketiga adalah menjadi seorang ahli di bidang
tertentu. Jika masih merasa bingung perihal keahlian apa yang dimiliki maka
dapat menuliskan daftar kegiatan yang sering digeluti. Penulis mengarahkan saya
membuat tabel yang terdiri dari tiga kolom yang masing-masing berisi: kegiatan
yang saya sukai, kegiatan yang saya cintai, dan kegiatan yang menghasilkan. Pertanyaannya,
apa yang harus saya kuasai untuk melakukan pekerjaan yang saya cintai dan
menghasilkan? Itulah keahlian yang seharusnya saya pilih. Penulis mengingatkan
agar tidak membandingkan keahlian diri dengan orang lain, sebab masing-masing
manusia spesial.
Tidak berhenti pada kemampuan
itu saja, perlu komitmen diri untuk meningkatkan keahlian. Sebab ilmu
pengetahuan berkembang dari hari ke hari selalu ada sesuatu baru, maka penting
dan perlu meningkatkan skill dan keahlian. Misalnya saya ingin ahli di bidang pendidikan.
Maka, saya perlu membaca buku pendidikan, memahami dan berlatih model dan
teknik mengajar, menguasai proses asesmen, memahami karakter peserta didik dan
cara menanganinya.
Bahkan, tetapkan orang-orang
yang bisa membimbing sebagai guru: guru expert, guru spiritual, dan guru
kehidupan. Mereka bisa menjadi tempat belajar dan teman sharing. Tentu saja mereka perlu dihormati dan diperlakukan
selayaknya guru. Selain itu, perlu mencari dukungan orang-orang terdekat. Bisa
dengan menetapkan lima orang sahabat dengan alasan mereka mampu menjadi teman sharing, diskusi dan mendukung
sepenuhnya.
Langkah selanjutnya adalah
membuat target setiap 90 hari (per triwulan) yang terukur dan menantang. Target
ini dilakukan dalam rangka menyempurnakan hidup dan membiasakan diri menjalani
kebiasaan-kebiasaan baik. Target 90 hari dapat dituliskan dengan membuat tabel
yang terdiri dua kolom berisi bidang kehidupan yang setiap barisnya adalah
aspek-aspek: karya-karya yang akan dihasilkan, keuangan/finansial/aset,
kesehatan, keluarga, sosial-kemasyarakatan, dan kehidupan spiritual. Kolom
kedua berisi target 90 hari yang ingin dicapai pada setiap aspek.
Harus selalu diingat bahwa
target yang ditetapkan harus terukur dan menantang. Misalnya pada aspek
karya-karya yang akan dihasilkan ditetapkan target menulis satu buku setiap
bulan. Target yang ditentukan juga sebaiknya melampaui pencapaian supaya
tantangannya lebih terasa. Jika sudah mampu menghasilkan satu buku, targetkan
dua buku. Namun, tentu sebaik apapun target dirancang jika tidak disiplin tidak
akan tercapai.
Target 90 hari perlu
dibarengi dengan sikap yang mendukung, sikap berkualitas. Buku tersebut
menyebutkan tiga sikap dan perilaku: positif, produktif dan kontributif. Ketiganya
perlu dituliskan pula agar diri benar-benar memiliki ketiganya.
Langkah terakhir adalah menyampaikan
proposal yang telah dibuat kepada orang-orang terdekat agar mereka mendukung
langkah baik yang diniatkan. Mereka juga dapat bertindak sebagai pengingat
kalau diri ini lalai atau lupa dengan target. Saat menyampaikan proposal, tidak
boleh sedikit pun terbersit rasa sombong dan bangga diri. Dalam mewujudkan
tujuan, selalu meminta petunjuk kepada Allah agar diberi kemudahan.
Ketika berdoa, tunjukkan proposal itu dan
sampaikanlah, ”Ya Tuhan, inilah jalan
hidup yang ingin kutempuh. Bila dengan ini Engkau semakin cinta kepadaku,
bantulah aku untuk meraihnya. Tetapi bila dengan ini Engkau murka kepadaku,
keberadaanku menjadi tidak bermanfaat bagi orang-orang di sekitarku, berilah
aku petunjuk-Mu.” – Hal.85
Setiap tahapan yang berhasil dilalui, wujudkanlah, rayakanlah dengan penuh kesyukuran. Tidak perlu tergesa dan selalu
berbagi.*(Na/021019)
|
photo by: satuweb |
Semalam mereka datang lagi.
Dari layar kaca mereka
kembali gambarkan kisah.
Tentang bagaimana sebuah
prinsip dipertahankan,
tentang bagaimana sebuah
pengkhianatan mematikan.
Bagi sebagian orang, kedatangan
mereka menjemukan.
Padahal hanya sekali setahun
di tanggal yang sama.
Bagi separuh orang, kisah
mereka pelajaran berharga:
bangsa mengingat jika sejarah
buruk jangan terulang kembali.
Kelam;
seram;
mengundang geram.
Kisah mereka bukan dongeng.
Bukan karangan sastrawan
angkatan lama.
Mereka abadi dalam sejarah
bangsa.
Mereka terkenang di
hati-hati yang mencintai pengabdian tulus.
Meski, sebagian meragukan
keotentikan tayangan sejarah di panggung seni.
Percayalah, mereka sungguh
menanggung derita atas nama profesi dan kebanggaan ideologi.
Bayangkan jika hidup di masa
itu sebagai kerabat dan sanak keluarga.
Berapa banyak air mata
tumpah menjadi saksi kebiadaban?
Seberapa dalam hati terluka
mengingat kepergian yang dirampas paksa?
Bahkan sebagai saudara
sebangsa,
1965 adalah duka berdarah,
luka bernanah.
Selamat jalan pahlawan,
tenanglah di Sisi Tuhan Yang Maha Esa.
Kini, harta yang mereka
wariskan dari pengorbanan besarnya masih dijaga.
Masih hendak berusaha
dijalankan dengan sebaik-benarnya.
*
Betapa prinsip yang mereka
pertahankan sungguh sulit.
Negara kini dalam situasi hampir
pailit.
Menjadi musuh bangsa sendiri
selalu berkali lipat menyedihkan,
menyusahkan daripada
bertaktik mengusir bangsa penjajah.
Bagaimana tidak, yang
terkira kawan ternyata lawan.
Yang terang-terangan melawan,
menjarah seluruh milik pribadi
bahkan nyawa melayang
seperti tak berharga.
Negeri tercinta tengah diuji.
Tragedi terhampar di depan
mata.
Ujian bencana tak mampu
dinyana.
Ujian sosial melulu jadi
soal.
Ujian kemanusiaan berakhir
memilukan.
Ujian keadilan masih dalam
tuntutan.
Kesabaran harus tak terbatas
di tengah situasi yang tak menentu.
Padahal, jika mengaku
Pancasila hadir dan dihayati.
Semestinya bangsa ini
bersuka bukan berduka.
Bahwa segalanya berjalan
sesuai harapan.
Sayang, yang keras teriak tegakkan
demokrasi dan pancasila
justru menyimpang dan
mengkhianati pengorbanan.*(Na/011019)
Ditulis
dalam peringatan Penumpasan G30SPKI dan Hari Kesaktian Pancasila.