Tak Mesti Tunggu Lulus Kuliah Tuk Wisuda

Sepekan yang lalu, tepatnya di hari jumat (28/05) adalah liburan bersama yang diadakan oleh Kelas Menulis Kepo, yang sekaligus merayakan setahun eksistensinya. Sayangnya, saya tidak bisa bergabung sebab acara liburan itu bersamaan dengan acara penamatan siswa saya yang semuanya bergender perempuan (kemudian kusebut siswi-siswi). Di acara penamatan itu, semua pendidik yang juga panitia acara diwajibkan datang, termasuklah saya.

Bila ada yang menyangka bahwa penamatan siswi-siswi saya ini adalah acara berbentuk rekreasi atau kegiatan formal di aula sekolah, maka persangkaannya jelas salah. Sebab, acara penamatan itu berlangsung lebih besar dan meriah di gedung Baruga AP. Pettarani Unhas. Penamatan yang sudah seperti acara penamatan mahasiswa, wisuda. Benar, bahwa penamatan itu dinamai wisuda. Lengkap dengan atribut para siswi memakai toga putih metalik, selempang yang bertuliskan smart and sholehah, dan kalung identitas sekolah tempat tamat serta beberapa yang merias wajah di salon. Pokoknya, penampilan siswi tak kalah dengan wisuda mahasiswa.

Siswi-siswi SMP dan SMA di panggung (Foto: Panitia)
Prosesi wisuda dahulu sangat identik dengan kelulusan mahasiswa. Bahkan bila mencari pengertiannya pada beberapa sumber, yang saya temukan salah satunya bahwa wisuda adalah pelantikan kelulusan mahasiswa yang telah menempuh masa belajar pada suatu Universitas (via Wikipedia Indonesia). Sebenarnya pun, wisuda adalah perayaan yang diadopsi dari Barat, tepatnya dari Romawi. Termasuk dalam hal pakaian yang khas. Tetapi kini prosesi wisuda tidak lagi hanya untuk perguruan tinggi, bahkan beberapa TK (tingkat pendidikan terendah) mengadopsinya, termasuk sekolah tempat saya mengabdi yang meluluskan siswi-siswi SMP dan SMA.

“Deh, kita dulu kuliah peki’ baru dirasai yang namanya wisuda. Sekarang, baru tamat SMP, di wisudami.” ungkap Fia, rekan kerja saya di sekolah dan kepanitiaan saat itu sambil melihat stan foto khas wisuda yang ditempati siswi mengabadikan momen bersama keluarganya.

Saya membenarkan pendapatnya. Sebab apa yang kami dan kebanyakan orang alami sama, merasakan euforia wisuda saat lulus kuliah. Mungkin memang mesti berbeda dengan kebanyakan sekolah swasta, lebih-lebih sekolah negeri. Sekolah tempat saya mengabdi ini boleh dibilang sekolah islam yang elit. Para siswi tinggal di asrama dengan fasilitas yang menurut saya membuat nyaman, tidak kepanasan dan seperti bayangan ataupun apa yang saya lihat dari pesantren pada umumnya. Ya, sekolah itu boleh dibilang merupakan pesantren putri modern.

Orang-orang tua yang menyekolahkan anaknya di tempat itu pun, tentu bukan orang tua sembarangan. Mereka pastilah berada dalam status menengah ke atas. Lalu semua terjawab sedikit lebih jelas saat saya yang berada di meja registrasi menyambut para orang tua dan menyilakan mereka mengisi daftar hadir. Penampilan mereka didominasi penampilan yang ‘wah’ dan berkelas. Tempat parkir di depan gedung pun dipenuhi mobil-mobil masa kini hingga harus memarkir kendaraan di jalanan seberang.

Banyak dari orang tua itu yang berdomisili di luar Makassar dan Maros. Saya salut dengan mereka yang mungkin saja sibuk, tapi masih menyempatkan diri untuk mengunjungi anaknya. Bahkan ketika di asrama, setiap pekan atau dua pekan sekali dengan jarak rumah ke sekolah yang ditempuh hingga berjam-jam lamanya, sambil membawa bekal ini itu.

Sebenarnya kita tidak bisa menilai penampilan lalu menebak status mereka. Sebab, kini kita seringkali tertipu oleh penampilan. Semua orang bisa berpenampilan yang menutupi status sosialnya. Saya hanya sempat terpikir saat tahu nama anak yang ditulis orangtuanya di buku tamu, tentang kedudukan si orang tua dan kondisi anaknya di sekolah. Mungkin masih tertinggal dari harapan mereka, lalu saya jadi prihatin. Padahal, mereka tentu melepas anaknya di sekolah untuk sebuah perubahan signifikan, kan? Itulah tugas pendidik dan pembina di sekolah berasrama, tanggung jawabnya besar. Lebih dari itu, si anaklah yang harus berjuang dan berkemauan ekstra untuk berubah.

Acara penamatan saat itu tidak hanya diikuti para wisudawati beserta orangtuanya. Semua siswi yang akan naik kelas pun hadir beserta orangtuanya untuk menerima rapor. Acara itu juga menjadi ajang para siswi menunjukkan aksinya kepada para orang tua mereka yakni dengan menari, gerakan Pramuka, dan paduan suara. Juga ada penganugerahan kepada siswi teladan dengan kriteria yang telah ditetapkan. Saya yakin, orang tua mereka yang menyaksikan pun bertambah bangga.

Bukan hanya petinggi-petinggi sekolah yang hadir, layaknya wisuda mahasiswa, Rektor pun juga hadir. Rektor Unhas, Prof. Dwia Aries Tina menyempatkan diri berada di kegiatan itu, bahkan turut menyampaikan sebuah pesan di depan para hadirin. Beliau menyampaikan bahwa anak-anak itu sungguh luar biasa. Mereka adalah generasi emas yang akan memimpin ditahun 2045. Kemudian berterima kasih kepada sekolah yang telah menanamkan nilai pendidikan secara umum dan berkarakter serta akhlak islami.

Saya lebih melihat bahwa acara penamatan para siswi dengan gelaran wisuda itu, adalah salah satu pembuktian bahwa sekolah islam putri yang serupa pesantren melepas para siswinya dengan bangga dan penuh penghargaan. Ada banyak harapan yang ditujukan kepada mereka, bahwa masa-masa sekolah bertahun-tahun itu punya peranan yang mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Lalu mereka bisa benar-benar menjadi perempuan cerdas dan sholehah seperti apa yang selalu diselip dan didoakan pada tiap-tiap dirinya.


Dari cerita beberapa orang tua, ada anak mereka yang ternyata masih tetap ingin melanjutkan sekolahnya di sana dengan alasan ingin tetap menjaga hafalan Quran dan menambahnya. Masya Allah! Dari gelaran wisuda itu pula, semakin banyak yang mengenal sekolah itu dan bertanya-tanya, hendak berniat menyekolahkan anak-anaknya di sana. Nah, itu juga salah satu tujuannya.***

0 komentar