22: Kapan?

Suara lantang dari penceramah tarawih membuat ibu-ibu di samping saya sejenak diam dari aktivitas bincang-bincang selepas sholat mereka. Kuedarkan pandangan mengamati, perempuan-perempuan bermukenah menunduk dengan satu arah pandangan yang pasti. Suara penceramah makin terdengar jelas dan mengalihkan saya untuk memasang telinga tajam-tajam dari keributan yang dibuat bocah-bocah perempuan di samping saya.

“Kita harusnya bersyukur, karena malam ini tidak tidur sendiri di tempat yang gelap. Tidak ditemani oleh hanya cacing-cacing dan binatang kecil yang memakan jasad kita. Belum ditanyai oleh malaikat alam kubur tentang bagaimana dan untuk apa hidup kita habiskan…. Usia bukanlah penentu  dan penjamin kita masih akan hidup lama di dunia….” Itu beberapa penggal dari banyak kalimat ilustrasi yang mengawali ceramah beliau.

Hingga akhir ceramah, saya menyimpulkan kalau Sang ustadz mengingatkan jamaah tentang kematian dan azab neraka yang akan menyambut orang-orang yang lalai. Suatu malam penuh renungan bagi para jamaah yang hikmad mendengarkan. Malam itu, malam ke-25. Malam ganjil yang diperintahkan untuk dihidupkan, demi berjaga-jaga kali saja Lailatul qadr turun—beruntunglah yang mendapatkannya. Malam itu juga seakan jadi ajakan, yuk bangun sholat dan bermohon ampunan pada Allah dengan sungguh-sungguh!

Bagi saya, malam itu bukan hanya tentang bangun dan beribadah memohon ampun dan berkah. Malam itu istimewa, karena selepas dentang jarum panjang melewati angka dua belas yang juga ditunjuk oleh jarum pendek, usia saya resmi bertambah. 22! Angka yang menurut saya masih cukup muda untuk menetapkan tenggat waktu menikah dan segera berkeluarga. Tapi telah cukup tua, sudah tua untuk belum ‘sukses’ dan ‘mapan’ dengan kebahagiaan menurut definisi saya selama ini.

Tahun lalu, saya ingat menetapkan apa-apa yang harus saya kerjakan dan capai direntang usia sebelumnya. Bila ingin menceklisnya, mungkin saya akan mendesah panjang karena gagal mencapai hal-hal tersebut. Maka dari pada saya larut dalam penyesalan terhadap waktu yang tak mungkin kembali, saya memilih merenungi dua puluh dua tahun yang saya lewati.

Beberapa hari lalu, teman facebook saya yang usianya terpaut jauh dan telah bekerja, berkomentar panjang di foto memori tiga tahun silam yang dibagikan teman saya. Saya terhenyak akan komentar-komentarnya yang berisi peringatan, nasehat, dan wejangan. Ia menyadarkan akan usia saya saat ini dan telah seberapa banyak usaha yang telah saya tempuh untuk masa depan. Katanya, usia 22 adalah warning pertama. Karena saya paham maksudnya, seketika itu pun saya baper. Apalagi saat ia menyinggung tentang balas budi pada orang tua, meskipun tidak akan sanggup membayar seluruh jasa mereka.

Namun, usaha membahagiakan adalah salah satu tindakan untuk balas budi. Saya bertambah baper.
Kata KAPAN menjadi kata menyeramkan—meski selalu begitu. Kapan saya memenuhi target-target yang saya buat? Kapan saya akan benar-benar bebas bahagia? Kapan saya bisa benar-benar bermanfaat bagi sesama? Kapan saya membahagiakan kedua orang tua saya? Kapan saya pergi dengan kenangan terbaik untuk orang-orang? Kapan pasti akan terjawab seiring berjalannya waktu dan sejauh dan sebesar usaha yang saya wujudkan. Sayangnya, saya kerap terpengaruh dengan orang-orang di sekitar saya yang telah lebih dulu meraih hal yang sama. Ngerinya, saya sering merasa bahwa kapan menjadi kata tanya paling menyeramkan saat saya merasa stuck in the ‘moment’. Huhu!

Mungkin, saya harus lebih giat lagi berjuang dan berusaha. Terutama dalam menyatakan impian. Saya sudah harus benar-benar realistis memandang dan menyikapi hidup. Saya harus menguapbebaskan angan-angan hampa yang sering jadi kabut penghalang optimisme saya. Terpenting, saya sudah harus mengetahui jelas passion saya dan hidup dalam mimpi yang berusaha saya wujudkan, bukan mengkloning mimpi orang lain dan ikut-ikutan mewujudkannya.

Dua puluh dua tahun adalah tentang pendewasaan diri, pendalaman karakter, dan penebalan iman. Tiga puluh Juni yang bertepatan dengan malam ke-25 Ramadan, yang entah itu adalah malam Lailatul qadr atau bukan, harapan saya semoga Rabbku mendengar keluh kesah dan doa-doaku. Menyentuh hatiku untuk menjadi hambaNya yang beriman dan bermanfaat, serta menerima hal-hal baik yang telah saya lakukan.

Kepada yang telah menulis dan memberi ucapan, juga yang telah mengirim doa diam-diam dan terang-terangan, saya menghatur terima kasih. Semoga Allah pula memberkahi kehidupan kalian, kita semua. Usia adalah angka penanda, tetapi ia bukanlah symbol penentu  kapan Izrail datang menjemput secara paksa. Sebaik-baik kehidupan adalah yang dilalui dengan amal-amal kebaikan. Semoga pertambahan usia membuat saya lebih dewasa dan bijak dalam berbagi hal.***

#Juni_penuh_berkah_dan_bahagia
#Juni_istimewa

0 komentar