Seribu Bangau Tuk Bawa Ku Ke Kyoto

Pernah dengar gerakan seribu bangau? Atau pernah melihat seribu bangau yang tergantung di langit-langit sebuah ruangan? Gerakan seribu bangau sebenarnya adalah budaya orang Jepang, khususnya para remaja yang percaya bahwa membuat seribu bangau dari kertas origami dan memanjatkan harapan, maka kemungkinan besar bisa terkabulkan. Dalam cerita komik, harapan setelah membuat seribu bangau berhasil terwujud, seperti cinta yang diterima.

Seribu bangau kertas atau biasa disebut tsuru origami
Seribu bangau pun pernah saya lihat menggantung indah di langit-langit ruangan Konsulat Jepang di Makassar. Katanya, itu dibuat oleh mahasiswa sastra Jepang Unhas yang beberapa menuliskan harapan dan doa untuk pemulihan Jepang selepas gempa hebat yang melanda. Jepang memang secara geografis adalah Negara yang rawan gempa di mana posisinya terletak di tiga lempeng benua. Tetapi itu tidak pernah menyurutkan obsesi saya untuk tetap sangat ingin mengunjunginya.

Matahari terbenam di Okinawa

Di Jepang juga banyak sekali kebun bunga matahari 😍😍😍
Saya termasuk salah seorang yang antusias atas apapun yang berkaitan dengan Jepang. Sejak kecil, Jepang telah memengaruhi mindset saya akan suatu negeri indah lainnya yang diciptakan Tuhan melalui panorama alamnya. Sekalipun itu melalui gambar animasi. Ada suatu perasaan yang sulit saya gambarkan jika melihat matahari terbenam dihiasi kawanan burung yang berbunyi khas tanda jelang petang. Juga pemandangan lautnya yang memantulkan sinar-sinar berwarna jingga keemasan. Semakin terasa saat menonton film atau drama yang berlatar sama. Selain itu, bahasa, budaya, teknologi, pendidikan, hobi, dan gaya berpakaian penduduknya juga selalu menarik bagi saya.

Ini di Kyoto

Sakura bermekaran di Kyoto
Indonesia indah, tapi bagaimana pun Jepang punya sebuah keindahan lain yang tak dimiliki Indonesia. Jepang memiliki empat musim di mana tiap musimnya, selalu ada hal istimewa yang mencirikannya. Seperti bunga Sakura yang bermekaran saat musim semi. Pohon-pohon maple yang memerahjinggakan jejalanan membuat pemandangan yang sangat indah. Kawasan yang paling ingin saya kunjungi adalah Kyoto. Kota yang sempat menjadi ibukota Jepang sebelum Tokyo ini bisa dibilang pusat kebudayaan Jepang. Banyak sekali kawasan wisata sejarah seperti kuil-kuil kuno dan perayaan kebudayaan (Matsuri) untuk menyambut pergantian musim.

Gion Matsuri, festival menyambut musim panas di Kyoto
Jika saya melihat gambar-gambar atau tayangan saat Matsuri di Kyoto, saya membayangkan seperti dibawa di zaman di mana Geisha amat populer. Pemandangan di Kyoto terkesan tenang dan sakral. Sepertinya sejuk dan tentu tidak membuat saya bosan. Keinginan untuk mengunjungi Jepang pun semakin membuncah tatkala saya SMA. Teman-teman saya ternyata banyak juga yang Otaku. Tiap hari bergelut dengan komik dan musik Jepang. Kerap pula bertukar dan membahas serial anime, drama, dan film produksi Jepang.

Keinginan itu pun ingin saya wujudkan selepas SMA di mana saya mendaftar untuk mengikuti seleksi beasiswa Monbusho/Monbukagakusho yang diadakan MEXT Jepang tiap tahun. Demi lulus beasiswa itu, saya minta dikenalkan dengan teman lelaki dari teman perempuan saya yang sudah dua tahun kuliah di Jepang melalui program yang sama. Darinya, saya memperoleh banyak motivasi, tips dan trik, dan gambaran hidup di Jepang. Setelah melalui tahapan seleksi dan mencari pengumumannya di internet, betapa kecewa dan menyedihkannya tak ada satupun perwakilan Makassar yang lulus. Padahal semasa tes, saya menemui banyak peserta dari sekolah-sekolah unggulan.

Butuh waktu lama bagi saya untuk bisa move-on seutuhnya. Saya mendapatkan banyak semangat dari teman lelaki teman saya itu dan harapan bahwa Jepang selalu membuka peluang beasiswa dari banyak program. Beberapa waktu lalu, saya tak sengaja menemukan poster berisi ajakan perjalanan ke Kyoto selama dua pekan lamanya untuk belajar dan mengenal budaya Jepang lebih jauh. Saya hanya mengunduh formulirnya dan tidak pernah mengirim kembali. Cz it’s not fully funded and I have to pay all the cost, if I qualified.

Selama 2016 ini, saya telah menemukan dua program untuk perjalanan ke tempat impian saya itu, tapi tidak saya ikuti karena faktor biaya yang secara pribadi berat tuk ditanggung. Tapi bukankah itu adalah pertanda dari Tuhan, bahwa ternyata ada jalan-jalan untuk ke sana. Mungkin bukan dengan kuliah, tapi sebuah perjalanan lain yang lebih menarik tuk bisa saya coba ke depannya. Atau mungkin saya juga perlu membuat seribu bangau origami tuk membawa harapan saya jadi kenyataan?*

0 komentar