At-thoyyibah dan Kenangan yang Tak Terlupakan

Ramadan adalah bulan penuh berkah. Segala amal dan ibadah yang dikerjakan dijanjikan pahala yang berkali-kali lipat oleh Allah SWT. Maka tak mengherankan jika saat Ramadan masjid-mesjid nyaris penuh, terutama saat pelaksanaan shalat tarawih dan dan shalat subuh. Jumlah jamaahnya sulit dijumpai bila hari-hari biasa.

Beberapa penceramah saat tarawih kerap menyampaikan pujian dan sindiran pada beberapa masjid yang di tempatinya berceramah. “kalau masih hari pertama sampai sepuluh Ramadan itu masjid penuh sampai kadang ada yang tidak dapat tempat. Hari ke sebelas sampai dua puluh jamaah mulai berkurang. Sepuluh hari terakhir, ramainya masjid pindah ke mal-mal.” saya percaya, sebab itu terjadi pada masjid dekat rumah saya.

Masjid dekat rumah saya
 Keriuhan dan keramaian masjid dekat rumah saya, At-thoyyibah, tak lagi sama seperti dulu. Saya teringat betapa dulu masjid selalu ramai dengan aktivitas-aktivitas ibadah dari setelah subuh hingga selepas tarawih. Saya dan teman-teman yang masih berada diusia SD-SMA (saya kala itu masih kelas enam SD) tiap hari nongkrong di masjid, bahkan masjid ibarat rumah kedua.

Selepas sholat subuh, kami akan disibukkan dengan tadarrus Alquran, berzikir, dan berkelompok belajar ilmu fiqih yang diajarkan oleh kakak lelaki yang saat itu sudah jadi imam masjid. Pulang ke rumah menjelang dhuhur untuk mandi, lalu kembali lagi. Bahkan, ada teman lupa mandi dan tetap di masjid hingga menjelang ashar. Oh iya, masjid itu salah satu tempat ternyaman untuk tidur. Sekali mata terpejam, angin membelai wajah, tanpa perlu dihitung pikiran sudah masuk di alam mimpi.

Selepas ashar, beberapa orang teman akan tinggal hingga menunggu waktu berbuka. Jeda antaranya, kadang dipakai tadarrus, bercerita, dan bermain dengan latar suara Opick dan Haddad Alwi yang mengalun dari radio masjid. Kalau sudah ada suara demikian, tiap keluarga yang mappabuka akan datang. Kami terkadang membantu para ibu menandai nama keluarga yang telah membawa pabukanya. Wangi khas gorengan dan kue tradisional akan segera tercium saat baru membuka tempat makanannya. Tampilan kue basah yang berlumer cokelat atau susu yang dibawa akan sangat menggoda, maka kami harus pandai mengontrol diri agar puasa tak makruh.

Kami juga membantu menyusun kue-kue di piring beserta teh dan air putih, lalu mengatur posisinya berjejer  hingga ke bagian jamaah laki-laki di beranda masjid. Setelah semua rapi, kami akan menandai posisi kue yang enak-enak yang  sebelumnya telah diatur, dengan rok mukena atau seorang teman yang langsung duduk di hadapan hidangan. Biasanya sepiring kue yang berisi delapan hingga sepuluh kue dihadapi oleh dua orang. Kalau yang datang berbuka sedang banyak, sepiring kue dijatah untuk empat orang.

Momen tarawih kala itu juga adalah yang tak terlupakan. Kondisi At-thoyyibah kala itu ukurannya masih satu petak, tidak sebesar masjid lain yang jaraknya dekat. Halaman masjid yang lebarnya cukup untuk enam motor dan panjangnya untuk sepuluh motor pun dipasangi terpal dan dijadikan tempat bagi jamaah perempuan yang jumlahnya selalu lebih banyak. Beberapa orang jamaah perempuan yang berkelompok-kelompok sering terlihat melewati masjid. Kondisi saat itu benar-benar sesak dan membuat sedikit tidak nyaman. Bahkan saat itu, seorang bapak dari RT sebelah rela tak ikut tarawih hanya untuk menjaga keamanan dan ketertiban jamaah dan sandal-sandal yang bertumpuk-tumpuk di sisi luar jamaah perempuan.

At-thoyyibah mengalami lima kali perubahan dan renovasi rupa, terhitung sejak pertama dibangun tahun 2004. Satu petak tanah yang sedikit lebih luas di sisi kanannya kemudian diwakafkan untuk perluasannya. Penambahan luas teras masjid yang ditegel adalah renovasi kedua. Penggabungan dengan tanah wakaf yang telah dibangun adalah yang ketiga. Saat itu remaja masjid yang telah dibentuk bertahun-tahun lalu mulai sedikit redup tetapi masih terdengar suaranya oleh pengurus baru.

Kakak-kakak laki-laki yang kala itu masih kuliah selalu membimbing dan mengarahkan kami sekaligus penggerak aktif remaja masjid. Perlahan, saat mereka satu persatu merantau meninggalkan rumahnya, beberapa telah menikah dan tinggal di tempat lain, saat itulah perubahan drastis terjadi. Bahkan, direnovasi ke-empat At-thoyyibah (2014) di mana kondisinya makin membaik, tak ada lagi jejak-jejak yang dulu selalu kurindukan. Di tahun ini, 2016, jejaknya hilang sempurna. Secara fisik, dua petak tanah telah benar-benar menyatu tak menyisakan sedikitpun tanda-tanda fisik terdahulu, sekalipun itu warna dan ornamen dinding.

Terlebih dalam hal rasa, sulit sekali memutar ulang kenangan itu karena tak ada yang tersisa. Bahkan, kondisi anak dan remaja semasa saya dan kini jauh berbeda. Tak ada lagi aktivitas ibadah seperti dulu, tak ada lagi kelompok remaja yang menghabiskan sholat lima waktu, mengaji, dan belajarnya di masjid, padahal kini At-thoyyibah sudah berfungsi juga sebagai TPA (Tempat Pengajian Alquran).

Tak ada lagi jejak pemuda yang menyemarakkan Ramadan dan saling mengingatkan. Jejak remaja masjid sirna, beberapa yang masih tinggal, termasuk saya dan teman-teman tak lagi aktif sejak renovasi ketiga. Kami seakan kehilangan sosok pemimpin dan motor penggerak. Tak ada lagi perlombaan peringatan Nuzulul Quran. Tak ada lagi suara adzan yang dikumandangkan oleh remaja.

Tak ada lagi rasa yang menggebu-gebu untuk tahu lebih dalam tentang ilmu islam. Panitia masjid diisi oleh bapak-bapak saja dan ibu-ibu majelis taklim yang bertugas mengatur pabuka sampai cuci piring, seakan memindahkan dapurnya ke masjid saat masjid lain di sekitar memanfaatkan para pemuda dan remajanya untuk aktif di kegiatan Ramadan.

At-thoyyibah kehilangan anak-anak mudanya. Entah apa yang membuatnya kehilangan dengan cepat dan utuh, saya yang terlibat pun bahkan lupa. Anak-anak muda dan remaja kini tetap ada, tetapi mereka bukan remaja masjid. Mereka ‘tidak peduli’ terhadap At-thoyyibah.

Saya dan teman-teman mungkin terlalu cepat pergi sebelum sempat membentuk kader baru. Tak ada regenerasi, padahal  satu diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan selain naunganNya adalah lelaki yang hatinya terpaut dengan masjid. At-thoyyibah, semoga kelak remaja masjid kembali hadir. Semoga anak-anak yang sering berlari berkejaran di masjid itu adalah mereka yang jadi remaja masjid nantinya. Semoga!***

0 komentar