Pertemuan Terakhir dan Majalah Dinding

Makassar, 16 April 2016

Kami tetap datang pukul 10.00 WITA di hari terakhir kami akan bertemu adik-adik yang sudah terlanjur memiliki ‘ikatan’ dengan kami. Dewi sudah berada di sekolah saat saya menelpon menanyai keberadaannya. Beberapa hari sebelumnya, sebuah kabar kurang mengenakkan saya terima. Adik-adik kelas 4A, kelas NBS pagi—kelas khusus yang didampingi oleh saya, Dewi, Firdha, dan Kak Mely dilebur ke kelas 4B dan 4C yang biasa masuk di siang hari. Saya memeroleh kabar itu dari Nanda, adik kelas 4A yang berteman dengan saya di LINE. Katanya, ada kelas yang masuk pagi dan masuk siang. Dari informasi itu, saya dan Dewi tetap datang pagi hari dengan maksud mengisi kelas 4 yang masuk di pagi hari.  Sayangnya, kedua kelas tersebut ternyata masuk disiang hari. Saya, Firdha, dan Dewi hanya mampu melenguh pertanda mengeluh.

Beberapa saat kemudian, Kak Ica dan Kak Ifa datang. Ternyata hari itu Sobat LemINA akan mendistribusikan papan mading untuk dua sekolah yang diadakan program NBS. Akhirnya mereka resmi punya mading dari Sobat LemINA. Tentu kami berharap banyak pada adik-adik untuk lebih aktif menulis dan berkarya setelah mereka punya mading.

Karena jam masuk adik-adik kelas 4 masih tiga jam lagi, maka kami bertiga memutuskan untuk nongkrong bareng di tempat terdekat. Artwork kafe jadi pilihan terakhir kami. Selama nongkrong itu, kami berdiskusi tentang apa yang akan kami berikan saat pertemuan nanti. Mengingat semua rencana yang telah kami susun gagal sebab kelas yang selama ini kami isi telah dilebur, dan tentunya rencana tidak bisa dilaksanakan dalam keadaan seperti itu. Kami tidak mengenal adik-adik di dua kelas lainnya dan tentu belum ada ‘ikatan’ apa-apa antara kami yang tidak mendukung rencana sebelumnya.

Jaringan wifi yang telah saya beli melalui paket wifi.id tidak berjalan dengan lancar. Saya jadi kesulitan menemukan apa yang saya cari, guna mendukung rencana kami. Jadilah kami mengisi pertemuan kali itu dengan apa adanya (baca: tidak dengan rencana yang matang).

Menjelang siang, hujan turun deras. Jalanan di depan kafe menjadi becek dan jalan raya di aliri air-air yang tumpah dari langit hingga menggenang di pinggir-pinggir jalan yang gampang berlubang. Sebelum kembali ke sekolah, kami menyempatkan sholat di masjid. Sebuah kemudahan karena lokasi  masjid yang hanya berjarak dua bangunan dari lokasi kafe. Selepas sholat, hujan mereda. Alhasil, kami bisa melenggang bebas ke sekolah tanpa takut basah kuyup. Tak peduli lagi pada sepatu yang kotor akibat menginjak tanah becek.

Pertemuan dimulai dengan permainan. Kali itu, permainan andalan kami kembali mainkan. Permainan tebak gaya. Adik-adik kami bagi menjadi tiga kelompok. Satu kelompok penuh oleh adik-adik perempuan dan dua kelompok laki-laki yang dibagi rata. Ternyata adik-adik tidak hadir semua di kelas. Sebagian dari mereka mengikuti kegiatan dokter kecil di kelas lain. Beberapa wajah adik kelas 4A terdeteksi oleh mata saya. Dua adik lelaki yang paling menonjol, Haerul dan Adit. Si tukang jail kalau di kelas.

Permainan dimulai berdasarkan urutan kelompok dan tiap perwakilan kelompok naik memeragakan kata kunci yang diberikan. Kata kuncinya adalah tentang nilai kehidupan. Selama bermain, saya mengamati Haerul dan Adit yang sepertinya tidak pernah lepas dan seakan tidak ingin berbaur dengan kelompoknya. Mereka malah pindah ke belakang dan duduk berdua jauh dari kelompok. Teman kelompoknya pun tak begitu hirau, sebab mereka juga ogah-ogahan menanggapi.

Kami terus membujuk mereka. Sebab kami tidak ingin ada yang merasa diabaikan di kelas, padahal tidak sedang dihukum atau melakukan hal yang buruk. Tetapi mereka tetap saja diam di tempat. Mereka baru bertingkah saat kami memutuskan mendiamkan aksi mereka. Saya tahu, mereka tidak akan tinggal diam, sebab mereka itu anak-anak yang aktif dan tidak bisa hanya duduk diam di tempatnya sambil mengamati.

Saya menemukan keseruan ditengah keberlangsungan permainan. Saya melihat keakraban adik-adik dan antusiasme mereka dalam menebak nilai yang diperagakan oleh teman-temannya. Aksi-aksi para adik yang memeragakan gaya benar-benar mencuri perhatian saya. Mereka kompak dan sekreatif mungkin mencoba menemukan gaya agar teman kelompoknya dapat menjawab. Satu kata kunci terakhir diperagakan oleh adik tanpa tim, Haerul dan Adit. Aksi mereka mengundang tawa di seisi ruangan. Beberapa detik mereka berperaga, akhirnya ada juga kelompok yang berhasil menjawab benar.

“Kak, apa lagi di kerja ini?” seorang adik bertanya, lalu melanjutkan saat belum sempat kami jawab, “games mo lagi kak!”
“Nantipi lagi games, kita menulis dulu nah!”

Ternyata, tidak hanya di kelas pagi saja, adik-adik di kelas B pun senang sekali menagih untuk bermain-main saat pertemuan. Kelas dilanjutkan dengan memberikan tugas menulis kepada adik-adik. Kami tidak tahu seberapa jauh kemampuan menulis adik-adik di kelas B ini, baik yang perorangan maupun secara keseluruhannya. Tapi, saat diarahkan untuk menulis dengan jumlah paragraf yang ditetapkan, mereka menurut saja dan tidak banyak protes seperti kelas A. Tema tulisan hari itu adalah “Aku dan NBS”. Jadi kami ingin tahu bagaimana tanggapan adik-adik dengan adanya program NBS di sekolah mereka. Mereka dileluasakan untuk mengungkapkan isi hati. Semakin frontal justru akan semakin bagus, karena mengungkapkan apa yang tentu saja ingin sekali kami ketahui.

Tulisan adik-adik dikumpulkan saat jam istirahat berakhir. Wali kelas mereka telah memberikan kewenangan penuh untuk mengisi kelas hingga jam tanda pulang berbunyi. Dibilang senang sih iya, karena kami akhirnya bisa berlama-lama dengan adik-adik. Dibilang sedih? eh, tidak sedih sih, hanya saja karena dari pagi menunggu, sepertinya rasa lelah mulai menyerang ditambah lagi hanya es cokelat saja yang masuk diperut selama hari itu.

Kak Ifa dan Kak Ica akhirnya datang dengan banyak bawaan di kedua tangan mereka. Semacam kantung dan tas-tas plastik yang entah isinya apa. Mereka meletakkan bawaan mereka di atas meja. Saya yang penasaran langsung saja membuka isi tas-tas plastik itu. Saya tidak mengira kue atau makanan sih, tapi seandainya iya, bersoraklah hati saya. Hehehe. Rupanya perlengkapan menulis. Telah ada kertas karton yang digunting berbentuk persegi panjang berukuran sekitar 5x20 cm. Kertas-kertas itu mungkin berjumlah adik-adik tiap kelas yang berwarna biru muda dan hijau muda. Ada pensil, penggaris dan spidol-spidol aneka warna.

“Kita akan buat konten untuk mading!” Ungkap Kak Ifa.

Wah, secepat itu pergerakan ternyata! ^D^. Tanpa menunggu lama, kami segera mengumumkan tugas lanjutan mereka. Mading kali itu bertema “kejujuran”. Jadi, mereka harus menulis hal-hal tentang kejujuran. Pengalaman nyata lebih disarankan. Mereka bebas berkreasi, membuat tulisan seperti biasa, cerita fiksi mini, puisi, ilustrasi, dan bahkan ada yang mengusul membuat percakapan. Sayangnya, saya tidak mengabadikan karya-karya adik-adik yang dikerja dalam waktu satu jam itu.

Mading kejujuran perdana 😄
Tidak semua karya ditampilkan di mading. Hanya karya-karya yang memenuhi kualifikasi kakak relawan yang berhak ditampilkan. Mading menjadi berisi oleh karya mereka. Karya dengan kertas berwarna biru dari kelas B dan warna hijau dari kelas C, yang diisi oleh Kak Ifa dan Kak Ica. Karena kelas B cepat pulang, kami dan mereka tidak sempat terlibat dalam penempelan karya di mading perdana. Suatu awal yang kami harap tentu ada kelanjutannya di hari-hari berikutnya, meski tanpa adanya kami yang mengarahkan mereka. Semoga jadi pembelajaran dan pengalaman berharga.***

Gambar: Dokumentasi Kak Ica

0 komentar