Di mana Kampung Saya?

         Siapa namata’? Dari mana asalta’?

Begitu persisnya pertanyaan awal yang dilontarkan oleh orang-orang pertama yang saya temui semasa kuliah dulu. Perkenalan nama dan daerah asal. Daerah asal? Saya awam dengan pertanyaan itu sebelumnya. Sebab saya yang lahir dan sekolah di Makassar juga bergaul dengan anak-anak yang lahir dan besar di Makassar. Maka tidak perlu ada pertanyaan perihal daerah asal, toh kami tinggal di Makassar sudah pasti orang Makassar.

Kota Makassar
Sebenarnya, saya bukan orang Makassar tulen. Darah saya tidak berasal dari kedua orang tua yang bersuku Makassar. Ibu saya sendiri berdarah Luwu tulen dan bapak saya berdarah Bugis Bone tulen. Keduanya bertemu dalam perantauan di Makassar. Maka saya beberapa kali tidak menyebut kalau saya orang Makassar. Sebab sepemahaman saya, kampung saya adalah kampung dari kedua orang tua saya dan Makassar adalah rumah tinggal, bukan kampung.

“Orang manaki’ ?”

“Bone.”

“Oh, sekampungki’. Bone mana?” Saat teman-teman saya menyebutkan rumahnya berada di Bone bagian selatan. Saya langsung berseru bahwa kami sekampung. Saya baru stuck kalau mereka sudah berbicara tentang lokasi-lokasi yang kemungkinan berdekatan dengan kampung saya. Saya yang hanya pulang beberapa kali dalam beberapa tahun saja hanya menghayal-hayalkan lokasi yang dimaksudkan.  Hal serupa terjadi saat seorang teman mengaku berasal pula dari Palopo.

“Kalau ada temanmu tanya di mana kampungmu, jawab saja Bone baru pake’ bahasa bugis!” ujar Ibu saya saat suatu waktu saya tanyai atas kebingungan itu. Kenapa mengaku Bone? Karena bila dua orang tua berbeda kampung halaman, maka katanya anak pertama itu mengikut ke bapaknya.  Entah teori dari mana. Ternyata hal serupa juga terjadi pada adik-adik saya.  Adik pertama saya diminta mengaku dari Palopo dan yang kedua diminta mengaku dari Bone. Asas persilangan (?) katanya (?).

Kampus-kampus negeri di Makassar, didominasi oleh orang-orang dari luar Makassar. Di kelas saya saja, hanya saya dan seorang teman yang tinggal di Makassar. Maka dosen-dosen pun saat pertama masuk kelas menyilakan kami memperkenalkan diri dengan membawa nama kampung halaman. Lagi-lagi saya merasa tidak ingin menyebut Makassar sebagai kampung saya. Sebab, kerap ada dosen yang bila sekampung dengan mahasiswanya, mereka memberi perhatian lebih, termasuk perkara nilai. Maka ‘merugilah’ saya yang mengaku Makassar, sementara mayoritas dosen berasal dari daerah luar Makassar.

“Di manaki lahir di situmi kampung ta’! Jangan mengakui kampungnya bapak dan ibu’ta’!” kata seorang teman suatu hari saat saya bilang, “saya orang blasteranka’ bapakku Bone, ibuku Palopo. Tapi tinggalja’ di Makassar!” Lalu mereka ngotot memaksa saya mengakui Makassar sebagai kampung halaman meskipun saya bilang paham dengan bahasa bugis, luwu, dan lebih-lebih Makassar yang mungkin ada yang menetap lama tapi tak juga paham bahasanya.  Sekalipun saya membawa-bawa asas ius soli dan ius sanguinis yang sebenarnya memang tidak berlaku untuk daerah, tapi kewarganegaraan. Hahahaha…

Sejak saat itu, saya mulai mengakui Makassar sebagai kampung halaman, bukan hanya sekadar tempat tinggal. Tiap pekan, teman-teman akan mengejek saya yang kembali ke rumah, setelah senin sampai sabtu menginap di kost-an sepupu dekat kampus. Mereka bakal bilang, “tawwa maumi lagi orang pulang kampung eh!” Lalu dibalas dengan derai tawa yang panjang.

Saat saya mengambil kursus dan tinggal di Kampung Inggris Pare, orang-orang Jawa hanya mengenal orang-orang dari Sulawesi Selatan yang berjubel di sana sebagai orang Makassar. Seakan Makassar mewakili identitas ke-Sulawesi Selatan-an mereka. Sekalipun mereka berasal dari Maros, Bulukumba, Palopo, dan lainnya. Orang-orang non-Sulsel akan mengakui mereka sebagai orang Makassar. Mereka asing dengan daerah lain di Sulsel. Hal yang sangat berbeda dengan Jawa, orang Lamongan ya Lamongan, bukan Surabaya dan kami harus tahu.

Saat berada di luar daerah seperti itulah, saya bangga sekali mengakui bahwa saya orang Makassar. Akhirnya saya punya kampung! Lalu, kenapa akhirnya saya bahagia diakui sebagai orang Makassar? Rupanya, itu karena saya punya tempat pulang yang berjarak jauh dari tempat saat itu saya berpijak, rumah di Makassar dan keluarga yang menampung rindu! Tempat saya lahir dan mengenal masyarakatnya. Saya tidak lagi peduli pada asal kedua orang tua saya dan susah payah menjelaskan pada mereka.

Di perantauan, sama halnya teman-teman kampus saya, kami adalah pendatang. Tak sedarah dan sesuku dengan orang-orang penetap yang didatangi. Kami berbeda, tapi kami diterima. Merasakan bahwa ada rumah di kejauhan sana yang selalu menunggu kepulangan kami dalam keadaan apapun, membawa perasaan bahagia. Terlebih berkumpul dengan orang yang sejak lama tahu dan mengenal bahkan sedari lahir. Yang mencintai dan menyayangi dengan tulus, itulah kenapa orang-orang bangga dan bahagia punya kampung dan pulang kampung. Sebab ada rindu yang ditabung dan menunggu dipecahkan dengan bahagia. Saya orang Makassar, saya punya kampung!***

Gambar: Erafana di Imgrum

#SebulanNgeblogKepo

0 komentar