Mencari Semarak Agustus

Selamat datang Agustus. Beberapa orang, ada yang benar-benar menunggu kehadiran Agustus dengan tidak sabar. Entah karena ada rencana yang indah di bulan Agustus, seperti menikah misalnya atau mereka yang merayakan hari kelahiran di bulan Agustus. Menanti kejutan!  Walaupun Agustus bukanlah hari kelahiran banyak orang, bagi masyarakat Indonesia, Agustus seharusnya menjadi hari yang menyenangkan dan juga ditunggu-tunggu. Sebab hari itu, Indonesia memperingati kelahiran setelah lepas dari kekangan dan jajahan kolonialis Belanda dan Jepang.

Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah, saya selalu senang menyambut Agustus. Sebab akan banyak hari ‘libur’ yang terjadi. Saya dan teman-teman tetap ke sekolah, tapi tidak lagi bertemu guru dalam kelas dan mengerjakan sejumlah tugas. Kami akan lebih disibukkan dengan kegiatan menghias dan mendekorasi kelas. Berlatih gerak jalan bersama untuk lomba antar kelas, dan bersatu menjadi tim penyorak menyemangati teman-teman sekelas yang mengikuti lomba-lomba yang diadakan pihak sekolah.

Kami selalu bersemangat untuk memberikan yang terbaik demi memenangkan lomba. Tak tanggung-tanggung menghadirkan sejumlah atribut demi mendapat penilaian terbaik. Perayaan menuju 17 Agustus, porseni (pertandingan olahraga dan seni) biasanya rutin dilaksanakan selama sepekan. Sekolah benar-benar akan ramai dengan aktivitas lomba, lapangan akan dipenuhi dengan siswa-siswa yang berkerumun menyaksikan lomba dan beberapa kelompok yang latihan persiapan untuk pengibaran merah putih.

Ilustrasi lomba gerak jalan
Bukan hanya di lingkungan sekolah sendiri saja, lomba-lomba antar sekolah pun banyak diadakan. Tiap tahun, saya bahkan lebih banyak bolos mengikuti kelas di bulan Agustus karena lebih dulu latihan baris-berbaris untuk lomba gerak jalan indah antar sekolah se-kota Makassar dan se-kecamatan. Sesuatu yang menyenangkan saat tim kami berhasil memenangkan lomba tersebut tiap tahunnya dan menjadi salah satu yang diwaspadai dalam lomba.

Di daerah sendiri, lomba sejenis karnaval dan gerak jalan adalah yang paling ditunggu. Siswa-siswa sekolahan, terutama yang berada di SD biasanya sudah mulai latihan di pekan-pekan pertama Agustus. Hardiyanty, salah seorang teman mengaku bahwa di daerah asalnya, Pinrang tiap tahun gelaran lomba masih rutin diadakan. Lomba-lomba tingkat kabupaten yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat. Sebab tiap tahun akan ada desa terpilih yang menjadi tuan rumah pengadaan lomba. Sekolah-sekolah dari desa seberang akan datang dan menginap di rumah-rumah warga untuk mengikuti lomba selama sepekan.

Saya juga pernah menyaksikan antusiasme warga menyaksikan barisan guru dan siswa yang melenggang di jalanan kota Sinjai. Tepian jalan akan dipenuhi oleh warga yang keluar dari rumahnya dan pengendara yang berhenti. Wajah-wajah sekolah akan dipenuhi oleh ramai siswa yang berdiri di depan pagar dan gerbang sekolah. Apalagi saat perwakilan sekolah mereka melintas, teriakan penyemangat bakal terdengar begitu meriah mengalahkan aba-aba dari pemimpin barisan.

Tentang tradisi lomba menjelang 17 Agustus, ternyata kegiatan serupa telah ada sejak tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia. Menurut Sejarawan, JJ Rizal, tradisi lomba menjelang peringatan kemerdekaan telah ada sejak tahun 1950-an. Diungkapkannya bahwa lomba-lomba dihadirkan oleh masyarakat sendiri sejak perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia yang kelima. Sebelumnya, belum ada lomba. Cara demikian adalah bentuk antusiasme dan semangat masyarakat Indonesia pada masa itu menyambut dan merayakan kemerdekaan yang telah berhasil direbut, dengan cara yang menyenangkan.

Bahkan, Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, ternyata begitu semangat dan antusias ketika lomba-lomba 17 Agustus-an diadakan. Tiap-tiap lomba yang diadakan pada masa itu pun ternyata memiliki nilai filosofis. Misalnya lomba balap karung, untuk mengingat bagaimana perjuangan rakyat Indonesia pada masa-masa susah saat dijajah Jepang, di mana mayoritas pribumi mengenakan pakaian dari karung goni.

Lomba Balap Karung
Maka, demi menjaga antusiasme dan semangat menyambut peringatan kemerdekaan, juga untuk tetap melanjutkan tradisi mengingat betapa sulitnya perjuangan para pahlawan. Perhelatan lomba-lomba 17  Agustus-an tetap harus dilanjutkan. Sayangnya di lingkungan perumahan saya, lomba-lomba yang biasa saya ikuti sewaktu kecil sudah tak ada lagi. Begitu pun dengan pesta rakyat. Dulu, saya dan teman-teman begitu antusias menunggu informasi dari pihak RT terkait pengadaan lomba. Apalagi untuk lomba beregu seperti lomba bakiak, kami bakalan berlomba sebelum waktunya. Berlomba mencari kawan yang kuat dan tangguh. Jam malam kami yang biasanya magrib sudah harus berada di rumah, tetapi karena lomba, kami bahkan bisa pulang menjelang jam 12 tanpa kena omelan dari orangtua.

Ternyata saya tak sendiri mengalami krisis penyambutan kemerdekaan di lingkungan rumah. Ayu, seorang siswi SMA kelas dua yang tinggal di salah satu kawasan di Bogor juga mengalami hal serupa. Pengadaan lomba-lomba tak lagi semeriah saat dia kecil dulu. Lombanya masih ada, tapi entah kurang gereget seperti dulu, di mana tiap anak mau terlibat meskipun hadiahnya kecil. Bahkan, beberapa sekolah di daerah Ayu juga tidak lagi memeriahkan suasana menjelang peringatan kemerdekaan dengan lomba, bahkan upacara pun tidak. Waduh!

“Ndak ada lomba tahun lalu. Ndak pernahmi ada lomba diadakan di sekitar rumahku.” Kata April yang berdomisili di daerah Daya, yang juga telah jarang menjumpai lomba-lomba yang diadakan di kompleks perumahannya.

Kemeriahan menjelang 17 Agustus memang sudah sulit untuk ditemukan, jika beberapa orang mencari kemeriahan seperti waktu mereka masih kecil atau anak-anak mereka kecil. Makin tahun, kemeriahan lomba-lomba 17 Agustus makin menurun di beberapa tempat, bahkan ada yang sudah tak terdengar lagi kabarnya. Tapi bukan berarti bahwa aktivitas-aktivitas itu benar-benar menghilang. Sebab di beberapa daerah, orang-orang masih bersemangat untuk mengadakannya.

Di Kota Pinrang misalnya, lingkungan perumahan Hardiyanty masih begitu antusias menyambut gelaran yang hanya sekali setahun diadakan itu. “Sampai hari ini belum kelihatan semarak dan meriahnya lomba sambutan 17-an. Kalo di tempatku, biasanya satu atau dua hari menjelang hari H, diadakan lomba lari kelereng, makan kerupuk, balap karung, dan lomba-lomba yang biasa memeriahkan suasana 17-an. Anak-anak kecil juga masih terlihat antusias. Tapi kalau untuk dekorasi dan atribut merah putih sudah jarang. Paling umbul-umbul dan bendera merah putihji di depan rumah.” Ujarnya.


Semarak menjelang HUT RI juga terjadi di daerah Solo, di lingkungan rumah Ridahayu juga masih mengadakan lomba-lomba menyambut 17 Agustus. Kemeriahannya masih terbilang sama seperti waktu dulu. Antusiasme warga di daerahnya masih terbilang tinggi, sebab masih mengadakan pesta rakyat dan atribut-atribut penanda di perumahannya. Begitu hal yang diamati gadis semester lima di salah satu universitas di Solo ini.

Hal yang sangat menyenangkan dan membanggakan bila memasuki Agustus, adalah saat melintas di kompleks yang telah dihiasi oleh kertas merah putih yang berbaris di atas seutas benang membentang seperti kabel dari satu tiang listrik ke tiang listrik lainnya. Kadang pula gelas mineral yang dicat merah putih, lalu tak kalah semarak dengan beragam warna umbul-umbul yang berkibar di pagar-pagar rumah. Mencari alamat rumah seseorang pun menjadi gampang, sebab tiap menjelang peringatan HUT RI, gerbang perumahan bakal dicat baru dengan warna merah putih bertuliskan ucapan dirgahayu dan angka usia Indonesia beserta nama kompleks perumahan di bawahnya. Kala itu, wangi peringatan kemerdekaan begitu dekat terasa.

Agustus seakan menjadi warning bahwa orang-orang telah memasuki hari perayaan untuk berkreasi, bersatu, berjuang, bersorak, bersyukur, bergumul, dan bersenang-senang tanpa memandang agama, suku, dan bahasa. Seluruh warga Indonesia tengah berhari raya di bulan Agustus. Sebuah momen yang hanya hadir sekali dalam setahun dan sudah sepatutnya untuk ditunggu kehadirannya, sama halnya saat orang-orang menunggu datangnya lebaran dan natal. Sebab tak mungkin bisa orang-orang merayakan hari raya keagamaan tanpa lebih dulu merdeka dari jajahan fisik kolonialis. Suatu berkah Tuhan yang amat perlu disyukuri.

“Perayaan lomba di daerah-daerah, sepertinya masih tidak begitu menunjukkan sisi nasionalisme atau patriotisme. Tapi untuk lomba-lomba sederhana di lingkungan rumah, yang diperuntukkan untuk anak-anak, bisa jadi  metode sederhana untuk melatih rasa pantang menyerah dan optimisme mereka. Bukankah hal-hal besar dimulai dari hal-hal yang sederhana?” Kata Hardiyanty dengan penuh semangat.

Mungkin aktivitas lomba tidak mencerminkan rasa nasionalis bangsa seutuhnya. Tapi dengan hadirnya lomba dan pesta rakyat menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia. Setidaknya anak-anak akan bertanya mengapa mesti ada lomba tiap kali menjelang 17 Agustus? Lalu jawaban akan digiring hingga berakhir pada kisah para pahlawan yang telah berjuang dan berkorban demi sebuah kebebasan. Yang semoga darinya, anak-anak bisa belajar menghargai hidup dalam versi mereka dan belajar bersyukur atas kehidupan mereka.

Mungkin kita akan sama-sama bertanya, mengapa semarak perayaan 17 Agustus tidak seperti dulu lagi? Apakah mungkin kita kembali terjajah oleh kemajuan zaman?  Ah, pertanyaan saya terlalu serius yah... Sedihnya, semangat anak-anak masa kini tak seperti kami dulu.

Mari sama-sama mencari tahu jawabannya dan mengembalikan semangat serta antusiasme menjelang 17 Agustus. Bukan hanya berdiri dan mendengar pidato yang malah seperti suara angin yang berlalu dan tak didengar. Mari tetap hidupkan tradisi lomba menjelang 17 Agustus. Bukan tentang seberapa besar hadiahnya, tapi bagaimana nilai-nilai perjuangan bisa ditanamkan dalam diri anak-anak. Merdeka!!!***(An/030711)

Referensi:http://m.suara.com/lifestyle/2014/08/17/152418/ini-sejarahnya-tradisi-lomba-17-agustus
Gambar: jadiberita.com, kebumennews.com

0 komentar