Kampung yang Dirindukan


Bertahun-tahun saya tidak ikut ke Bone saat keluarga memutuskan akan pulang kampung—kampung bapak saya sih. Seingat saya, terakhir kalinya saya menginjakkan kaki adalah saat SD. Saya rela beridul adha sendiri di rumah demi bertahan untuk tidak pulang. Tiap tahun, keluarga pasti akan pulang. Meski tidak selalu dalam rangka lebaran, tapi tiap tahun ada saja acara-acara keluarga yang dilaksanakan. Acara yang dilaksanakan pun seringnya di akhir pekan. Sebab mereka memang telah  mempertimbangkan kehadiran keluarga lainnya yang di Makassar.

Nenek adalah orang yang paling gemar mengajak saya pulang tiap kali berkunjung ke rumah. Tante-tante yang dari kampung datang mengundang pun juga melakukan hal yang sama. Senjata mereka adalah mengingatkan saya terhadap masa kecil yang cukup lama saya habiskan di sana.

“Masih muingat itu nenek sihir? Na cariko!” dan cerita masa kecil lainnya yang akan mereka ceritakan kembali.

Cerita nenek sihir itu yang paling sering diungkit. Saya ingat saat masih umur tiga tahunan, ada nenek yang sering datang ke rumah sambil membawa-bawa sesuatu yang saya lupa apa. Dalam ingatan saya, penampilannya memang serupa nenek sihir karena sering berpakaian gelap, berambut panjang dengan sedikit mengonde rambut bagian belakangnya dan yang di bagian depan diurai begitu saja. Kulitnya nampak berminyak, apalagi tangannya. Dari tubuhnya menguap aroma ikan. Lalu katanya rumahnya di gunung dan saat itu sering sekali mengajak saya ke rumahnya. Di usia saya kala itu, sering saya mengejek dia dan memberitahukan kepada nenek bahwa nenek sihir itu bau. Kalau sudah mengungkit cerita itu, tawa kami akan pecah. Dari hati yang terdalam, saya rindu.

Barulah saat ini saya berpikir bahwa mungkin orang yang saya panggil nenek sihir itu adalah salah satu sanro atau pabaca-baca karib nenek. Mengingat tradisi di Bone, Kecamatan Patimpeng, Desa Masago masih melakukan ritual baca-baca sebelum menyantap hidangan besar, seperti saat pemotongan hewan untuk disantap.  Apalagi santapan untuk lebaran.

Di idul adha tahun lalu, saya akhirnya mematahkan hati yang beku tak mau pulang ini. Untuk pertama kalinya dalam dekade terakhir hidup saya kembali menginjak  Desa Masago dan menemui banyak perubahan. Rumah nenek banyak berubah dari ingatan terakhir saya tentang rumah yang remang berpenerangan sulo saja. Semua kini jauh lebih baik. Rumah tetangga depan rumah, yang juga rumah sepupu itu berubah drastis. Dari yang dulunya rumah panggung, kini sudah berganti rumah batu seperti di kota-kota dengan cat rumah yang mentereng.

Saat menyusuri jejalanan melewati rumah-rumah keluarga, tak ada ingatan yang tersisa tentang perubahan rumah-rumah mereka. Jalanan masih berundak-undak dari batu-batu, tetapi dengan kondisi yang jauh lebih baik. Tidak lagi becek dan berlubang saat hujan deras turu mengguyur. Saat pulang kampung, orang-orang akan beramai-ramai datang silih berganti memenuhi ruang tamu dan teras. Di keadaan itu saya sering merasa canggung dan malu karena mereka yang mengenal saya terkadang memperlakukan saya berlebihan. Katanya biar saya betah untuk selalu pulang kampung. Tapi yang saya rasakan malah sebaliknya.

Hidangan makanan juga khas. Khas sekali. Daging ayam dimasak kari dengan bumbu yang berbeda dengan hidangan kari pada umumnya. Ada pula burak, makanan yang diolah dari irisan batang pisang dicampur daging ayam dengan bumbu yang khas. Saya bisa mengenali dengan jelas masakan nenek dan orang kampung sekitar yang rasanya benar-benar mirip. Saya menduga mungkin resep yang mereka gunakan, bumbunya ditakar sama. Dan yang pasti, saya bisa mengenali mana makanan yang sudah dibaca-baca. Dari aromanya saja bahkan sudah tercium mana makanan buatan nenek jika seandainya disandingkan dengan buatan orang lain. Hampir semua makanan olahan daging dibaca-bacai, dan entah kenapa rasanya jadi khas. Khas! Tapi saya kurang suka.

Selamat datang!
Lain cerita dengan Luwu, kampung halaman Ibu saya. Karena jarak tempuh dari Makassar yang jauh dan memakan waktu lama, maka tidak pernah saya mau ketinggalan untuk ikut pulang kampung. Sebab pulang ke Luwu itu adalah hal langka. Hanya sekali dalam lima tahun untuk merayakan lebaran di sana. Maka menolak ikut sama saja menunda perjalanan untuk lima tahun yang akan datang, itu pun kalau nyawa masih dikandung badan.

Rumah nenek berada di Balabatu yang menyimpan banyak sekali kenangan masa kecil. Saya juga sempat melewati masa-masa kecil saya di sana. Di rumah sederhana yang beratap rumbia dan berdinding separuh kayu dan separuh bata. Lantainya masih dari semen yang kasar dialasi terpal. Saat kami berkunjung sepuluh tahun silam, rumah akan sesak oleh keluarga besar nenek dan kamar-kamar yang dulunya melompong menjadi penuh. Aroma kenangan masih terhirup saat lebaran 2015 lalu kami berkunjung ke rumah tetangga yang sudah dianggap keluarga dan bercerita tentang apa-apa yang telah dilalui dan terasa cepat berlalu. Saya hanya bisa duduk di depan rumah sambil memutar kenangan yang masih tersisa di kepala.

Semacam ada rasa haru yang menyerang. Kami tidak lagi tinggal di sana sebab Om dan Tante saya, beserta anaknya telah meninggal dunia. Sebuah perpisahan yang masih sulit saya lupakan. Rumah itu kini dihuni orang lain, agar tetap terawat dan tidak lapuk oleh usia. Kami merayakan lebaran dan momen-momen pulang kampung di Suli. Rumah Om yang treknya lumayan berat untuk dilalui kendaraan karena jalanannya mendaki dan tidak rata, menikung, dan jurang di sisi kiri.

Hal pertama yang sering dilakukan keluarga selepas sholat ied adalah ziarah kubur ke makam Kakek dan keluarga yang telah meninggal. Setelah rasa sedih mereda, barulah perjalanan menuju rumah-rumah keluarga direncanakan dan ini adalah salah satu momen favorit saya. Jalan-jalan. Sejujurnya, saya lebih menikmati momen perjalanannya. Termasuk perjalanan yang ditempuh dari Makassar ke Luwu.

Berkunjung ke rumah sanak saudara akan memberikan kesempatan bagi saya mengenal mereka dan mencoba makanan yang ada di rumah mereka, yang selalunya enak-enak. Hal lain yang saya sukai adalah setiap hari bisa menikmati Kapurung dengan rasa dan aroma yang mantap dan rasa ingin terus tambah. Berada di kampung juga membuat saya dengan leluasa menyantap buah-buahan sesuka hati.

Pulang kampung bagi saya adalah momen untuk mengenal siapa keluarga kedua orang tua saya yang juga keluarga saya. Sebab mereka yang terus menetap di kampung akan sulit bagi kami saling tahu, maka momen ini adalah ajang untuk menyambut tali silaturrahmi. Juga untuk bersentuhan kembali dengan kenangan manis yang pernah terjadi, agar tidak pernah lupa bahwa ada rumah di mana saya pernah hidup dengan bahagia bersama orang-orang yang saling menyayangi. Bukan hanya tentang seberapa sering pulang, tapi yang terpenting selalu ada rasa dan rindu untuk memeluk kampung dan semua hal yang ada padanya.***

Gambar: boneberadat●com/luwuinfo.bsp

#SebulanNgeblogKepo

0 komentar