Hadiah Istimewa Untuk Indonesia di Penghujung Karir
Baru saja
melangkahkan kaki keluar dari mobil setelah perjalanan panjang dari Rio de
Janeiro, Liliyana Natsir (Butet) dan Tontowi Ahmad (Owi) segera diserbu puluhan
orang dengan atribut berbagai media dan ratusan orang yang berlomba mendekatinya setelah menunggu cukup lama di bandara Soekarno-Hatta. Keduanyalah pahlawan olahraga yang dinanti
masyarakat Indonesia, setelah perjuangannya menaklukkan pasangan Malaysia dalam
gelaran bergengsi Olimpiade Rio 2016 di cabang bulutangkis ganda campuran yang
berbuah emas. Kemenangan yang sempurna menjadi suatu hadiah yang
dipersembahkannya tepat di HUT RI ke-71. Sungguh sebuah momentum yang
membahagiakan sekaligus mengharukan.
Jadi pantas
saja jika keduanya disambut begitu antusias dan gembira. Beberapa waktu setelah
sukses meraih emas, kabar bahwa keduanya akan disambut oleh masyarakat
Indonesia dengan arak-arakan pun tersiar dan aksi tersebut benar-benar
berlangsung selama dua hari. Mereka bersama pahlawan olahraga lain yang sukses
di Rio—Eko dan Sri yang masing-masing menyabet Perak pada cabang olahraga
angkat besi diarak keliling Jakarta dengan rute yang telah ditentukan
mengendarai bus bertingkat bandros yang beratap terbuka. Bersama dengan Menpora
dan timnya, mereka melambai penuh bahagia ke kiri dan kanan, pada tiap-tiap
ruas jalan yang dibelah. Akhirnya perjuangan mereka terbayarkan. Sebuah
apresiasi yang pantas dan cukup.
Terkhusus
untuk Owi/Butet, saya amat senang melihat perjuangan mereka di Olimpiade Rio
yang berujung emas. Akhirnya mereka berkesempatan meraih emas juga mengingat sebelumnya mereka hanya sampai babak semifinal saja saat olimpiade London 2012.
Beberapa turnamen tepat sebelum olimpiade juga keduanya selalu gagal bahkan
untuk sampai ke tahap final. Huah! Sungguh sebuah niat dan perjuangan yang tak
sia-sia, di mana sebelum olimpiade saya menemukan beberapa publikasi dari Butet
yang menyatakan akan berjuang keras untuk olimpiade. Apalagi dia sadar
kalau kemungkinan besar Rio adalah olimpiade terakhirnya dan dia membuktikannya dengan bermain tanpa babak tambahan.
Bagi saya,
kejutan yang mereka berikan bukanlah pada saat final. Tetapi pada babak
semifinal melawan musuh bebuyutan mereka, Zhang Nan/Zhao Yun Lei dari China di
mana rekor pertemuan mereka menunjukkan lebih banyaknya kemenangan yang diraih pasangan China. Tapi
tadaaaaaa…. dengan usaha keras dan strategi yang apik, keduanya berhasil
memenangkan laga penting itu. Sungguh saya amat senang, bukan hanya atas
kemenangan keduanya tapi juga saat melihat ekspresi frustasi dan kecewa Zhang Nan.
Duh, Nan kali ini kamu harus rasakan itu,
sakit kan?
Di final,
mereka bertemu lagi dengan lawan mereka saat di grup. Ternyata pasangan
Malaysia itu jago juga. Hanya jadi runner-up grup tapi mampu menumpas
lawan-lawannya termasuk Ma Jin dan Xu Chen
hingga kembali bertemu Owi/Butet di final. Menurutku, kesempatan emas Owi/Butet
besar. Bukan bermaksud meremehkan pasangan Malaysia itu sih, tapi setidaknya
mereka telah bertemu di ajang yang sama dalam beberapa waktu yang belum lama.
Rasa haru
dan bahagia menyerang para pendukung yang berpakaian merah putih. Setelah
memastikan diri menang dengan skor 21-15 dan 21-14, Owi langsung bersujud di
lapangan dan Butet segera berlari memeluk sang Pelatih, Richard Mainaky, lalu
kembali mengitari lapangan sambil membawa merah putih. Beberapa pendukung terlihat menitikkan air mata sambil sedikit tersenyum kala melihat merah putih diangkat lebih tinggi dari dua bendera di
sisinya sambil terdengar lantunan Indonesia Raya yang menggema di Rio centro.
Setelahnya, terdengar isu bahwa Butet akan segera mengakhiri karirnya. Jikapun benar maka pertandingan ini adalah
sebuah sejarah terbaik dalam hidupnya. Tapi sungguh, saya masih ingin melihat
dia berpasangan dengan Owi dan berlaga di Asian Games 2018. Lewat akun pribadinya, Owi menyatakan bahwa dirinya telah menemukan chemistry bersama Butet dan dia berusaha untuk menahan Butet untuk
tidak pensiun dulu. Butet membalas dan bilang bahwa dirinya juga sungguh
masih ingin bermain dan mempersembahkan yang terbaik untuk Indonesia, tapi dia
sangat sadar dengan usianya (31 tahun) yang tentu akan mempengaruhi performa
dan staminanya dalam bermain. Duh, mendengar hal itu rasanya saya ingin
menangis. Saya belum siap untuk tidak menantikan seseorang dengan perasaan
antusias dan berdebar saat sebuah turnamen berlangsung.
Gambar: instagram/tolyn189/eddyrianjoyo/kholis-1606/on pictures
0 komentar