Belajar Menulis di Kelas Kepo


“Deadlinenya tanggal 31 Juli,” tukas Daeng Ipul, penjaga sekolah kelas kepo, mengumumkan tenggat waktu pengumpulan tugas akhir Kelas Kepo Angkatan III pada suatu malam di Kedai Pojok Adhyaksa. Kak Lebug susul menanyai kami berlima secara bergantian. Tentang apakah ada yang bermasalah dengan tenggat waktu. Kami menyambutnya, tapi apa daya kami tidak bisa mengubah tenggat waktu karena pada akhirnya tanggal tersebut telah ditetapkan dan disetujui. Bukannya memperlihatkan rasa senang, ekspresi kami malah agak kecut.

Selama masa pengerjaan tugas akhir, grup di LINE sepi dari pembahasan tugas akhir. Saya jadi berpikir; apakah calon peserta ujian (re: kami) sedang sibuk mengumpulkan data tulisan atau malah sibuk dengan rutinitas harian, lalu lupa bahwa ada tugas yang semakin dekat menghampiri? Sejujurnya, saya berada di pihak kedua. Bukan lupa sih, tapi malah belum bertemu tema yang sreg untuk ditulis. Sampai tiba tenggat waktu, tak ada satu pun yang mengumpulkan tulisan. Grup yang sebelumnya ramai dengan pembicaraan perjalanan ke luar daerah dan aktivitas kakak kelas, mendadak ramai oleh salah seorang kakak kelas yang mencari ke mana tulisan-tulisan kami. Akhirnya, grup panas juga oleh respons kakak kelas (komdis dkk.) dengan tindakan tidak acuh kami.

Jujur, kami semua mengaku bersalah karena secara sadar tidak mengumpulkan tulisan. Sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas yang memaksa fokus kami tak dibagi, tidak bisa menjadi alasan. Maka beberapa teman pun mencoba membujuk komdis, Kak Enal, untuk memberi kebijakan pengunduran tenggat waktu pengumpulan tulisan. Saya baru menyaksikan grup benar-benar panas tengah malam menjelang satu Agustus, saat pagi hari saya membuka LINE. Beberapa kali perdebatan dan aksi kakak kelas yang kontra dengan kelakuan kami muncul di ruang obrolan hingga akhirnya adem setelah Kak Enal memberi waktu tambahan tiga hari untuk pengumpulan tugas akhir.

Saya membuka draft tema lama di notes, dan memilih tema demam korea dengan sudut pandang anak pesantren sebagai bahan tulisan. Sayangnya, setelah dikoreksi, dua kakak pembimbing saya sepakat meminta saya mengganti tema. Padahal saya benar-benar tengah dibuat bingung oleh pemilihan tema. Saya berpikir keras akan mengambil tema apa lagi. Setelah mengajukan dua tema dan bahkan meminta saran tema, akhirnya  saya kembali menulis. Waktu menunjukkan kurang dari 24 jam lagi menuju tenggat waktu. Untung saja, saya bisa menemukan orang-orang untuk diwawancara selama waktu itu.

Tulisan baru terkumpul tiga menjelang tenggat waktu pengumpulan tautan tulisan. Kak Alya, sebagai ketua kelas mendesak teman-teman yang lain untuk segera mengumpulkan tulisan. Tapi ternyata muncul sebuah masalah lagi, Kak Mute yang telah menyelesaikan tulisannya sejak kemarin ternyata belum mengunggahnya karena belum bertemu laptop yang dijanjikan temannya untuk dipinjamkan padanya. Kak Wen masih menulis. Kak Uci…. hilang kabar. Sampai menjelang ujian akhir dilaksanakan, terkumpul lima tulisan dengan empat peserta ujian yang hadir.

Ujian dijanjikan terlaksana mulai jam 6 waktu Makassar di Kafe baca. Saya sengaja datang sejak jam 5, berharap ujian akan berlangsung lancar dan tepat waktu. Namun nyatanya, ujian baru benar-benar dilaksanakan pada pukul 19.30. Akhirnya saya meminta untuk diuji pertama saat Daeng Ipul telah tiba di Kafe baca. Proyektor memantulkan berkas cahaya pada layar putih yang menampilkan tulisan yang telah saya unggah di blog pribadi. Saya malu melihat tulisan saya, apalagi setelah membaca karya peserta yang lain. Makin malu rasanya.

Beberapa kritik dan saran diberikan terhadap tulisan saya. Tentang masih kurangnya penyisipan perasaan dan harapan dibagian awal. Ada kalimat yang menggantung di tengah menimbulkan makna yang bias. Ada bagian yang menarik tapi kurang saya eksplor lebih jauh. Itu beberapa saran yang diberikan tim penguji; Daeng Ipul, Kak Lebug, dan Kak Iyan. Setelah saya, ada tiga tulisan yang akan diperiksa. Sayangnya, saya tidak melihat proses pemeriksaan tulisan mereka sebab pulang lebih dahulu. Belakangan saya tahu kalau berdasarkan penilaian, tulisan saya berada diurutan ke empat dari empat tulisan yang diperiksa. Betapa saya harus belajar lebih banyak, terutama soal mengolah dan melenturkan tulisan.

Suasana saat Kelas Kepo berlangsung (cr: Kelas Kepo)

Tak terasa ujian akhir telah berlangsung. Itu berarti kami telah menghabiskan tiga bulan, durasi normal berjalannya kelas tiap angkatan, yang benar-benar berlalu bak lintasan cahaya. Terhitung sejak 25 Maret kelas perdana dibuka dan para anggota kelas bertemu di Kafe baca pada sore hari. Anggota kelas berjumlah sepuluh orang, yang hadir kala itu hanya Sembilan orang (Kak Uchi, Kak Wen, Kak Sarti, Kak Titin, Kak Alya, Kak Mute, Atika, Mukhsin, dan saya). Saya tidak pernah menyangka akan berada diantara sepuluh orang beruntung yang diterima sebagai anggota kelas kepo. Sebab saya baru mulai menulis tulisan prasyarat kurang dari dua jam sebelum tenggat waktu. Belum lagi, saya menulis di ponsel dan mengunggah tulisan ke blog juga melalui ponsel, yang tentu saja akan sulit mengedit dan mengunggah gambar. Jadi, pasrahlah saya saat itu dengan publikasi tulisan hambar di blog, padahal saya membahas tentang kuliner dari pisang yang pastinya amat butuh dukungan visual.

Terbukti, saat ujian akhir lalu saya baru mengetahui sebuah fakta dibalik lolosnya sepuluh orang yang menjadi anggota kelas menulis kepo. Sebuah penilaian. Dari kelima juri yang menilai tulisan calon peserta yang menyetor, rerata memberi saya nilai rendah. Yang membuat kaget, ada salah satu penilai yang memberi nilai cukup tinggi kepada saya. Saya harus berterima kasih nih kepadanya, berkat nilai yang cukup tinggi darinya saya bisa masuk sebagai anggota kelas. Dialah, Kak Tari, salah satu kakak pembimbing saya yang cukup sering memberi masukan perihal penulisan kata baku dan efektif tidaknya suatu kalimat yang saya pakai. A lot of thanks bahkan sampai menjelang tenggat waktu pengumpulan tulisan, masih memberi banyak sekali saran dan membantu saya menampilkan tulisan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Juga kepada Kak Kiky a.k.a Kiwa yang telah membimbing sampai saya harus sadar kalau tulisan saya masih terlalu kaku untuk dibaca saat santai (mungkin termasuk yang iniY_Y) dan pemilihan-pemilihan kalimat yang baik biar tulisan saya lebih nyaman dibaca.

Terakhir, saya ingin berterima kasih kepada segenap tim kelas menulis kepo yang sudah menghadirkan sebuah kelas menulis sebagai ruang kami belajar menulis secara gratis. Saya teringat saat pertama kali hadir di kelas, bahwa kelas menulis kepo tak berbayar alias gratis tetapi justru disitulah letak kemahalannya. Coba diterjemahkan sendiri ya :p

Terima kasih karena telah memaksa saya untuk berusahan menepati tenggat waktu, menyesuaikan diri dengan tema tulisan, mengajari saya menuangkan ide dan perasaan lebih mendalam pada sebuah tulisan (meskipun belum bisa banget). Meskipun pertemuan tatap muka jarang terjadi, dan lebih sering bersua di grup, tetapi pertemuannya masih berkualitas karena ada tulisan-tulisan yang hadir diantaranya. Seperti adanya #SebulanNgeblog pada bulan puasa lalu. Sungguh suatu nilai tambah demi menghargai waktu.

Saat ini, saya masih belum menemukan gaya menulis yang tepat dan membuat saya nyaman, itulah mungkin yang membuat tulisan saya cenderung kaku. Berkenalan dengan kakak-kakak dan teman-teman di Kelas menulis Kepo membuat saya kaya akan bahan bacaan yang berkualitas, pengalaman yang terbatas, dan referensi yang sebelumnya tidak saya peroleh. Meskipun cukup sedih karena kelas yang awalnya ramai oleh Sembilan orang aktif kemudian menjadi hanya tinggal enam orang saja. Kelas Kepo angkatan III telah berakhir, tapi semangat menulis tidak boleh berakhir. Mari terapkan ilmu yang telah diperoleh dan terus belajar menulis sampai semua orang menjadi tertarik membaca tulisan yang kita hasilkan. (An/14/08)***

0 komentar