Welcome…. Pare, an English Village in Kediri



Sebelumnya, saya ingin melepaskan euforiaku…. Welcome English Village where located in Tulungrejo village in Pare, Kediri, East Java. Tak disangka ternyata lokasi penginapanku dan penginapan teman-temanku yang bersamaan saat berangkat ke Pare, Kampung Inggris berjauhan. Jaraknya hampir satu kilometer. Kami berjumlah Sembilan orang yang berasal dari jurusan yang sama dan prodi yang sama mengunjungi Pare untuk suatu tujuan mulia, menuntut ilmu. Siapa lagi yang tak kenal Kampung Inggris yang berlokasi di Pare, Kediri. Untuk saat ini, lokasi inilah yang memiliki lembaga kursus bahasa Inggris terbanyak dengan system dan metodenya masing-masing. Ada tiga orang temanku yang memilih camp –penginapan yang disediakan oleh suatu lembaga dengan aturan mainnya sendiri, selebihnya kami memilih nge-kost. Awalnya, saya dan sebagian teman yang memang merencanakan akan satu kamar memilih untuk nge-camp juga, tapi entah ada suatu kejadian yang menghenyakkan seorang temanku di sebuah camp –Asrama khusus Sulawesi yang secara tidak langsung juga mempengaruhiku untuk memutuskan nge-kost juga bareng mereka. Karena mereka memang telah disana tiga hari lebih cepat dibandingkanku, dan tak ingin menerima resiko yang aneh dan penyesalan di akhir, maka saya pun memutuskan mengikuti mereka. Jadilah saya sekamar dengan teman sekelasku di kampus, Annis, Sarce, dan Nuriz seorang teman baru kami, anak Pesantren yang levelnya setara SMP –yang awalnya benar diluar dugaan kalau dia itu anak SMP. Jadilah kami penghuni kamar 11 Brata House yang sepanjang pengamatanku adalah penghuni kamar yang berisik.


Awalnya, saya masih merasa asing dengan lingkungan kost, apalagi ternyata Brata House bukan hanya boarding house, tetapi juga sebagai camp dengan posisi bangunan yang berpisah dengan kamar kost. Saat memasuki kamar, saya hanya mendapati Nuriz yang sibuk membaca dengan backsound music Indo Pop sebagai temannya memecah kesunyian. Sekeliling kamar ku pandangi lekat-lekat. Kamar yang cukup luas dengan fasilitas kasur kapur yang lebar cukup untuk berempat, lemari buffet dengan empat pintu, satu pintu terpisah sendiri dan Nuriz telah menunjukkanku dimana lemari untukku. Namun rasanya begitu malas memindahkan bajuku dari koper besar yang masih terlilit plastic. Sebuah kipas angin yang terus berputar. Kami saling menyapa, dan begitu mengejutkan saat tahu dia masih SMP dengan postur tubuh yang bongsor dan subur. Dia keturunan Madura yang tinggal di Mojokerto dan sedang mengambil kursus di Lembaga SMART dengan bimbingan grammar. Langsung saja, untuk memecah kebosanan diri yang bingung entah mau berbuat apa sehingga saya pun menelpon sana sini, bapak di Makassar, Wia yang kostnya berjauhan denganku, dan teman-teman lain.

Hari pertama disana, saya ternyata telah ketinggalan dua hari pelajaran di kelas TOEFLku di ELFAST Course, saya ketinggalan informasi tentang jadwal mulainya, dan kedua teman sekamarku pun baru masuk hari itu. Mereka juga sama tidak tahu infonya sepertiku. Mereka baru pulang saat hari begitu terik dan waktu dzuhur telah berlalu satu jam. Mereka baru saja selesai scoring –tes TOEFL yang diadakan rutin empat kali sepekan. Respon yang kuperoleh dari mereka adalah mereka terkejut dengan scoring yang serasa mendadak di hari pertama masuk. Saya belum memiliki sepeda, kendaraan wajib bagi para siswa yang Kursus di berbagai lembaga. Sepeda hitam sewaan dari kost milik Nuriz akhirnya kukendarai sore itu, sekadar melihat situasi sekitar kampong dan mengamati lokasi kursusku, The Daffodils dan Elfast yang ternyata berjauhan. Pertama kali berkeliling kampong, saya belum lekat dan masih merasa asing dengan lingkungan sekitar. Banyak sekali siswa disana yang berkeliling-keliling dengan sepeda, berboncengan, terdengar omongan mereka dengan logat jawa, dan logat non-Makassar.  Selintas saya terkejut dengan pemandangan seperti itu. This is English Village, right? Why couldn’t people talk with English language? Segenap, saya merasa janggal, hmm, mungkin saya yang terlalu berlebihan dalam membayangkan seperti apa kampong Inggris itu, atau cerita orang yang berlebihan tentang Kampung Inggris yang mereka bilang ‘full English’ bahkan tukang becak sekalipun dengan bahasa Inggris standarnya. Nothing! It does all depend on you!

Sebelumnya pun dalam bayangan saya, kampong inggris itu sempit, lembaga-lembaga yang saling berdekatan dan tidak seluas yang saya lihat saat ini. Lembaga yang berdekatan sih iya, tapi membentang luas banget dengan tanda nama jalan. Saya bersyukur berada di tengah titik keramaian kampoung Inggris ini. Pertengahan menuju kedua lembaga yang kutuju.*) 

Gambar: Bratainstitute

Tulungrejo Village, Pare, July, 9th 2013
@NNA

0 komentar