Menyambut 2022 kembali saya menantang diri untuk mengikuti tantangan KLIP Ibu Profesional. Yuhuuu, setelah sebelumnya gagal membuktikan diri dan menunaikan janji untuk menulis setidaknya 10 tulisan tiap bulan, akhirnya kali ini saya bangkit lagi. Meski belum bangkit seperti zombie di film adaptasi Webtoon yang sedang anyar, "All of Us are Dead" yang menggebu-gebu dan melakukan perlawanan pada hal yang dianggap tantangan. Kali ini, saya berusaha mengerahkan mood. Benar saja, mood ini selalu jadi alasan menunda banyak hal. Padahal saya bisa dan punya waktu kalau memang disempatkan sebentar saja.
Sepuluh tulisan yang setiap terbitnya minimal tersusun 500 kata terasa berat bagi saya yang benar-benar vakum selama dua tahun dari dunia tulis-menulis, sekalipun itu menulis curhatan. Biasanya, saya bakal curhat colongan di Facebook. Berparagraf bisa saja menetas dari segala resah dan gelisah. Tapi sekarang, rasanya betul-betul malas. Kemampuan menulis saya menurun seiring kebiasaan buruk yang melanda itu.
Ini juga dipengaruhi oleh daya baca yang terjungkal sampai ke dasar jurang. Jika di tahun 2019 saya mampu menuntaskan 45 buku bacaan dengan ragam genre dan ketebalan buku, setelahnya nyaris tidak ada setengah dari tantangan membaca Goodreads lagi yang mampu saya pamerkan kepada teman-teman di aplikasi Goodreads saya. Bahkan, tahun 2021 saya hanya membaca 1 buku. Lihatlah, betapa mirisnya saya. Saya benar-benar jadi Tsundoku sampai buku-buku itu menguning dan belum juga saya sentuh. Entah kenapa daya tarik saya pada buku menurun. Padahal, saya membeli buku novel dan memoar. Jenis buku yang lebih asyik dan menarik minat baca saya selama ini. Tapi, aneh saja, rasanya hampa. Saya kurang menikmati, meski testimoni baik mencuat di mana - mana untuk buku itu.
Jangankan, itu. Membaca cerpen mingguan saja saya malas. Tak tertarik. Seperti tidak menemukan magnet apapun pada isi tulisan orang. Padahal, diterbitkan koran atau media berkelas berarti tulisan itu sangat layak baca. Itulah, saya sedih menemukan diri saya seperti ini. Hampa.
Saya sebenarnya selalu berusaha untuk tetap menulis. Menulis melalui tantangan yang dibuat orang. Agar saya punya ultimatum kuat pada diri saya. Tahun lalu saya ingin kembali menjadi peserta ODOP. Wadah yang membuka jalan bagi saya menemukan pembaca-pembaca blog saya. Darinya pula saya banyak termotivasi oleh blogger pemula yang punya semangat menulis tinggi. Engagement blog saya berkembang pesat setelah tiga bulan bergabung ODOP. Sayangnya, di pekan terakhir dari 3 bulan wajib ngeblog itu saya kewalahan dengan aktivitas baru di duni nyata saya. Saya terjebak juga dalam memikirkan akan menulis apa yang keren dan asyik sehingga saya melewatkan pekan terakhir dan gagal 'wisuda' bersama peserta ODOP lain yang bertahan hingga garis finish.
Tahun lalu, saya mau mengundang kembali motivasi itu. Sayangnya, malah tidak perhatian pada syarat kelulusan. Saya tidak mengisi link, hanya menulis dan ngetag akunnya yang ternyata tidak membuat saya lulus persyaratan. Sedih. Sudah memohon agar diberi kesempatan tapi tidak bisa. Yah, sebuah bukti kurangnya kemampuan literasi yang sangat dibutuhkan abad ini.
Kemudian, baru saja berakhir bulan Januari dengan proyek "30haribercerita"-nya yang juga saya lewatkan dengan penuh kesadaran. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan, namun memikirkan audiens saya jadi urung dan akhirnya malas. Saya hanya menjadi penikmat tulisan kawan-kawan yang selalu setia menulis dan tulisan terpilih yang dipos kembali oleh akun official proyek itu. Selalu ada hasrat menulis, tapi terkalahkan dengan mager dan kemalasan.
Akhirnya, update-an KLIP muncul di beranda FB dan saya kembali menanyakan cara bergabung menulis tiap bulannya. Semoga bulan ini bisa dapat badge. Tidak perlu excellent, yang penting bisa lulus syarat dan melaju sampai akhir. Tidak mau lagi berlebihan, apalagi setelah mati suri. Biarkan dulu beradaptasi lagi.***
Tepat seminggu lalu, masyarakat Indonesia turut serta merayakan hari pemertahanan bahasa Ibu. Meriah, karena setiap kawan mengunggah poster peringatan tersebut dengan menggaungkan bahasa daerah dimana mereka berasal yang menjadi poster ucapan estafet oleh kawan lain yang melihatnya. Dari unggahan poster beserta ungkapan "apa kabar" dengan bahasa ibu masing-masing, saya tersadar, kawan saya benar-benar nusantara. Tidak hanya dari kampung saya berasal. Dari ramai unggahan itu, saya jadi tahu bahasa daerah teman-teman saya.
Ada bahasa daerah yang ketika membaca atau mendengar sebutannya, saya terhenyak, terpingkal bahkan mengangguk "baru tahu". Sering terdengar lucu, apalagi ketika diucap dengan aksen khas daerah tersebut. Kerap membaca ungkapan bahasa daerah yang ketika membaca dengan nada atau aksen bahasa daerah sendiri, malah jadi lucu rasanya. Entah benar atau salah cara menyebutkannya, saya sok paham saja. Padahal, baik mendengar ataupun membacanya, tanpa takarir, mustahil memahami maknanya. Bahkan, ketikapun sering mendengarnya dilafadzkan oleh penutur aslinya, pahamnya hanya sedikit. Itupun masih sok tahu, asal menebak.
Lahir dari orangtua yang memiliki bahasa ibu berbeda memaksa saya untuk mampu memahami bahasa tersebut secara intuitif saja. Saya sendiri tidak dapat memahami bahasa ibu saya secara harfiah. Jika bisa dibilang, saya penutur bahasa daerah pasif. Hanya mampu memahami penutur tapi tidak mampu bertutur dengan baik.
Hal itu terjadi karena saya lahir dan besar di Kota yang juga memiliki bahasa ibu berbeda dengan orangtua saya. Sayangnya, sayapun tidak mampu mengungkapkan bahasa ibu di tempat tersebut dengan fasih. Karenanya, saya selalu merasa iri dengan kawan-kawan yang dapat bercakap dengan bahasa ibunya.
Menguasai bahasa ibu adalah sebuah skill dan hal istimewa. Kita dapat bercakap dengan keluarga atau orang satu daerah asal dengan bahasa ibu bila ada hal penting atau rahasia yang hanya ingin kita bicarakan di dalam lingkaran tersebut. Tanpa harus khawatir didengar atau diketahui oleh orang asing dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa universal.
Kita bisa memvalidasi asal daerah kita, tidak hanya atas sebuah pengakuan diri. Suatu ketika, saya diperkenalkan kawan kepada seseorang sebagai orang dari Kabupaten A, Kabupaten yang sama dengan orang tersebut. Orang itu sebut saja Milea, lalu mengajak saya bercakap dalam bahasa ibu Kabupaten A. Saya memahami pertanyaannya yang menanyakan kabar dan membuka percakapan menuju keakraban. Tapi diakhir pertanyaannya saya juga terhenyak. Oleh sebab saya tak mampu membalasnya dengan menggunakan bahasa ibu yang sama.
Tampak betul Milea "kecewa", mengira akan senang dan bergembira menemukan teman sekampung, tapi nyatanya tak mampu bercakap dalam bahasa Ibu. Hal ini berarti bahwa keakraban gagal terajut lebih jauh.
"Duh, maaf, saya gak bisa bercakap dalam bahasa A. Hehe. Tapi saya paham maksudnya." Ungkap saya malu-malu.
"Oalah, saya kira orang A. Ternyata gak bisa ngomong bahasa A ya. Aduh...." Canda Milea sambil melanjutkan pembahasan lain.
Setelah saya menceritakan hal tersebut kepada ibu saya, ibu langsung mengungkapkan kelakar yang membuat saya menyesal. Mengapa tidak membiasakan bercakap dalam bahasa ibu di rumah. Biasanya kedua orangtua yang berasal dari daerah yang sama akan mengisi rumah dengan suara berbahasa ibu. Begitu kebanyakan orangtua teman-teman saya. Tapi rumah saya? Orangtua saya berasal dari daerah berbahasa ibu berbeda. Sulit juga memikirkan cara memulainya seperti apa.
Lalu, karenanya saya bertekad bahwa kelak anak-anak saya harus mampu berbahasa ibu, berbahasa Indonesia dan menguasai bahasa Asing. Seperti motto Badan Bahasa. Hahaha. Untuk mewujudkan itu, opsinya adalah menikah dengan lelaki dari daerah yang sama dengan saya agar anak-anaknya dapat diajari berbahasa ibu, bahkan secara intuitif. Bukan sayangnya, jodoh saya dari daerah yang budaya dan bahasa ibunya jauh berbeda. Kami berdua saja menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehari-hari.
Bukan khawatir, karena saya masih mampu mewujudkan motto Badan Bahasa yang selaras dengan saya. Caranya, tetap mengajari anak berbahasa daerah selagi dini. Beri tontonan atau bacaan berbahasa daerah, dengan sendirinya dia akan memahami lalu dipraktekkan dengan orang daei kampung. Seiring waktu, sebagaimana msnguasai Bahasa Inggris, merekapun akan pandai berbahasa daerah yang baik. :D**
Ini tulisan pertama saya di blog sejak menginjak 2021. Sedih sekali jika melihat daftar tulisan pertahunnya. 2020 tanpa jejak. Padahal, 2020 adalah tahun yang berkesan dalam segala hal terlebih pada proses berjuang dan menguatkan diri. Yaa, manatahu kelak dapat dikompilasi menjadi sebuah album buku.
|
Pict: Shutterstock |
Tulisan tentang "mengapa menulis" sudah sering saya tuangkan dalam deretan alinea. Perihal alasan, sebab-musabab, urgensinya, manfaatnya, dan berbagai perspektif lainnya. Bukan karena saya sudah pro dalam menulis, terlebih untuk memotivasi diri sendiri agar sadar dengan filosofi memadu "tinta" dan buah pikir.
Rupanya memang sulit. Konsisten itu susah dicapai jika masih setia menggandeng berbagai alasan sebagai penghalang tuntasnya sebuah tulisan menjadi satu bacaan. Bagi saya selama ini, bukan hanya karena padatnya aktivitas, tapi ihwal perfeksionisme. Selalu ingin harus sempurna melahirkan tulisan yang dipublikasi meski sebatas publikasi blog. Beban menjadi lebih berat. Sudahlah menuang ide menjadi tulisan mesti dipaksa, ditambah lagi mesti bagus, menarik, dan sempurna. Padahal kesempurnaan hanya milik Allah kata Bunda Dorce yang tidak pernah alpa mengungkap kalimat tersebut di akhir show-nya.
Selain itu, saya juga sering insecure kalau tulisan saya kelak dijustifikasi buruk, dikomentari negatif dan dinilai tidak sesuai dengan ekspektasi yang saya tanam. Itu rasanya mengecewakan. Benarlah, patah hati paling menyakitkan adalah patah hati karena kecewa setelah berharap kepada manusia. Huhu. Manusia mana yang tidak berharap pujian setelah merasa telah berupaya melakukan yang terbaik atas sebuah karya?
Dasar aku! Sudah tahu begitu, masih juga sulit menulis. Masih juga berpikir berulang-ulang dalam mempublikasi tulisan. Masih juga beralasan ini itu. Pokoknya selalu ada alasannya. Saya curiga, kepala saya menyimpan beragam stok alasan untuk tidak menulis. Huah!
Tahun lalu, hm, 2019 tepatnya, saya berikhtiar mengisi blog dengan mengikuti komunitas ODOP, One Day One Post. Selama di rumah, saya berhasil menghasilkan tulisan, sesuai makna ODOP sendiri. Lalu saya menggendong ransel keluar rumah hingga tiba di tempat sekarang. Alhasil, tulisan blog saya mandeg. Kurang dari sebulan lagi. Tepatnya sepekan lagi menulis, saya ditendang keluar ODOP. Sedih betul rasanya. Padahal sedikit lagi.
Kemudian saya kembali berikhtiar dengan mengikuti KLIP, Komunitas Literasi Ibu Profesional. Oh ya, sudah tiga tahun saya menembus IIP tapi belum berhasil mencapai apapun. Padahal, IIP salah satu komunitas dengan luasnya ilmu. Tahun lalu, seingat saya, diri saya turut serta nimbrung di KLIP lalu terhapus begitu saja oleh seleksi alam. Tidak pernah menulis apapun.
Bukan perihal ide. Tapi lagi-lagi tentang komitmen. Semoga tulisan ini mengawali komitmen diri untuk senantiasa menulis. Target saya di KLIP bisa menghasilkan tulisan bermanfaat di blog sendiri. Semoga nanti bisa memacu diri meningkatkan blog ke tingkar TLD. Ada harapan mengantologikan kisah di tanah rantau juga sih sebenarnya. Heheh. Lalu, berharap bisa dapat badge KLIP sampai level paling tinggi. Woah. Impiannya besar, kan? Iya, bantu doa ya. ;)*
Masih lekat dalam ingatanku garis-garis tangannya yang berkerut membelai lembut pucuk kepalaku tiap kali akan terlelap. Keriput tangannya tiap hari makin jelas tak mengurangi kekokohannya untuk bekerja. Rambutnya yang dulu masih abu-abu, terakhir kali tertangkap telah memutih semua oleh kornea mataku.
Ingatannya masih baik, sebaik dia merawatku dari perempuan yang telah menodai hidupku. Nenek, satu-satunya perempuan yang kukenal baik dalam hidupku telah menyelamatkanku dari kebiadaban perempuan yang dari rahimnya aku mengenal dunia tapi tidak pernah mengenal kasih sayang.
Perempuan itu, makian kasar sering terlontar dari bibirnya yang terpulas gincu merah. Matanya yang dilingkari celak hitam kerap membuatku takut oleh pandangan paling penuh amarahnya. Rahangnya makin tegas tatkala melampiaskan kekesalan padaku lewat pukulan dan cubitan yang membirukan badanku.
Kuku-kukunya yang panjang berwarna-warni pun sering melukai kulitku dalam hingga lama sembuh. Aku tak pernah bisa berkutik apalagi melawan, di usia yang masih kanak-kanak aku hanya bisa berteriak kesakitan dan meraung meminta berhenti. Akhir dari penyiksaan panjang itu baru bisa usai saat nenek dengan berani menjemputku secara paksa dan perempuan setengah waras itu pergi meninggalkan kota bersama lelaki yang menjemputnya dengan mobil hitam mengkilap.
Di rumah nenek penderitaanku belum betul-betul berakhir, sebab tiap kali melihat perempuan berambut panjang dengan gincu merah dan mata bercelak aku mengingat ibu dan perlakuan kasarnya padaku. Aku mendadak histeris. Meraung seperti kesetanan. Tak bisa berhenti sebelum tenggorokanku parau karena berteriak. Aku tumbuh menjadi lelaki penakut yang tidak bersekolah karena terlalu takut melihat guru wanita dan tidak pernah keluar ke tempat ramai. Nenek hanya membayar guru lelaki untuk mengajarku di rumah.
Diriku benar-benar telah tumbuh bersama kebencian, trauma, dan dendam yang disebabkan oleh ibuku. Sepanjang waktu kutahu diam-diam nenek terus mengkhawatirkanku, tapi psikiater andal sekalipun tak bisa benar-benar menghilangkan rasa trauma itu. Meski seiring kedewasaanku, pelan aku bisa bertemu dengan wanita dewasa lainnya termasuk teman-teman kerjaku saat memutuskan untuk mengambil alih tanggungjawab keluarga.
Seorang rekan kerja pernah memberitahuku bahwa kadang-kadang teman-teman wanitaku di kantor menggosipkan tingkah anehku dan statusku yang masih bujang. Mereka kadang berusaha mendekatiku bahkan menjodohkanku.
“Kalian pikir ini masih zaman Siti Nurbaya pake’ main jodoh-jodohin segala! Urus saja urusan kalian!” Emosiku meledak di hari kamis terik saat kerjaan pula menumpuk.
“Ih, nyantai dong Pak Imawan! Kita-kita itu anggap bapak teman kami makanya kami kasihan liat bapak yang masih single! Kita cuma niat bantu kok!” Beberapa perempuan teman kantorku pun menjauhiku dan tak lagi benar-benar berani menyapa setelah kejadian itu. Jujur saja, penyesalan menghinggapiku sampai tak sanggup berkonsentrasi dengan tugas kantor.
“Mawan, apa sudah ada seseorang yang menarik perhatianmu?”
“Banyak kok Nek, kecuali perempuan!” Mendengar ujung dari kalimatku, nenek menyerah sebab tahu pembicaraan itu tak akan sampai pada tujuan yang sebenarnya.
Di sabtu siang yang cerah, nenek memasak banyak sekali makanan dengan menu yang tak biasa. Menu berbahan dasar makanan laut mendominasi meja makan. Rupanya ada cucu nenek yang lain bertandang ke rumah. Itikad dari mereka ternyata merencanakan perjodohan. Seorang gadis yang masih cucu perempuan nenek direncanakan untuk dijodohkan denganku. Keras aku menolak dan dengan tidak sopan kutinggalkan pembicaraan busuk itu dengan makanan bersisa di piring putihku.
Wanita tua itu pasti malu dan seharusnya marah padaku. Saat ku buka pintu rumah, ia tetap menyambutku seperti biasa bahkan meminta maaf dengan memasakkan menu makanan laut pengganti. Ia tahu, traumatis dalam jiwaku belum benar-benar sembuh tapi bagiku pun hanyalah kesia-siaan untuk meluangkan hidupku menikah. Tujuan yang tidak pernah masuk dalam daftar mimpi dan keinginan hidupku.
Tahun-tahun berlalu, aku baru benar-benar mengerti mengapa nenek terus memaksaku menikah meski tahu ada luka yang tidak bisa sembuh dalam jiwaku. Hari ini semua terjawab. Di bawah gundukan tanah merah yang telah mengering aku berharap nenek memaafkan sikapku yang telah melukainya.
Siang malam kudoakan kebaikan untuknya di alam sana. Bersama Kamelia dan benih dalam kandungannya aku mencium pusara nenek beberapa kali. Demi nenek akhirnya aku menikahi cucu perempuannya yang lain, benar wanita ini berbeda. Dia bukan ibuku dan kelembutannya telah perlahan mengobati traumatisku dan rasa sepi ditinggal nenek selamanya. Kini wanitaku bukan lagi hanya nenek, tapi juga istriku dan mungkin anakku jika ia lahir sebagai perempuan.***
Sejak lama bermimpi menjadi penulis dan pertama kali mengetahui jika ada platform untuk menulis bernama blog adalah saat rajin berselancad di warnet. Sudah lama sekali itu, sejak SMA kelas satu. Tulisan pertama saya berisi tentang perasaan yang saya pendam untuk seseorang.
Terhitung tiga kali saya membuat blog dan akhirnya paten dengan blog ini (versi blogspot). Meski telah berulang mengganti nama situs dengan alasan pilihan nama yang terkesan alay. Alamat blog ini saja, bagi sebagian teman dinilai alay. Tetapi tentu, setiap keputusan memiliki makna dibaliknya. Seperti alamat blog ini.
Selain blog di blogspot, adapula blog di wordpress, tumblr, dan alamat aktif lainnya di blogspot. Saya masih selalu mencari-cari platform yang membuat saya nyaman menulis. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Blogspot dengan fitur sederhana dan mudah, wordpress yang terlihat premium namun agak ribet, dan tumblr yang sulit dikomentari.
Blog ini, menjadi tempat saya bersetia menuangkan rasa, pikiran, dan curahan hati yang tak sanggup tersampaikan bibir. Saat memutuskan membuat wordpress, saya sudah membagi jenis konten tiap blog. Di sini, memang khusus tentang pribadi sehingga terkesan curcol. Hahah.
Sedari 2009 hingga hari ini di tahun 2019, sepuluh tahun saya ngeblog. Sudah 200 tulisan terpublikasi. Mulai dari tulisan asal jadi yang ejaan dan aturannya menyimpang, bahasanya campur baur, paragrafnya acakadut hingga tulisan yang pelan-pelan rapi meski masih sangat jauh dari kesempurnaan. Saya bersyukur masih ngeblog. Meski itu tuntutan tantangan komunitas menulis.
Blog ini menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan saya ngeblog. Mulai dari yang tulus dari hati, tulisan tantangan, PR menulis, dan review berbagai macam hal. Saya akhirnya menyadari bahwa menulis bukan perkara mudah. Berkali-kali saya mengikuti kelas menulis, tidak semudah itu tulisan saya menjadi baik. Baik sesekali dengan pujian dari senior blogger ternama di kota saya, besok-besok eh sudah jelek lagi.
Hari ini, para blogger merayakan harinya. Dengan tulisan yang berseliweran di media sosial. Ada yang kembali menulis demi mengucap hari peringatan ini. Kembali membersihkan sarang laba-laba yang menutup rumah-rumah digital mereka. Hari ini, mereka yang mengaku blogger kembali pada tujuan impian mereka. Sekali lagi, selamat hari blogger para penulis blog :)*(Na/271019)
Di ruang paling gaduh di sebuah dusun, Akia menatap jauh langit biru yang perlahan memerah. Anak-anak bermain-main di sekitarnya. Ragam permainan yang sulit dijumpai tengah dimainkan anak di kotanya dulu.
Lelaki tua berotot lengkung baru saja pulang dari ladang menenteng peralatan. Istri-istri mereka menyambut di pintu rumah. Pemandangan menyenangkan lainnya.
Berhari-hari telah terlewati. Ia menghitung setiap hari yang berlalu dengan jemarinya. Sembilan puluh hari sudah. Belum cukup seratus hari pun, apalagi jika menghitung sampai setahun penuh. Hari masih panjang.
Setengah tahun nanti, ia bisa memutuskan apakah harus pergi atau menetap. Pergi berarti ia akan meninggalkan segala "kemewahan" pemandangan dan kehangatan yang tak ia jumpai di kotanya. Jika harus menetap, ada banyak rasa yang harus tertahan di dadanya.
Sekali lagi melihat anak-anak bermain di sekitarnya, ibu bapak yang begitu harmonis, dan segala sumber daya yang melimpah ruah, ia paham harus memilih apa. Bukan hanya segala "kemewahan" itu, namun tentang siapa yang membutuhkannya dengan sangat.*(Na/271019)