Mengapa Tak Pandai Berbahasa Ibu?

 Tepat seminggu lalu, masyarakat Indonesia turut serta merayakan hari pemertahanan bahasa Ibu. Meriah, karena setiap kawan mengunggah poster peringatan tersebut dengan menggaungkan bahasa daerah dimana mereka berasal yang menjadi poster ucapan estafet oleh kawan lain yang melihatnya. Dari unggahan poster beserta ungkapan "apa kabar" dengan bahasa ibu masing-masing, saya tersadar, kawan saya benar-benar nusantara. Tidak hanya dari kampung saya berasal. Dari ramai unggahan itu, saya jadi tahu bahasa daerah teman-teman saya. 


Ada bahasa daerah yang ketika membaca atau mendengar sebutannya, saya terhenyak, terpingkal bahkan mengangguk "baru tahu". Sering terdengar lucu, apalagi ketika diucap dengan aksen khas daerah tersebut. Kerap membaca ungkapan bahasa daerah yang ketika membaca dengan nada atau aksen bahasa daerah sendiri, malah jadi lucu rasanya. Entah benar atau salah cara menyebutkannya, saya sok paham saja. Padahal, baik mendengar ataupun membacanya, tanpa takarir, mustahil memahami maknanya. Bahkan, ketikapun sering mendengarnya dilafadzkan oleh penutur aslinya, pahamnya hanya sedikit. Itupun masih sok tahu, asal menebak.

Lahir dari orangtua yang memiliki bahasa ibu berbeda memaksa saya untuk mampu memahami bahasa tersebut secara intuitif saja. Saya sendiri tidak dapat memahami bahasa ibu saya secara harfiah. Jika bisa dibilang, saya penutur bahasa daerah pasif. Hanya mampu memahami penutur tapi tidak mampu bertutur dengan baik.

Hal itu terjadi karena saya lahir dan besar di Kota yang juga memiliki bahasa ibu berbeda dengan orangtua saya. Sayangnya, sayapun tidak mampu mengungkapkan bahasa ibu di tempat tersebut dengan fasih. Karenanya, saya selalu merasa iri dengan kawan-kawan yang dapat bercakap dengan bahasa ibunya.

Menguasai bahasa ibu adalah sebuah skill dan hal istimewa. Kita dapat bercakap dengan keluarga atau orang satu daerah asal dengan bahasa ibu bila ada hal penting atau rahasia yang hanya ingin kita bicarakan di dalam lingkaran tersebut. Tanpa harus khawatir didengar atau diketahui oleh orang asing dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa universal.

Kita bisa memvalidasi asal daerah kita, tidak hanya atas sebuah pengakuan diri. Suatu ketika, saya diperkenalkan kawan kepada seseorang sebagai orang dari Kabupaten A, Kabupaten yang sama dengan orang tersebut. Orang itu sebut saja Milea, lalu mengajak saya bercakap dalam bahasa ibu Kabupaten A. Saya memahami pertanyaannya yang menanyakan kabar dan membuka percakapan menuju keakraban. Tapi diakhir pertanyaannya saya juga terhenyak. Oleh sebab saya tak mampu membalasnya dengan menggunakan bahasa ibu yang sama.

Tampak betul Milea "kecewa", mengira akan senang dan bergembira menemukan teman sekampung, tapi nyatanya tak mampu bercakap dalam bahasa Ibu. Hal ini berarti bahwa keakraban gagal terajut lebih jauh.

"Duh, maaf, saya gak bisa bercakap dalam bahasa A. Hehe. Tapi saya paham maksudnya." Ungkap saya malu-malu.

"Oalah, saya kira orang A. Ternyata gak bisa ngomong bahasa A ya. Aduh...." Canda Milea sambil melanjutkan pembahasan lain.

Setelah saya menceritakan hal tersebut kepada ibu saya, ibu langsung mengungkapkan kelakar yang membuat saya menyesal. Mengapa tidak membiasakan bercakap dalam bahasa ibu di rumah. Biasanya kedua orangtua yang berasal dari daerah yang sama akan mengisi rumah dengan suara berbahasa ibu. Begitu kebanyakan orangtua teman-teman saya. Tapi rumah saya? Orangtua saya berasal dari daerah berbahasa ibu berbeda. Sulit juga memikirkan cara memulainya seperti apa.

Lalu, karenanya saya bertekad bahwa kelak anak-anak saya harus mampu berbahasa ibu, berbahasa Indonesia dan menguasai bahasa Asing. Seperti motto Badan Bahasa. Hahaha. Untuk mewujudkan itu, opsinya adalah menikah dengan lelaki dari daerah yang sama dengan saya agar anak-anaknya dapat diajari berbahasa ibu, bahkan secara intuitif. Bukan sayangnya, jodoh saya dari daerah yang budaya dan bahasa ibunya jauh berbeda. Kami berdua saja menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehari-hari.

Bukan khawatir, karena saya masih mampu mewujudkan motto Badan Bahasa yang selaras dengan saya. Caranya, tetap mengajari anak berbahasa daerah selagi dini. Beri tontonan atau bacaan berbahasa daerah, dengan sendirinya dia akan memahami lalu dipraktekkan dengan orang daei kampung. Seiring waktu, sebagaimana msnguasai Bahasa Inggris, merekapun akan pandai berbahasa daerah yang baik. :D**

0 komentar