Wanita Pemenjara Lelaki Merdeka (1)

Aku merasa terjebak! Lebih tepatnya dijebak! Semua ini bukan keinginanku. Jauh dari apa yang sebenarnya kuharapkan. Terjebak di tengah hal-hal non-sense yang jauuuuuh dari apa yang kusebut passion. Lalu kenapa tidak ditinggalkan saja? Sayangnya, tidak semudah itu. Kabur berarti merelakan sebuah anak panah beracun memburu jantung.

Padahal Aku tahu, tidak bisa berlari sampai jauh. Sebab busur panah itu punya sensor canggih yang seakan menyimpan chip segala tetek bengek tentangku. Sepersekian detik saja bisa mendeteksi keberadaan dari jarak 100 km dan aku belum sebodoh dan segila itu menyerahkan nyawa mentah-mentah kepada orang yang lebih gila. Perempuan sinting dengan keinginan serba aneh. Termasuk pikirannya, namanya juga sinting.

            Perempuan itu tinggi, berkulit putih, berkaki jenjang dan kecil, serta bermata layaknya keturunan Tiongkok-Inggris. Sewaktu bertemu pertama kali, rambutnya masih legam dengan kilau redup. Kini, dia baru saja mengecat rambutnya menjadi bronde. Menurutku, apapun warna rambutnya, kesan cantik diwajahnya tak pernah lepas. Apalagi memang posturnya bak model. Genap setahun aku mendiami rumahnya, tapi belum juga tahu pasti apakah dia model sungguhan atau hanya hobi difoto saja, lalu dipajang di seantero dinding rumah.


Lepas dari karakter fisiknya, aku minta ampun. Dia perempuan yang sulit dipahami. Pola pikirnya berbeda dengan perempuan yang umum kujumpai, kukenal, dan yang telah kupacari. Itulah hal yang paling membuatku menyesal telah menerima cintanya. Cinta? Ehm bukan, kami bersama bukan karena cinta, melainkan karena sesuatu yang sebenarnya sulit kupahami dan diterima akal sehat. Bodohnya, aku mau-mau saja.

“Bagus sekali sudah bersikap baik, sayang!” dia mengelus puncak kepalaku hingga kurasai kuku merah mengilap panjangnya menyentuh pangkal daguku yang bersih dari rambut. Aku hanya diam. Bak bisu yang tak kenal kata, suara, dan ekspresi. Boleh bicara hanya jika ditanya. Tidak boleh cerewet berkomentar seperti Ibu-ibu, katanya.

Peraturan yang dibuatnya harus kupatuhi. Dialah Raja di rumah ini. Tiap pekan segala rambut halus harus kubersihkan dari wajahku. Pernah, dua pekan kubiarkan, dia malah memelototiku. Antara sinis, muak, dan jijik.  Padahal itu lumrah saja sebagai lelaki. Di rumah berlantai tiga yang didominasi warna merah di beberapa sudut ini, diriku hanyalah pajangan hidup. Teman sepinya yang bisu dan tuli, bahkan mungkin buta.

Aku mungkin penjaga rumah, penjaga harta. Saat mentari mulai nampak dan deru mesin Benz merahnya telah meraung. Tak perlu lagi memanggil atau mengode. Setelah menghilang di balik pagar besi setinggi dua meter. Tugaskulah menutup dan mengunci pintu rapat-rapat. Mengurung diri dalam kemewahan dan kemegahan yang tak kutahu harus kubagaimanakan. Mengurus diri sendiri, makan, minum, mandi, mengunci pintu, dan tidur. Terkadang, Aku seperti kehilangan ruh. Pelan-pelan dibunuh oleh rasa bosan yang kian hari kian merayapi jiwa.

Dia memujiku karena masih bersikap baik di rumahnya. Apalagi jika teman-temannya datang. Aku harus mengunci segala hal dalam diriku. Jika terus-menerus begini, pelan-pelan aku kan sungguh jadi si cacat. Jadi sulit berkata, tidak peka suara, bahkan mungkin melihat segalanya jadi kosong.

Para perempuan sosialita itu terdengar terbahak. Mereka saling lempar lelucon yang entah apa. Telingaku hanya menangkap sayup-sayup pembicaraan yang tak jelas katanya. Lalu semakin malam, perempuan-perempuan itu menjadi diam. Kukira telah pulang, saat jam membentuk sudut 30 derajat ke kanan masih ada sayup-sayup terdengar. Seharusnya pun aku mempelajari gerak mereka bila berkunjung. Perempuan itu belum menyapaku sepanjang teman sosialitanya ada.

Sudah selarut ini, kedua mataku tak mampu terkatup. Nyenyak sulit datang lebih dari biasanya. Suara melengking itu masih terdengar. Canda-candanya belum usai. Tak adakah keluarga yang mencari? Atau tiap mereka memiliki sepertiku di rumahnya? Membalikkan dunia dalam genggaman mereka. Melenyapkan khawatir dan menumbuhkan yang lebih dalam pada yang lain.

Tiba-tiba tubuhku bergetar, seperti disetrum listrik ribuan megawatt. Bergetar kencang hingga ranjang turut bergoyang. Menahan diriku lebih lama membuatku kian tersiksa. Kuputuskan bangun dan keluar kamar. Sepertinya penat lelah merayapi jiwaku diwaktu tak tepat. Aku melanggar untuk pertama kalinya. Menahan raung yang seperti ingin tumpah dari otakku. Menarik rambut yang seperti tengah dihajar dari dalam batok kepala.

Aku menemukan mereka… Untuk pertama kalinya, ku saksikan mereka yang berpenampilan layaknya model-model Victoria Secret bekerja! Tak mampu lagi kutahan berat diri. Terlalu kaget hingga roboh. Tubuhku tumbang membentur marmer abu-abu, tergeletak tak berdaya dan mungkin terabaikan. [Part 1 end]***

            
Gambar: tumblr

@NN@ - @My Sweetest Palace
Maret 2016 di suatu siang menjelang sore

0 komentar