Tari dan Jilbab
Matahari di luar bersinar terik, bias-bias cahayanya menerangi ruangan
kelas yang luasnya sekitar 3x4 m. Saya mengingat-ingat saat itu sekitar jam setengah 11 selepas bel masuk kelas berbunyi.
Salah satu guru perempuan yang berkulit putih memasuki kelas kami dan seusai
memberi salam langsung menjelaskan bahwa akan ada penilaian tari. Seketika
siswa-siswa kelas dua SMP itu heboh. Sejujurnya saya tidak menyukai pelajaran
seni tari dan seni musik. Saya lebih suka disuruh menggambar dan mensketsa,
berapapun permintaan tugas yang dikumpulkan pasti saya akan senang hati
melakukannya. Sayangnya teman-teman yang lain berkebalikan dengan saya sehingga
setiap pelajaran seni, tugas-tugas selalu berkaitan dengan seni musik dan tari.
Disesuaikan dengan mayoritas minat siswa di angkatan saya. Tersebab juga guru
seni saya itu kurang menguasai bidang seni rupa.
Beberapa menit kemudian, enam siswa sudah duduk berhadap-hadapan.
Pembagian kelompok tari kali ini berdasarkan urutan nama di absen yang diacak, tidak
boleh memilih teman kelompok seperti yang sudah-sudah. Setelah membentuk formasi
lingkaran, kami mulai mendiskusikan akan membawakan tarian jenis apa. Geng
sebelah, teman-teman sekelas saya yang tepat berada di baris menghimpit tembok
sudah berisik heboh membicarakan jenis lagu pengiring mereka. Sayup-sayup
terdengar mereka akan membawakan dance kontemporer.
“Iya, banyak laguku yang nge-beat
di komputer. Lagunya mo saja Agnes
Monica! (Saya punya banyak stok lagu di komputer. Pilih lagunya Agnes Monica
saja!)” ungkap Azizah, teman kelompok saya yang berbadan agak berisi. Ucapan Azizah
memberi harapan kepada kami untuk segera menyusun konsep tarian, lebih tepatnya
sih dance kontemporer. Maka selepas
bel pulang dibunyikan, kami berenam langsung menuju rumah Azizah yang harus
ditempuh dengan dua kali naik angkot dari sekolah kami.
Kami di arahkan masuk ke kamar berukuran persegi saat melewati ruang
keluarga. Tepat di sisi kanan pintu, sebuah komputer cembung berwarna putih
keabu-abuan yang merapat ke tembok segera dinyalakan. Sebuah kaset dari kamar
itu pun disetel, dan kami memilih-milih lagu yang cocok berdasarkan gaya dancenya. Beberapa kali memainkan ulang
video klip musik, akhirnya kami sepakat untuk mengcover dancenya Agnes Monica dari lagu yang berjudul “ku tlah jatuh cinta”.
Pada waktu itu, lagu Agnes monica selalu jadi andalan para siswa untuk nge-dance. Kalau untuk tarian sendiri, lagu
dari Siti Nurhalizalah yang jadi pengiring utama, sewaktu ujian akhir saya
sempat menari juga memakai lagu Siti Nurhalizah yang berjudul “Nirmala” dengan
gerakan sendiri.
Kami memerhatikan dengan seksama gerakan Agnes dan penari latarnya. Lima
kali diulang, teman-teman saya sudah mampu mencontohnya sambil memutar lagu
Agnes. Sementara saya malah salah gerakan, yang harusnya gerakan ke luar saya
malah ke dalam. Saya mengaku memang amat payah masalah tari dan gerakan. Entah
mengapa badan saya terasa kaku untuk bergerak. Selama latihan hari itu, saya jadi
bahan ledekan teman-teman. Mereka juga malah disibukkan untuk mengajar saya
yang lambat menguasai dan menghapal gerakan sesuai tempo lagu. Saya pun jadi
lebih sering menontoni video Agnes.
Setelah latihan hampir satu bulan, waktu pementasan untuk pengambilan
nilai pun semakin dekat. Menjelang hari H, kami disibukkan dengan mencari
kostum yang tepat. Kami saling membantu mencarikan teman, demi kekompakan.
Tersebab kekurangan salah satu kostum untuk teman saya, kami pun memutuskan
untuk memakai atasan kaos hitam dan jeans puntung. Mungkin jika kondisi saat
itu di bawa ke hari ini, wah mungkin sudah dibilang gak keren. Tapi kami juga
keren pada zamannya. Kaos dan jeans saat itu adalah paduan yang sudah keren
untuk nge-dance, apalagi jika
memakai topi, gesper, rantai, dan sepatu kets. Wah, bisa-bisa nilainya sudah
tinggi tuh kalau gerakannya juga oke.
Saat masuk SMP, saya sudah berjilbab. Itu karena impian nyantri tidak
kesampaian dan saya juga aktif sebagai remaja masjid saat itu. Karena tidak
mungkin berjilbab dengan jeans puntung, teman-teman mendukung saya melepas jilbab.
Biarpun tidak di dukung, pasti keputusan akhirnya harus dilepas juga. Kondisi
ini banyak terjadi, kakak kelas saya yang paling jago nge-dance sampai bikin
pangling itu juga perempuan berjilbab yang melepas jilbabnya saat nge-dance.
Ini momen pertama saya melepas jilbab di mana pengambilan nilai sebelumnya,
saya tetap berjilbab karena membawa tarian melayu. Tempat kami pentas adalah
panggung yang biasa dipakai saat upacara di mana semua orang akan bisa bebas
menyaksikan. Yang saya syukuri karena pengambilan nilai dilakukan pada saat
sore hari bukan jam sekolah, sehingga hanya angkatan saya dan siswa yang
tinggal di dekat sekolah saja yang melihat.
Beberapa teman angkatan yang mengenal saya dengan baik, menegur dengan
setengah tidak percaya. Saya merasa tubuh saya yang kaku itu makin kaku karena
grogi dan kikuk. Tapi saya berusaha tampil all
out meski ada teriakan-teriakan yang mengganggu.
Pada masa SMP itu, saya termasuk yang memiliki beberapa penggemar dari teman lelaki, entah yang beda kelas ataupun yang sekelas. Beberapa dari mereka mengaku menyukai saya karena melihat kesalehan saya. Tapi selepas dance itu seorang teman lelaki saya yang sekelas berhenti tepat di depan meja saya saat guru tidak masuk sambil bergumam istigfar dan sayup-sayup merapal doa meminta ampunan. Saya jadi super heran dengan aksinya itu.
Pada masa SMP itu, saya termasuk yang memiliki beberapa penggemar dari teman lelaki, entah yang beda kelas ataupun yang sekelas. Beberapa dari mereka mengaku menyukai saya karena melihat kesalehan saya. Tapi selepas dance itu seorang teman lelaki saya yang sekelas berhenti tepat di depan meja saya saat guru tidak masuk sambil bergumam istigfar dan sayup-sayup merapal doa meminta ampunan. Saya jadi super heran dengan aksinya itu.
Rupanya dia baru saja melihat hasil cetak foto berukuran 3x4 cm dari
studio foto box saya yang tanpa jilbab dari teman sekelas, juga berkaitan peristiwa
saya melepas jilbab saat dance. Dia
menyayangkan keputusan saya itu. Mengetahui itu dari teman sekelasku yang juga sahabatnya, saya jadi malu sekali. Saya tidak menyangka
kalau beberapa teman lelaki saya memerhatikan dengan sebegitunya. Padahal boleh
dibilang saya sangat jarang berkomunikasi dengan teman lelaki.
Rasa malu itu masih membekas, saat sebuah grup media sosial dibentuk setelah kami saling menemukan kontak selepas kuliah. Ada teman lelaki saya yang menyinggung itu di obrolan grup. Karena malu, saya meninggalkan obrolan itu. Saya tidak tahu lagi kelanjutannya, sebab smart phone saya kemudian rusak. Duh, jika tahu akan terus diingat begitu pastilah saya tidak akan melakukan hal tersebut di masa lalu. Tidak ada dance dan lepas jilbab meski belum tahu aturan syar'inya pada masa itu. Belum lagi ada teman lain yang dulu sering menggangu saya menyindir, “Karena dia makanya saya terus jatuh cinta dengan perempuan berjilbab.” x.x***
Gambar: pinterest
Gambar: pinterest
#7DaysKF
0 komentar