Ramadan di Kampung Inggris Pare
Bulan ramadan selalu jadi momentum orang-orang
berkumpul bersama sanak keluarga, tapi tidak kali itu dengan saya dan delapan
orang teman kuliah yang dengan nekad malah menjemput ramadan 2013 di perantauan.
Bukan lagi sekadar lintas kabupaten, tapi sudah lintas provinsi dan lintas
pulau yang bagi kami semua kala itu adalah hal yang masih amat baru. Demi
mengisi ruang ilmu dan waktu libur kuliah, kami memutuskan mengambil kursus
bahasa Inggris di Kampung Inggris Pare Kediri.
Diluar rencana rupanya kami tinggal terpisah, saya
dan dua orang teman tinggal sekamar di sebuah kos, tiga lainnya di sebuah kamp,
dan sisanya tinggal sendiri-sendiri di kamar kos lain yang masing-masing
jaraknya hampir dua kilometer lebih dari lokasi saya. Sebenarnya saya sedikit
beruntung dari teman-teman lainnya yang masih sempat sahur bersama keluarga
karena memulai ramadan lebih dahulu mengikuti keputusan ormas Muhammadiyah yang
berdasarkan hisab. Meskipun melewatinya dengan suasana tergesa-gesa sebab harus
segera check-in pukul lima pagi.
Menjalani ramadan di kampung inggris Pare membuat
saya merasakan shock-culture (padahal
masih di IndonesiaL). Tersebab
saya harus menjalani puasa ramadan di tempat asing sembari harus mematuhi jam
belajar di dua lembaga kursus yang menyita waktu sehari penuh. Perbedaan zona
waktu yang lebih lambat satu jam dengan kampung halaman pun memaksa saya
menyesuaikan diri khususnya untuk jam makan. Misalnya saja waktu imsak yang
jatuh pada jam empat tepat lalu satu setengah jam kemudian kelas saya sudah
dimulai. Jadinya setelah sahur tidak ada lagi waktu untuk bersantai atau
sekadar merebahkan diri.
Keadaan ini juga memaksa saya harus bangun lebih
cepat dari kebiasaan bangun sahur di Makassar. Sering saya terserang homesick saat sahur karena merindukan
masakan rumah yang disantap bersama keluarga. Di Pare, saya harus membeli
makanan di warung terdekat saat terbangun di sepertiga malam. Itu pun kami harus
bergantian keluar untuk berjaga-jaga agar tidak ada maling yang menyelinap
masuk, untung saja kosan saya berada tepat di tengah peradaban kampung Inggris
di mana di depannya warung-warung makan berjejeran. Sialnya kalau kesiangan
terpaksa hanya minum air segelas, maka beberapa kali kami membeli makanan sejak
malam hari itupun harus memilih lauk agar tahan sampai subuh.
Asiknya, perbedaan zona waktu menjadikan saat berbuka
jadi lebih cepat sekitar jam 5.30 WIB. Jadi tepat saat kelas bubar, azan
maghrib sudah berkumandang dan berhamburanlah para pencari ilmu memadati
warung-warung makanan. Sebalnya, kami sering telat berbuka karena warung
incaran sudah dipenuhi orang. Padahal memilih warung makan terbilang hal yang
sulit sebab perut-perut kami sulit berkompromi dengan makanan jawa atau olahan
asing.
Mentok, menu buka puasa andalan saya adalah es
buah, es kelapa, soto ayam, ayam penyet,
dan nasi tempe yang diselang-seling tiap hari biar tidak bosan. Suatu
waktu, saya rindu sekali ingin menyantap menu takjil khas Sulawesi. Demi
memuaskan keinginan hari itu, saya dan teman sekosan bolos kelas untuk mencari
penjual pisang ijo sampai ke jalan besar yang kira-kira jaraknya empat
kilometer. Puas saya membawa bergelas-gelas es pisang ijo, sayangnya rasa rindu
saya belum tuntas sepenuhnya sebab sirup yang digunakan bukan DHT khas Sulawesi
yang membuat perbedaan rasa begitu mencolok bedanya.
Buka puasa bareng yang 'termewah' selama di Pare zaman itu |
Perihal ibadah, saya ingat tarawih pertama saya
harus berjalan hampir dua kilometer melewati masjid-masjid yang sudah penuh
jamaah. Dengan napas tersengal saya melewati jamaah perempuan yang duduk
berhaf-shaf di pekarangan masjid yang sederhana itu sambil berkata tabe’ yang diikuti pandangan heran oleh
mereka. Saya lupa kalau sedang tidak di kampung halaman.
Pada saat itu, terdengar suara dari dalam masjid
dalam bahasa jawa yang tidak saya mengerti, teman saya yang keturunan jawa pun
tidak dapat saya andalkan. Kami menebak kalau itu adalah penceramah yang
menyampaikan pesan penutup. Padahal belum cukup lima menit kami merapatkan diri
dengan jamaah. Terlambat! Tapi itu bukan masalah jika mendengar isi ceramah
yang tidak saya ketahui maksudnya.
Setelah melangkah pulang saya dibuat bingung
karena rupanya sholat tarawihnya hanya empat rakaat saja sebelum semua jamaah pulang.
Apa saya ketinggalan beberapa rakaat sebelumnya? Entahlah, tapi karenanya saya
mesti sholat isya di kos selepas tarawih itu. Esoknya, saya tidak lagi ingin ke
masjid yang didominasi masyarakat asli itu. Selama di Pare, bisa dikatakan saya
menunaikan tarawih di masjid berbeda tiap hari untuk mencari kebiasaan
bertarawih yang mirip dengan di Makassar. Rupanya tidak ada yang sama, bahkan
setiap masjid memiliki kebiasaan tarawih yang berbeda—tidak melanggar rukun tarawih
kok. Ada yang jumlah rakaat sholatnya 20 tapi tidak diisi ceramah dan kurang
dari 30 menit semua jamaah sudah bisa kembali ke rumah. Pegal!
“Hampirmi
lebaran, pesan maki’ tiket pulang
deh!” ajak teman sekamar saya.
3 komentar
Wah pare jadi pengin balik ke jawa hahaha. Pas kuliah kemaren sempet punya pacar cewe sana wkwk. Masak sih di pare kek gitu mbak? Ga ada yang silaturahmj gitu selepas lebaran? Hmmm
BalasHapusKebayang .... serunya pengalaman ta'.
BalasHapusPulang dari Pare, bagaimana hasilnya? :)
Wahhhh kangen deh sama pare, aku lama kerja di tulung rejo dekat kampung inggris
BalasHapus