REVIEW BUKU: Semusim dan Semusim Lagi
Semusim dan
semusim lagi. Sebuah buku karangan Andina Dwifatma yang keluar sebagai pemenang
dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012, lalu diterbitkan
oleh Gramedia Pustaka. Ini adalah buku pertama yang saya tamatkan di tahun 2016,
tapi bukan yang pertama dibaca—miris sekali mengingat GR Challenges 2016.
Novel ini
bercerita tentang tokoh Aku, gadis
yang baru tamat SMA, yang tinggal bersama ibunya dalam
‘kehampaan’. Si Aku ingin sekali bertemu Ayahnya yang tak pernah sekalipun ia
ingat sosoknya selama dilahirkan. Kisahnya menjadi menarik setelah menerima
surat dari teman Ayahnya, J.J Henri yang menjadi perantaranya untuk bertemu
sang ayah.
Ayahnya sakit
parah dan belum bisa ditemui. Ia terpaksa harus tinggal di rumah Si Ayah yang
baru sekali didatangi sampai si Ayah sembuh. Di rumah itu si Aku berkenalan
dengan tetangga dekatnya, Oma Jaya, yang memelihara ikan mas koki. Lebih tepatnya ikan mas itu adalah
reinkarnasi suaminya, Sobron, yang telah meninggal.
J.J Henri
mengutus putranya, Muara untuk menjadi teman si Aku agar tak kesepian. Si Aku
jatuh cinta dan merasa cocok dengan Muara. Namun, ternyata cintanya tak
berbalas sebab Muara telah memiliki kekasih yang amat ia cintai. Padahal keduanya
telah saling ‘menodai’.
Klimaksnya
adalah Sobron, ikan mas koki, membesar seukuran manusia (tetap dalam bentuk ikan) yang bisa bicara. Ajaibnya, hanya si Aku yang bisa melihatnya. Ia
memberitahu bahwa sebenarnya si Aku hamil. Saat Muara berusaha memintanya menggugurkan janinnya,
si Aku malah menusuknya empat kali dengan pisau yang diberikan oleh Sobron. Namun, Muara tidak
meninggal.
Si Aku dipenjara
dan di kirim ke rumah sakit jiwa karena dituduh gila. Ia tidak gila, tetapi
lingkungan rumah sakit jiwa perlahan menguras kesehatan psikisnya. Sobron masih
sering menjumpainya, tetapi ia tidak dapat membujuknya untuk memperlihatkan
diri pada manusia. Ia makin menjadi seperti orang gila karena sering disuntik
dan suatu waktu bertemu Muara yang menyampaikan bahwa ia tidak mencintai si
Aku. Ia dalam kondisi terburuknya, lalu kemudian membaik saat kedatangan orang
yang paling diharapkannya, Ayahnya.
Pertanyaan
saya tentang gambar ikan mas koki di sampulnya akhirnya terjawab. Pertama kali
baca adegan ikan ajaib itu, saya terheran-heran sendiri. Apalagi pas adegan Muara datang ke Rumah
sakit jiwa dan berubah menjadi Sobron lalu Muara lagi dan menghilang. Itu saya
harus baca berulang sampai saya menangkap betul apa yang dimaksudkan penulis (itupun kalau memang benar seperti yang kutangkap).
Saya baru sadar jika novel
ini bukan sejenis metropop, tetapi surrealis fiksi yang melibatkan tokoh-tokoh
imajinasi fantasi sejenis karya Haruki Murakami dan Kafka. Pantas saja! Novel-novel itu bukan genre yang sering saya baca dan tidak ngeh kalo arahnya ke situ. Padahal
isinya, Si Aku ini memang penggila bacaan Haruki dll.
Ada
review yang bilang novel ini sejenis
filsafat pula. Di awal-awal
penceritaan pun banyak narasi yang menggambarkan kefilsafatan si Aku. Banyak kutipan-kutipan orang terkenal seperti Nietzche dan lagu yang
diangkat untuk dibahas pun yang terkenal di eranya, seperti pemusik Blues, rock, dan jazz—yang bukan gue bangetlah. Buku dan kutipannya juga banyak tak saya
ketahui. Terlihat jelas kok si penulis ini kaya akan bacaan-bacaan berat dan
filsafatis. Hal itu sekaligus menjadi
kekurangan buku ini, seakan-akan she
tells us that she knows more. Entah sih, kok saya merasa begitu ya pas
bacanya?
Gaya
bertutur penulis oke. Awal-awal saya merasa agak datar, tetapi semakin ke belakang gaya bahasanya
semakin bagus dan semakin seru pula untuk dihabiskan. Sebelum mencapai akhir,
saya merasa seperti membaca bukunya John Green yang A Fault in Our Stars—gaya bahasanya mirip-mirip novel terjemahan.
Tapi versi Indonesia masih lebih baik daripada terjemahan (AFiOS) yang beberapa bahasanya
terbalik-balik.
At least, saya
memberi empat bintang untuk buku ini di GR rating. Idenya menarik, di samping
kekurangan-kekurangannya. Jarang-jarang sih saya baca buku pemenang lomba yang
mengangkat tema demikian. Ke depan, saya akan coba membaca lebih banyak karya
yang beraliran serupa, agar lebih banyak tahu referensi yan demikian.
“Jawabannya tertiup di angin. Itu bisa bermakna bahwa jawaban yang kau cari telah begitu jelas, seolah-olah ada di depan wajahmu sedari tadi, hanya kau tak menyadarinya. Kebanyakan manusia seperti itu. Karena sibuk mencari di luar, ia tidak menyadari apa yang dicarinya sudah ada dalam diri sendiri.” halaman 102
Gambar: Dokumentasi pribadi
@NN@ - @My Sweetest Palace
2704162347
0 komentar