Aku merasa
terjebak! Lebih tepatnya dijebak! Semua ini bukan keinginanku. Jauh dari apa
yang sebenarnya kuharapkan. Terjebak di tengah hal-hal non-sense yang jauuuuuh dari apa yang kusebut passion. Lalu kenapa tidak ditinggalkan saja? Sayangnya, tidak
semudah itu. Kabur berarti merelakan sebuah anak panah beracun memburu jantung.
Padahal Aku
tahu, tidak bisa berlari sampai jauh. Sebab busur panah itu punya sensor
canggih yang seakan menyimpan chip
segala tetek bengek tentangku. Sepersekian detik saja bisa mendeteksi
keberadaan dari jarak 100 km dan aku belum sebodoh dan segila itu menyerahkan
nyawa mentah-mentah kepada orang yang lebih gila. Perempuan sinting dengan
keinginan serba aneh. Termasuk pikirannya, namanya juga sinting.
Perempuan
itu tinggi, berkulit putih, berkaki jenjang dan kecil, serta bermata layaknya
keturunan Tiongkok-Inggris. Sewaktu bertemu pertama kali, rambutnya masih legam
dengan kilau redup. Kini, dia baru saja mengecat rambutnya menjadi bronde.
Menurutku, apapun warna rambutnya, kesan cantik diwajahnya tak pernah lepas.
Apalagi memang posturnya bak model. Genap setahun aku mendiami rumahnya, tapi
belum juga tahu pasti apakah dia model sungguhan atau hanya hobi difoto saja,
lalu dipajang di seantero dinding rumah.
Lepas dari
karakter fisiknya, aku minta ampun. Dia perempuan yang sulit dipahami. Pola
pikirnya berbeda dengan perempuan yang umum kujumpai, kukenal, dan yang telah
kupacari. Itulah hal yang paling membuatku menyesal telah menerima cintanya.
Cinta? Ehm bukan, kami bersama bukan karena cinta, melainkan karena sesuatu
yang sebenarnya sulit kupahami dan diterima akal sehat. Bodohnya, aku mau-mau
saja.
“Bagus sekali
sudah bersikap baik, sayang!” dia mengelus puncak kepalaku hingga kurasai kuku
merah mengilap panjangnya menyentuh pangkal daguku yang bersih dari rambut. Aku
hanya diam. Bak bisu yang tak kenal kata, suara, dan ekspresi. Boleh bicara
hanya jika ditanya. Tidak boleh cerewet berkomentar seperti Ibu-ibu, katanya.
Peraturan yang dibuatnya
harus kupatuhi. Dialah Raja di rumah ini. Tiap pekan segala rambut halus harus
kubersihkan dari wajahku. Pernah, dua pekan kubiarkan, dia malah memelototiku.
Antara sinis, muak, dan jijik. Padahal
itu lumrah saja sebagai lelaki. Di rumah berlantai tiga yang didominasi warna
merah di beberapa sudut ini, diriku hanyalah pajangan hidup. Teman sepinya yang
bisu dan tuli, bahkan mungkin buta.
Aku mungkin
penjaga rumah, penjaga harta. Saat mentari mulai nampak dan deru mesin Benz
merahnya telah meraung. Tak perlu lagi memanggil atau mengode. Setelah
menghilang di balik pagar besi setinggi dua meter. Tugaskulah menutup dan
mengunci pintu rapat-rapat. Mengurung diri dalam kemewahan dan kemegahan yang
tak kutahu harus kubagaimanakan. Mengurus diri sendiri, makan, minum, mandi,
mengunci pintu, dan tidur. Terkadang, Aku seperti kehilangan ruh. Pelan-pelan
dibunuh oleh rasa bosan yang kian hari kian merayapi jiwa.
Dia memujiku
karena masih bersikap baik di rumahnya. Apalagi jika teman-temannya datang. Aku
harus mengunci segala hal dalam diriku. Jika
terus-menerus begini, pelan-pelan aku kan sungguh jadi si cacat. Jadi sulit
berkata, tidak peka suara, bahkan mungkin melihat segalanya jadi kosong.
Para perempuan
sosialita itu terdengar terbahak. Mereka saling lempar lelucon yang entah apa.
Telingaku hanya menangkap sayup-sayup pembicaraan yang tak jelas katanya. Lalu
semakin malam, perempuan-perempuan itu menjadi diam. Kukira telah pulang, saat
jam membentuk sudut 30 derajat ke kanan masih ada sayup-sayup terdengar.
Seharusnya pun aku mempelajari gerak mereka bila berkunjung. Perempuan itu
belum menyapaku sepanjang teman sosialitanya ada.
Sudah selarut
ini, kedua mataku tak mampu terkatup. Nyenyak sulit datang lebih dari biasanya.
Suara melengking itu masih terdengar. Canda-candanya belum usai. Tak adakah
keluarga yang mencari? Atau tiap mereka memiliki sepertiku di rumahnya?
Membalikkan dunia dalam genggaman mereka. Melenyapkan khawatir dan menumbuhkan
yang lebih dalam pada yang lain.
Tiba-tiba
tubuhku bergetar, seperti disetrum listrik ribuan megawatt. Bergetar kencang
hingga ranjang turut bergoyang. Menahan diriku lebih lama membuatku kian
tersiksa. Kuputuskan bangun dan keluar kamar. Sepertinya penat lelah merayapi
jiwaku diwaktu tak tepat. Aku melanggar untuk pertama kalinya. Menahan raung
yang seperti ingin tumpah dari otakku. Menarik rambut yang seperti tengah
dihajar dari dalam batok kepala.
Aku menemukan
mereka… Untuk pertama kalinya, ku saksikan mereka yang berpenampilan layaknya
model-model Victoria Secret bekerja! Tak mampu lagi kutahan berat diri. Terlalu
kaget hingga roboh. Tubuhku tumbang membentur marmer abu-abu, tergeletak tak
berdaya dan mungkin terabaikan. [Part 1 end]***
Gambar: tumblr
@NN@ - @My Sweetest Palace
Maret 2016 di suatu siang menjelang sore