Hari Bahagia Sahabatku
Day 2: Ceritankalah secuil kisah tentang
kebersamaan bersama sahabatmu, jika berani sebutlah namanya pada tulisanmu
Masih jelas
dalam ingatan saya di mana lima bulan terakhir (peralihan dari tahun 2016
menuju 2017—Oktober sampai Maret) saya dan seorang perempuan yang saya anggap
sahabat masih sering teleponan. Saling bertukar kabar, cerita lepas tentang
kesibukan masing-masing dan orang-orang baru yang kami temui, saling menguatkan
dan menyemati tentang tujuan kami yang sama-sama ingin lanjut kuliah lewat
jalur beasiswa.
Saya masih
merekam nada suara sedihnya dia saat gagal menembus beasiswa andalan Indonesia.
Betapa khawatirnya dia tentang usia yang terus beranjak sementara cita-cita
belum digenggam. Iya, percakapan kami saat itu masih berputar-putar tentang beasiswa
dan perjuangan untuk meraihnya yang
sesekali dibumbui curhatan receh. Kemudian topik pembicaraan meningkat
dengan hadirnya seorang ikhwan dalam pembicaraan seluler online kami. Sebuah
pembicaraan yang bagi saya cukup rumit kala itu.
Kami ini
kalau teleponan gak tanggung-tanggung bisa sampai kuping panas, handphone
lowbatt, dan sinyal hilang. Bayangkan itu berapa jam? Obrolannya dari yang
paling receh sampai yang paling serius. Termasuk tentang si ikhwan yang hadir
untuk ngajakin dia taaruf. Dia yang taaruf tapi rasanya saya yang senyum-senyum
malu-malu membayangkan itu bakal gimana. Sampai tiba sebuah kabar bahwa si
ikhwan ngajakin nikah. Dengan seius datang mengkhitbah. Masya Allah, saya nggak
sangguplah menerima telepon dia saat itu. Kami cuma saling Whatsapp-an tapi
rasanya dalam banget nyampai ke saya.
Dia yang
akan menikah tapi saya yang heboh sendiri saat itu, senyum-senyum makin gaje,
bahkan nangis. Nangisnya antara sedih dan bahagia. Bahagianya tentu karena
saudari saya ini bakal melepas masa lajang, perkara yang di usia saya dan teman
sepermainan sudah banyak segerakan. Sedihnya karena saya mungkin akan
kehilangan teman curhat dan teman jalan saya. Tentu setelah menikah saya sudah
tidak bebas menghubungi dia lagi seperti dahulu. Saya juga bakal jadi segan
lagi memulai chat atau telponan berjam-jam seperti dulu. Huh, masa dia
menimpali saya; “makanya segera cari juga!”. Emang dia pikir menemukan jodoh
yang tepat itu bisa secepat menemukan baju di online shop. Sekali suka langsung
beli.-__-“
Beberapa
pekan menjelang hari bahagianya, teman sekelas saya membuat grup di WA buat
persiapan bikin baju seragam. Ya ampun saking seriusnya mereka ingin hadir ke
lokasi yang jaraknya dari Makassar ditempuh dengan waktu sekitar 8 jam. Udah
lintas provinsi lagi! Setiba di lokasi
acara pada jam dua dini hari. Kami langsung diinapkan di rumah neneknya yang
berhadapan langsung dengan rumahnya. Beberapa jam menjelang akad nikah, kami
sudah siap sedia di rumahnya dengan dresscode pink kalem. Sudah foto-foto tapi
masih juga belum puas.
Alhamdulillaah... SAH! |
Secara eksklusif kami menyaksikan dan merekam momen sacral saat untuk pertama kalinya mempelai lelaki menyentuhnya dan memasangkan cincin di jari manisnya. Saya dan Lala bertanya-tanya tentang alpanya momen cium kening yang sering kami jumpai di akad pernikahan. Bahagiaku untuk dia, sahabat yang padanya kami sering saling mendoakan untuk istiqamah termasuk untuk tidak pacaran. Banggaku padanya yang mampu menjaga kehormatan dan kesucian diri hingga datang seorang shalih yang menghalalkannya. Sebelum dia menikah, saya sudah mencari tahu siapa lelaki itu biar bisa memberi saran saat ngobrol. Masya Allah! beruntunglah keduanya yang bakal saling melengkapi dalam atap sakinah, mawaddah, warahmah.
0 komentar