Kena Denda Setelah Workshop Seharian


Sebuah pengalaman lalu. Ketika itu, hari sabtu dan sebenarnya saya sudah sangat senang karena dua mata kuliah yang biasa menghiasi hari itu tidak akan masuk. Tetapi, kabar lebih buruk adalah keduanya diganti dengan satu mata kuliah pilihan yang akan terlaksana seharian penuh. Lagi, bukan hanya untuk saya dan teman sekelas tapi juga untuk semua yang memprogram matakuliah itu. Gedung lantai 3 phinisi yang bertempat di ruang LPM pun padat ramai oleh angkatan 2010-2012 yang memprogram mata kuliah itu. Entah, saya mau berkata itu kegiatan perkuliahan, tetapi ada juga workshop yang diadakan, ada juga motivasi yang terkesan seperti seminar. Bukan pula hanya dosen saya yang mengisi, tetapi orang luar yang juga masih mahasiswa kampus saya, tetapi karyanya sudah sampai nasional dan internasional. Awalnya kecewa, saya dan 6 orang teman sudah datang sangat pagi, setengah jam dari waktu yang ditentukan. Namun, ruangan masih senyap. Belum ada tetanda seseorang memulainya. Saya dan 6 teman orang yang paling berhak mendapat doorprize seandainya ada yang disediakan untuk peserta tercepat datang. 

Kegiatan itu akhirnya dimulai satu jam kemudian, terlambat setengah jam dari waktu awal ditentukannya. Kegiatan itu berupa materi kewirausahaan, motivasi kewirausahaan, dan kisah-kisah sukses mahasiswa kampus saya yang ikut menjadi pemateri. Untung saja, dosen saya adalah tipe ekstrovert yang mampu memberi kesan menarik dan menghibur sembari membahas slide-slide materi. Seandainya tidak, pastilah saya kabur karena jengah. Di akhir kegiatan, seorang ketua HIPMI PT mengajak seisi ruangan mengisi business canvas model. Sayang sekali, kelompok saya tidak terpilih untuk presentasi. Akhirnya, kegiatan itu berakhir juga saat waktu akan bergerak pada 17.30 WITA. Seorang teman yang mengendarai motor pun mengajak saya pulang bersama. Awalnya saya ragu, karena tidak membawa helm dan takut akan kena tilang oleh polisi. 

“Tidakji, lewat belakang jeki!” kalimat itu meyakinkan saya. Tetiba di pertigaan setelah Mall Panakkukang, “Ada polisi disana!” seorang pejalan kaki memberitahu. Saat saya akan turun, hanya sepersekian detik ternyata polisi itu berjalan  dan menjemput kami. Dia mengarahkan kami menuju pos sweeping-nya. Dia meminta SIM dan STNK teman saya yang mungkin meleset dari harapannya. Teman saya selalu membawanya. Disana, sudah ada satu motor pula yang ditahan. Gadis yang usianya lebih tua dari saya tengah diintrogasi polisi yang usianya lebih tua dari polisi yang menahan saya. Setelah melihat SIM dan STNK teman saya, dia basa-basi menanyai kesalahan kami. Rasanya saya tidak mau menjawab, teman saya terlihat sangat ketakutan, mungkin karena dia yang memiliki kendaraan dan persuratannya yang diperiksa. “Jadi, bagaimana? Di dendaki’ itu.”
“ada cara lain pak?” Bujuk saya.
“Selesaikan disini atau di kantor polisi. Kalo di kantor di sidang ki’ itu di pengadilan!” Mendengar  pernyataan-pernyataannya sudah sangat jelas bahwa dia berusaha menakuti kami, dan sangat jelas bahwa dia sebenarnya bermaksud MALAK. Polisi yah begitu, saat tanggal tua dan bukan penugasan, pasti ramai di jalanan. Padahal, bukan kali itu saya melintas jalanan itu tanpa helm dikepala. Saya akui kesalahan sebagai warga masyarakat yang tidak taat aturan. Toh, kali ini saya membela diri karena keadaan memang bukan disengaja. Saat pulang berkegiatan itu hari sudah mulai malam hingga teman saya berniat mengantar meski tanpa helm. 

Akhirnya, dia menyuruh kami membayar dengan angka yang tertera Rp. 250.000,00.  
"Kami mahasiswa kodong, Pak. Maumi juga semester baru mauki’ kodong membayar SPP.”
“Makanya jangan melanggar.”. Berpuluh alasan kemudian kami lontarkan untuk membujuk polisi MALAK itu. Uh, saya jengkel sekali, saya bilang selesaikan di kantor saja, tetapi teman saya menepisnya, sangat takut kelihatannya, wajar sih. Saya juga sebenarnya sudah speechless, dan jalan terakhir yah pasti bayar denda. Akhirnya, kami nego lagi masalah denda, menyebalkannya dia ngotot di angka itu, padahal saya yakin uang itu untuk lain hal. 

“Lima puluh mo pale’ pak.”, 
“Tidak bisa, setengah nya lagi belum tentu saya mau.”, akhirnya saya membayar Rp. 100.000,00 padahal kantong lagi krisisnya, sementara list bulan ini masih banyak yang belum terpenuhi. Ya sudahlah, tidak ada keikhlasan yang dideskripsikan. Itu yang saya pahami. Orang tua saya bilang itu adalah sebuah pengalaman untuk tidak mengulang hal yang sama kedepannya. Kejadian itu juga sudah digariskan untuk terjadi. Sepertinya, saya betul harus menjalankan saran dari dosen pembimbing PKM saya yang menyarankan judul tentang hal itu. Yah, supaya tidak ada lagi kejadian-kejadian yang mengagetkan seperti itu. 

@NNa @My Sweetest Palace 15141046

0 komentar