A Super DAD
A SUPER DAD
Seorang gadis berambut panjang yang duduk di beranda
rumah menatap tajam pada langit biru sore hari. Perlahan ia menutup matanya
merasakan angin yang membelai lembut wajahnya. Lalu dibiarkannya pikirannya melayang
pada potongan gambar-gambar pada masa kecilnya yang terekam ulang silih berganti di memorinya.
Ia berusaha merasakan belaian yang sama, kelembutan yang begitu nyata.
J
Gadis kecil itu sulit tertidur. Lalu, Ia telah
membiasakan diri untuk merasakan belaian lembut sang Ayah yang mengusap
kepalanya hingga ia memejamkan mata dan terlelap. Masa kecil penuh bahagia. Meski tak lengkap dengan kehadiran
sang Ibu yang meninggal usai melahirkannya. Ia tinggal bersama ayahnya di
sebuah pinggiran kota. Gadis itu belajar mensyukuri hidupnya. Semua berkat
Ayahnya, darinya dia belajar tentang ketegaran dan perjuangan hidup.
tsiartasss.deviantart.com
Hari-hari mereka tetap terasa
bermakna. Banyak hal yang diperoleh gadis itu dari ayahnya. Ayahnya bahkan
mampu menggantikan sosok ibunya. Dia mengajari gadis kecilnya memasak,
menjahit, dan pekerjaan rumah lainnya. Bagi gadis itu, ayahnya adalah segalanya
dalam hidupnya. Ayahnya yang menemaninya berbelanja, ayahnya yang bekerja
untuknya, ayahnya yang memberikan segala yang ia butuhkan, dan ayahnya yang
mengajarinya untuk tetap tegar dalam menjalani kehidupannya. Bahkan, suatu
hari, saat gadis kecil itu begitu sulit melakukan sesuatu, Ayah mengajarinya
untuk bangkit dan tak mudah putus asa. Ia mengajarinya tentang berjuang. Perjuangan hidup. Namun, hidup tak selamanya indah, ayahnya
tak bisa terus-terusan menjadi buruh harian karena lapangan pekerjaannya
semakin sempit, dan ia tidak tahu lagi harus bekerja sebagai apa untuk
menghasilkan uang yang banyak guna mencukupi kebutuhan hidup mereka.
“Aku mendapat tawaran untuk bekerja
di luar negeri, apakah kau mau ikut bersamaku? Kudengar, kau sedang butuh
pekerjaan?” salah seorang kerabat ayahnya secara kebetulan berkunjung ke
rumahnya, lalu berbincang tentang pekerjaan.
“Iya, aku butuh pekerjaan. Aku tidak
lagi bekerja di tempatku yang lama. Luar negeri ya? Hmm..” Ayah
menimbang-nimbang untuk mengambil tawaran itu. Dia lama terdiam. Dia mengingat
putri satu-satunya jika harus meninggalkannya.
“Kalau masalah putrimu, jangan
khawatir, aku punya saudara di Fujioka,
kau boleh menitipnya di sana. Dia juga sangat senang dengan anak perempuan!”
kerabatnya mengusulkan.
“Ah, bukan masalah itu, aku juga masih punya saudara
di sana, tapi, putriku tidak pernah mengenal keluarga yang lain. Aku takut pula, dia sulit berpisah denganku!” lelaki paruh
baya itu masih merenung. Sulit baginya mengambil keputusan saat itu, namun dia
berpikir bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali dengan peluang yang mudah
seperti itu. Kerabatnya itu punya jaringan yang baik untuk segera menempati
lowongan pekerjaan yang sedang kosong. Menolaknya, berarti dia membuang satu
peluang besar, lagipula, ketika dia menerima tawaran itu, itu juga demi
putrinya, Miwako. Tapi dia masih ragu untuk meninggalkan putrinya. Lalu, segala
motivasi dan masukan dari kerabatnya itu menguatkan hatinya, dia bekerja juga
adalah sebuah perjuangan untuk putrinya.
J
Miwako tak henti-hentinya menangis.
Ia tak mau keluar dari kamar yang bahkan sangat asing baginya. Ia bahkan berani mengunci pintu kamar itu,
hingga tak seorangpun dapat masuk ke sana. Bibi Rin, saudari Ayahnya, mengetuk
pintu kamar dan berusaha membujuknya keluar. Ia tetap tak mau. Ayahnya telah
pergi. Merantau ke negeri ginseng mencari nafkah. Pertemuan terakhir mereka di
rumahnya, Ayahnya memeluk gadis yang hampir beranjak remaja itu erat, seperti
tak sanggup melepaskannya. Miwako tak menyadari kalau kepergian mereka ke Fujioka
adalah perjalanan terakhirnya bersama Ayahnya.
J
“Jaga dirimu baik-baik sayang, Ayah
akan pergi sebentar lalu pulang lagi nanti. Ayah janji. Ayah akan pulang dan
membelikanmu gaun yang sangat indah dan semua yang kamu mau, Ayah janji!” Ayah
lalu mengelus kepala putri kesayangannya penuh kasih sayang seperti saat
menjelang tidurnya. Ia tahu, ia pasti akan rindu melakukan itu dan mungkin saat
ia kembali esok, ia akan mendapati
putrinya tidak lagi mau di elus begitu.
“Ayah mau kemana? Rumah siapa ini?
Kenapa kita harus tinggal disini. Tempat ini begitu asing, Ayah. Ayo kita pulang!” Miwako terus bertanya, bahkan
menarik tangan Ayahnya menuju pintu keluar. Lalu, Bibi Rin menyentuh
punggungnya lembut dan menjelaskannya. Seketika buliran air mengalir jatuh ke
pipinya. Tak sanggup memandang sosok yang begitu dicintainya menjauh darinya.
J
Lalu lamunan gadis itu terhenti oleh
tangan yang menyentuh lembut pundaknya. Bibi Rin. “Ada telepon dari Ayahmu! Dia
titip salam katanya beberapa hari lagi dia akan kemari!” Miwako hanya membalas
sambil tersenyum. Miwako tak sadar kalau lamunannya tadi meninggalkan bekas air
dipipinya. Ia lalu mengusap kedua pipinya dan menahan matanya agar tak memproduksi air lagi. Bibi Rin
mendekapnya. Cukup bagi Miwako menjadikan Bibi Rin sebagai pengganti sosok Ayah
yang begitu dirindukannya. Setiap kali Ayahnya menelepon, hanya Bibi Rin yang
menjawab, Miwako tak mau bicara, ia tak sanggup.
Awalnya Miwako mengira tak mampu
menjalani hidup tanpa Ayahnya. Berada di tempat asing bersama orang-orang yang baru di kenalnya. Lalu, Ia
teringat kata-kata Ayahnya tentang perjuangan hidup. Bagaimana sebelumnya Ayahnya terpuruk
sepeninggal Istrinya, Ibu Miwako. Namun, ia mencoba bangkit dan menjalani
hari-harinya tanpa rasa takut. Lalu Ayah
menemukan kebahagiaan hidup dengan Miwako, hal itulah yang coba ia ajarkan pada
putrinya. Mengajarkannya kemandirian. Miwako sudah dewasa, ia mengerti
sekarang. Ayahnya tetap Ayahnya, meski mereka tidak berpijak di negeri yang
sama. Namun, rasa sayang itu masih sama. Tangan itu, seperti membelainya setiap
malam menjelang tidurnya.
“Ayah….
Aku merindukanmu, seperti ketika bumi merindukan hangat sinar mentari
meneranginya. Aku disini, anakmu, masih memiliki cinta yang sama seperti
tulusnya cinta yang kau berikan padaku. Aku merindukanmu… tetap tegar seperti
kerasnya perjuangan yang kau titahkan,
terkadang mencoba berbalik ke masa kecilku, saat kau
mengajariku banyak hal. Itu sudah cukup. Kan, kugenggam esok dengan tanganku, meraih sendiri impianku,
hidupku. Menerobos jalan yang asing. Aku menunggumu kembali, Ayah!” Kembali, buliran hangat mengalir lembut di
wajahnya, membasahi kertas warna-warni tempat melabuhkan isi hatinya. Ia memandang bulan di balik jendelanya,
seakan tahu apa yang dirasakannya. Bulan seakan berkata bahwa Ayahnya pun
merindukan putrinya tercinta.* AnnJ 09:25 am / 010213 / @Istana Mimpiku
1 komentar
Bagus tulisannya, sukaaa :D
BalasHapus