Mengenang Perang Hobi "Kamu Cantik"

Mengarungi tahun 2018, hampir setiap bulan ada saja acara nikahan yang saya hadiri. Sebelum ada yang tanya saya sendiri kapan, sejak diundang pun saya sudah berulangkali menanyakan hal itu kepada diri sendiri. Saya kapan mengundang? Hm, tapi tulisan saya ini tidak akan mengulas tentang jodoh yang tak kunjung datang. Ini tentang acara nikahan teman yang baru saja dihelat sabtu lalu dan saya menganggap perlu untuk saya tulis. Tersebab akhirnya ada juga teman SD yang mengundang saya di acara nikahannya pun saya berkesempatan menghadirinya. 

Saya berharap setiba di gedung sana bisa bertemu dengan satu atau dua wajah masa kecil yang kini mendewasa. Nihil. Saya tidak menemukan satupun teman SD saya di sana. Padahal teman SD saya yang tengah berbahagia ini juga banyak bertetangga dengan teman-teman SD saya yang lain. Yah, mungkin kedewasaan wajah mereka juga saya tidak dapat terdeteksi oleh make-up yang sangat bisa mengelabuhi pandangan mata. Hal yang menyenangkan adalah saya bisa bersua dengan teman-teman sekelas masa SMA. Kami berfoto bersama kedua mempelai dan berswafoto sembari menanyakan kabar dan kesibukan masing-masing. 

Reuni minus banyaaaak (dok.pengantin)

Sebenarnya teman SD saya yang menikah ini adalah juga teman sekelas saya sejak kelas 2 hingga kelas 3 SMA. Jadi wajar jika saya reuni kembali. Meskipun masih banyak pula yang tak hadir karena kesibukan dan jarak yang terlampau jauh untuk berkompromi. Mempelai perempuan yang makin cantik dengan gaun krem tua berhias brokat itu adalah teman baik saya sewaktu menempuh pendidikan dasar. Sekolah saya dekat dengan rumahnya. Rumah sayalah yang jauh, perlu ditempuh dengan kendaraan roda dua atau empat dalam waktu sekitaran 30 menit. Kami baru benar-benar dekat saat kelas 3 SD. Saat kelas 1 dan 2 saya tidak benar-benar memperhatikan kehadirannya bahkan saya sudah lupa-lupa ingat mengapa tiba-tiba menjadi teman dekat.

Sewaktu kelas 1 saya dekat dengan seseorang yang saya harus tinggal kelas dan di kelas 2 orang yang dekat dengan saya pindah sekolah sewaktu kenaikan kelas 3. Saya ingat selain dia, saya punya beberapa teman dekat yang pada akhirnya kami pun membentuk geng. Geng kami hanya berjumlah 3 orang. Kisah pertemanan kami pun dipenuhi drama pertemanan karena Suci lebih senang bergaul dan teman-teman lain. Fikalah yang banyak memengaruhi hidup saya sejak SD. Dengan alasan itulah saya juga menulis ini. 

Penampilan, gaya, dan prestasi saya banyak dipengaruhi oleh Fika. Mama saya yang mengajar di sekolah saya itu mengenal semua teman-teman saya. Mama sering membandingkan penampilan saya dengan Fika. Mama selalu mendorong saya supaya tampil rapi, bersih, cantik, dan anggun seperti Fika. Bukannya sedih, saya malah merasa harus bisa mewujudkan itu. Maka saya yang lebih suka memakai bandana dan jepitan kupu-kupu yang fenomenal ke sekolah akhirnya mengubah gaya mengikuti Fika yang setiap hari menguncir dua rambutnya. Rambut saya yang biasanya hanya mentok panjang sebahu kemudian saya panjangkan sampai dada demi bisa mengikuti gayanya. 

Saya merasa berhasil mengikutinya saat suatu hari seorang pengawas dari sekolah lain yang mengawasi kelas saya saat ujian caturwulan di kelas tiga menegur, “kalian berdua kembar?” saat saya menggeleng dia melanjutkan, “kalian bersaudara?” Saya yang duduk sebangku dengan Fika pun terheran-heran saat itu. 

Saya yang kalau mandi biasanya cepat banget pun jadi lama demi menggosok semua daki-daki yang menempel di permukaan kulit. Saya ingin menyamai kulit putih, mulus, dan bersihnya Fika. Yaaa.... meskipun pada akhirnya kulit saya yang lebih gelap tidak bisa menyamai warna kulitnya. Masalah kemampuan pun saya sering dibandingkan dengannya. Saya memang kurang PD dan malu tampil di muka umum, bahkan untuk memperagakan aksi suatu minuman anak-anak yang memberi hadiah saat diperagakan. Bapak saya yang jarang sekali menegur saya itu malah dengan terang-terangan meminta saya untuk tampil setelah Fika. Saat itu, saya benar-benar tidak PD dan tetap duduk manis di tempat. 

Akhirnya Fika mendapat hadiah sementara saya tidak dan penyesalan baru datang sewaktu saya tiba di rumah. Fika juga selalu yang pertama tunjuk tangan kalau diminta beropini atau menyebutkan teori-teori. Saya selalu jadi terbelakang kalau masalah berpendapat. Baru mau mengacung kalau merasa sudah banyak yang mendahului. Cara dia menyampaikan pendapat pun selalu lugas, tegas, dan jelas. Sementara saya kadang terbata-bata karena masih canggung dan malu.

Kami baru duduk sebangku saat kelas 6 SD karena di kelas-kelas sebelumnya aturan bangku selalu dirolling sesuai permintaan guru. Sewaktu kelas 6 itulah persaingan antara saya dan dia sangat terasa. Wali kelas saya suka memberi peringkat kepada siswa saat menyelesaikan soal matematika. Saya dan Fika sering mengerjakan soal bersama dan berjuang mencari urutan tercepat. Hal itu tidak membuat kami saling berebut urutan. Malah, kami saling bergantian memberi urutan. Jika hari ini saya yang diberi urutan 1 maka esoknya saya mempersilakan dia. Hal terpenting adalah kami berdua yang memegang urutan teratas.

Saya mengenal dia sebagai teman yang baik, lembut, dan penyayang. Selain masalah kesehatan yang membuat dia kadang tidak masuk sekolah, dia sempurna. Wajar jika pada akhir sekolah dasar banyak teman sekelas yang menunjukkan perasaannya. Saya yang tahu dia tidak menyukai teman lelaki itu pun sering tampil sebagai bodyguard yang menyampaikan untuk tidak mengganggunya lagi.

Jam istirahat selalu kami habiskan dengan bercanda, bermain bekel, bertukar kertas binder, gosip, menulis biodata di kertas cantik meskipun sudah ada, dan jajan. Oh iya, kami punya hobi yang jarang sekali dimiliki orang lain: berlomba menulis nama diikuti kata “cantik” di sampul dan isi buku. Saya akan menulis “Fika cantik” di bagian-bagian bukunya dan dia mencarinya kemudian dia akan menulis hal serupa di buku saya. Itu bukan kesengajaan tapi keinginan masing-masing untuk saling mengganggu dengan pujian. Kami tidak suka disebut cantik maka itu adalah cara ampuh untuk mengganggu. Saya akan sangat puas dan bahagia jika berhasil menulis "Fika cantik" tanpa sepengetahuan dia yang berarti tak akan ada balasan serupa di buku saya. Oh iya, dulu saya mengeja namanya dengan Pika bukan Fika. Pika, Pikachu... :p

Kisah pertemanan kami pun pernah diwarnai perselisihan yang disebabkan kesalahpahaman. Tetapi tidak pernah berlangsung lama seperti jika berselisih dengan teman yang lain. Hal yang terberat saat kelulusan adalah berpisah. Dia lanjut di sekolah yang jauh dan tak terjangkau dari tempat tinggal saya. Sewaktu berseragam putih biru kami masih sering teleponan, saling bertukar kabar dan bercerita kesibukan di sekolah. 

Tiga tahun kami berpisah, tidak pernah ada yang menyangka kalau kami kembali bertemu di SMA yang sama. Dia kembali ke rumahnya sewaktu SD dan bersekolah di SMA yang terdekat yang juga SMA yang ditunjukkan orangtua saya. Sejujurnya SMA itu bukanlah SMA tujuan saya. Tapi hanya sekolah itu yang direstui orang tua saya dan satu-satunya tempat saya mendaftar dan lulus. Saya baru benar-benar bahagia sewaktu bertukar kabar lewat telepon jika dia pun bersekolah di sana. 


Saya bertemu sahabat kecil saya!

Foto Nur Afiqah Syam.
No caption needed-lah!

Waktu berjalan, manusia tumbuh dan berkembang. Awal bertemu di SMA kami sempat berkeliling melihat kondisi sekolah dan setelah masuk, saya sedih karena tidak sekelas. Dia menemukan teman dekat pun saya. Kelas 2 dan 3 kami bersama tapi tidak lagi bisa seakrab dulu. Saya sempat merasa sedih karena ekspektasi saya tidak lagi bisa terwujud dalam bentuk realita. Kami berdua berubah, pemikiran dan segalanya. Dia tetap cantik dan baik seperti dahulu. Pun hingga kini. Saya tidak lagi bisa mengikuti gaya dan penampilannya. Tidak akan pernah bisa menyamai. Kami tetap berteman baik meski tidak lagi sedekat dahulu. Bagi saya dia tetap baik, sahabat masa kecil saya yang menjadi pelangi di hari-hari penuh tawa, tangis, dan bahagia. Kini dia telah menemukan lelaki terbaik di antara yang baik yang berjanji menemaninya hingga hari-hari tuanya. Betapa beruntung lelaki itu. Semoga mereka bisa bahagia di bawah sunnah Nabi dan agama Allah sampai hanya maut yang memisahkan. Barakallahu!***

Foto Nur Afiqah Syam.
Semoga SAMAWA :)

Gambar: Fika's wedding photographer

15/04/2018 sekitar 11 pm waktu Makassar

0 komentar