Dia Lupa Hari Ulang Tahunku, Dia Tak Lagi Peduli!
Tanggal kelahiran orang terdekat akan selalu terekam sempurna di dalam kepala. Bahkan jauh sebelum memasuki bulan kelahirannya kadang-kadang kita sudah memikirkan rencana apa untuk membahagiakannya di hari istimewa itu. Tidak jarang skenario ala-ala jahat yang berujung kue dan kado kejutan akhirnya jadi konspirasi yang dipersiapkan. Setelahnya akan ada tangis haru dan bahagia di samping makian kesal disertai pelukan dan tawa-tawa lepas serta doa yang riuh bergemuruh menembus langit.
Gambaran itu lekat dengan momen perayaan ulang
tahun sahabat saat saya masih berseragam putih merah hingga putih abu-abu,
sesederhana itu dengan kebahagiaan yang berlapis-lapis. Sekarang, potret
perayaan ulang tahun telah lebih meriah daripada sekadar ucapan. Tidak perlu
pakai kejutan marah-marah tapi langsung merayakan di hotel atau resto dengan
dekorasi setara acara pertunangan atau ‘shower-shower-an’.
Lala punya hari |
Pernah pula perasaan gembira tiada tara sangat kental saat
saya pulang dari rumah sakit sehabis menjenguk teman, lalu menemukan
wajah-wajah semringah yang langsung menyanyikan lagu “selamat ulang tahun” di
ruang tamu rumah saya. Tart warna-warni dengan lilin berbentuk angka usia saya
mengembuskan asap setelah saya meniup sumbu yang menyala. Bukan hanya sahabat SMP
saya yang datang, hadir pula teman-teman dekat saya di SMA. Speechless dan bahagia! Tidak sedikit
pun melintas di pikiran saya tentang kejutan itu, meskipun saat masih di rumah
sakit saya terus diberondong pertanyaan “sudah di rumah”, “kapan pulang”, “cepat
pulang” melalui SMS oleh dua orang dari mereka.
Saya lupa, apakah semasa kuliah kami masih
rutin menggelar perayaan kecil-kecilan itu. Tapi masih jelas di kepala saya
bahwa saya masih sering berjuang menunggu jarum panjang lewat 12 sementara
jarum pendeknya masih tetap di angka itu untuk jadi yang pertama mengucapkan
selamat ulang tahun. Beberapa jam sebelumnya, saya telah mengonsep ucapan
paling manis yang kalau saya ingat sekarang biasa-biasa saja beserta doa di
ujung SMS sampai karakter hampir habis. Kadang-kadang, saya juga menyalin
kutipan selamat ulang tahun dari majalah.
Di kampus, saya mengikuti kajian bersama enam
orang teman yang pada akhirnya mengerucut menjadi empat orang. Di awal sebagai
mahasiswa baru, saat tarbiyah sempat dibahas tentang perilaku tasyabbuh yang
istilahnya lebih dulu saya dengar dari teman yang lain. Saya memahami bahwa
istilah itu bermakna perilaku umat muslim yang mengikuti tradisi dan perilaku dari umat non-islam seperti turut merayakan tahun baru, ulang tahun dan lain-lain. Sejak saat itu, kami berempat sepakat untuk
berhenti mengucapkan selamat ulang tahun lebih-lebih terlibat merayakannya.
Berat bagi saya untuk tidak mengucapkan selamat ulang tahun kepada sahabat
apalagi sejak dulu kami punya kebiasaan saling menyelamati dan merayakan. Untuk
langsung berhenti mengucapkannya ada perasaan yang mengganjal: khawatir timbul kesan
melupakan. Apalagi kami benar-benar sudah jarang bertemu dan momen ulang tahun
selalu jadi ajang reuni.
Di kelas juga dimulai kebiasaan memberi kue tart
kepada teman yang sedang berulang tahun pada semester empat atau lima saat itu.
Itu adalah hal terberat lainnya, turut menyumbang, menyanyi bersama, tepuk
tangan, mengucap selamat berarti mendukung perayaan. Berat sekali
menghindarinya, saat itu dengan berat hati saya dan teman-teman
tarbiyah yang sekelas tetap berada dalam lingkar perayaan. Wajah kami ada di
semua foto momen itu. Dalam hati kami berduka untuk diri kami sendiri walau
tampak penuh sukacita. Beruntung, saya dan teman-teman dekat (Annis, Wia,
Hasra, Isna, dan Fitri) tidak sekalipun dibelikan kue tart. Terdengar kasihan,
tapi bagi saya ini adalah cara Allah menghindarkan kami dari kebiasaan itu.
Ada masa saya jadi gandrung menyelamati teman-teman yang saya kenal baik di Facebook. Saya juga selalu jadi yang pertama menulis ucapan ulang tahun diikuti singkatan andalan WUATB (wish U all the best) beserta emotikon kue, kado, dan orang bertopi kerucut di grup LINE setelah mendapat notifikasi ulang tahun dari Facebook. Saat itu saya merasa senang melakukannya dan puas mengetahui saya yang pertama seakan jadi yang pertama itu istimewa dan dapat hadiah. Hadiah ucapan terima kasih dari yang berhari lahir.
Hingga tiba suatu hari, sahabat baik saya
semasa kuliah mempertanyakan sikap saya yang sudah lama dipantaunya. “Kok jadi rajin banget ngasih ucapan selamat
ultah? Di FB juga. Apakah kita sudah berbeda prinsip tentang ini?” Tulisnya
lewat pesan LINE. Lama saya membalas pesan itu, sampai menunggu sehari setelah
merenung masa kami sama-sama mendapatkan pengetahuan tentang ini. Dia membalas,
“ndak perlu ji jadi yang pertama kasih
ucapan ke saya. Saya paham kok. Cukup doakan saja.” Dia menyindir saya yang telah mengirim pesan
di suatu malam untuk menyelamatinya yang dibalasnya saat ulang tahunnya telah
berlalu. Ah, sahabat baik saya itu menyadarkan saya, benar-benar mencongkel
sesuatu yang bersemayam di hati lalu membuat saya malu. Dulu, saya yang paling
bersikukuh mengajak dia kabur perayaan kelas, hanya karena merasa tidak enak
maka kami memutuskan ikut yang belakangan kami sadari salah. Terima kasih,
ukhtiku!
Saya berharap setelahnya, saya tidak lagi
mendustai hati saya. Berat sekali saat berada di lingkungan yang tidak memahami
itu dan beralasan toh ada lembaga dakwah kok yang mengadakan Milad. Saya mesti
jawab apa? Kadang, saya masih terjebak dalam kebiasaan itu dan setelahnya
curhat menyesal kepada sahabat saya itu. Dia hanya menguatkan saya agar
beristigfar. Ini bukan tentang sok suci dan munafik karena mungkin saya masih
terlihat hadir dalam perayaan serupa. Tapi sekali melanggar sesuatu yang telah
diyakini dengan beragam alasan, ke depannya akan sulit untuk taat lagi.
Kita terlalu takut dianggap tidak peduli,
terlalu khawatir dianggap melupakan, terlalu cemas untuk dilupakan dan
diabaikan karena sebenarnya masih ada keinginan besar dalam diri kita untuk diselamati
dan didoakan secara terang-terangan pada hari ulang tahun kita. Saya kadang
masih merasakannya, apalagi kepada sahabat yang pada harinya mengunggah
hadiah-hadiah dan doa-doa yang orang sekitarnya berikan. Seakan mengode secara
halus, “mana tuh yang ngaku sahabat saya kok ngasih doa dan ucapan selamat saja
ndak? Dia sudah lupa!”
*Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan)
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/485-doakanlah-saudaramu-di-saat-dia-tidak-mengetahuinya-2.html
0 komentar