Pelajaran Berharga dari 'Rentang Kisah'
Suatu malam saat lagi kurang kerjaan
aku iseng scroll-scroll timeline Twitter
dan melihat sebuah promosi buku baru dari Gagasmedia. Banyak sekali yang me-retweet dan me-liked. Karena dihajar rasa penasaran yang tinggi, aku langsung
melihat gambar buku baru itu dengan detil. Biasa saja sih. Eh rupanya,
pengarangnya juga ikut di mention di
situ. Maka singgahlah saya di akun sang penulis. Perempuan muda berhijab yang
cantik sepertinya lagi bermukim di Eropa. Aku melihat-lihat cuitan teratasnya
dan kembali ke aktivitas bertwitter riaku. Sudah sampai di situ saja batas
kepoku karena melihat tidak ada yang menarikku cukup dalam.
Aku baru sadar kalau buku baru berjudul
Rentang Kisah itu tengah populer
dibaca Millenials tepat saat seorang
kurir mengantar paket buku ke rumahku. Adikku yang literally tidak terlalu minat baca itu yang memesannya. OMG!!! Aku
makin babak belur dihajar rasa penasaran. Bertanya-tanya sebagus apa bukunya
dan intrik apa yang disajikan penulisnya, Gita Savitri Devi yang namanya juga
kujumpai di brand fashion online
langgananku pada label mereknya—sepertinya sih tengah bekerja sama, sampai
adikku memesan tiga sekaligus.
Di malam yang sama, seorang teman
adikku datang bermaksud menjemput buku pesanannya. Oh rupanya pesannya
rame-rame. Kalau saya jadi adikku mungkin aku nggak bakal pesan karena temanku
udah pesan. Kan, bisa gantian bacanya. Tapi katanya buku itu bagus, dipesan pre-order jadi sudah dapat tanda tangan
penulis sekaligus. Yayaya.
Herannya, adikku belum baca sudah
menebak saja kalau itu bagus dari pendapat temannya yang kurang suka baca buku
juga. Beberapa jam setelah itu, aku login
ke Instagram dan mendapati postingan temanku tentang photo competition yang mewajibkan peserta me-repost foto yang isinya sebenarnya lebih ke promosi. Di foto itu
ada buku Rentang Kisah dan tote bag senada. Di hari yang sama, aku
seperti de javu Rentang Kisah. Aku
nggak sanggup, sudah bonyok sama rasa penasaran.
Rentang Kisah milik adikku |
Seperti biasa saat membaca buku, aku
pasti baca sinopsis buku dan data penulisnya. Itu membuat Aku makin kukuh buat
tahu seluruh isi bukunya. Aku selesai membacanya di akhir September, dua hari
sebelum Oktober menyambut. It’s really
worth for having that book. Dari 198
halaman buku itu aku dapat banyak banget vitamin hidup dan hal-hal yang
menguatkanku di saat aku memang lagi galau-galaunya.
Keluarga
adalah orang yang paling berharga
Personally, aku kerap berselisih paham dengan
adik perempuanku. Perbedaan pendapat dan cara pandang membuat kami sering tidak
akur. Di puncak pertengkaran, sering aku mendapati diriku membencinya dengan
sangat karena menganggapnya tidak menghargaiku sebagai kakak. Di saat seperti
itu aku berpikir mungkin dia memang tidak sayang padaku selayaknya dia
memperlakukan teman-temannya begitu istimewa. Sampai diantar jemput kalau mau
pergi ke suatu tempat dan kalo lagi banyak uang meneraktir mereka. Semua
terbantahkan saat aku dilanda masalah. Meskipun kami sedang mengibarkan perang
dingin toh dia tiba-tiba bertanya kepadaku. Membantu dengan cara dia.
Di saat aku nggak mungkin meminta
bantuan temanku karena mereka juga sibuk dengan urusan mereka. Keluarga bakal
tetap ada mengulurkan tangannya, sesungkan apapun untuk minta tolong mereka
pasti bakal mengerti. Istilahnya keluarga itu adalah tempat kembali saat kita
pulang dari perantauan dan dari beragam resah dan gelisah keluarga menyambut
kita apa adanya. Meskipun seandainya tidak sukses dan senang saat kembali,
keluarga akan tetap menerima dengan tangan terbuka, menyambut dengan penuh rindu
dan kehangatan.
Tebus
Passionmu dengan Kerja Keras
Mengarungi tiap kalimat yang Gita
tuliskan tentang pengalamannya pas lulus SMA sampai masuk kuliah yang bikin dia
galau memilih jurusan dan universitas turut membawa ingatanku ke masa yang
sama. Bedanya di masa itu, kegalauan yang kurasakan cepat banget berakhir.
Tuntas setelah aku mengisi form
pilihan jurusan dan Universitas jalur undangan dan dinyatakan lulus di jurusan
yang aku pilih pertama. Jurusan yang beda banget dengan apa yang aku pikirkan
di awal tapi tetap dijalani sampai lulus demi orang tua.
Kegalauanku malah datang pas lulus.
Saat aku kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginanku dan
gelar yang aku peroleh. Rasa penyesalanku memuncak saat itu. Seakan aku ingin
kembali ke masa saat aku memilih jurusan. Menelisik kembali alasan aku mengubah
pilihanku yang awalnya sudah benar-benar sesuai passion. Cuma gara-gara takut bersaing karena passing grade dan peminat yang tinggi aku mengorbankannya.
Ujung-ujungnya malah membuahkan sesal.
Saat membaca Rentang Kisah aku mengomel
sendiri merutuki buku itu yang hadir terlambat. Andai aku membacanya pas
masa-masa akan lulus SMA, pastilah aku akan sekuat tenaga bersaing demi masuk
jurusan idamanku. Gita secara tidak langsung menyuntikkan semangat dan motivasi
kepada pembaca bahwa nothing is
impossible as long as you learn and work hard. Dia aja yang mengaku malas
pas SMA bisa banget diterima di jurusan Kimia Freie Universitaet yang termasuk
universitas ternama di Jerman tentunya setelah mengubah kebiasaan belajarnya
dan benar-benar fokus pada tujuannya.
Being
A good Muslim Agent
Aku sih belum pernah merasakan
bagaimana kehidupan di luar negeri tapi dari cerita Gita aku mendapat gambaran
kalau kehidupan di negeri orang itu
keras. Apalagi sebagai seorang muslim, menjadi minoritas tantangannya besar. Tetap
menjadi muslim yang taat sepertinya juga bakal terasa susah saat iman kita
dangkal. Jadi dapat penguatan banget kalau ingin hidup jauh dari Indonesia
mesti menstabilkan iman sehingga kelak saat tinggal di sana bisa tetap taat dan
tidak mudah goyah. Aku juga salut dengan kisah Gita yang bisa mendapat hidayah
untuk mendalami islam dan berhijab di Jerman. Bahkan dari cerita Gita, sebagai
pembaca aku berkesimpulan bahwa Gita sudah menjadi agen muslim yang baik selama
di Jerman.
Menjadi
Smart Millenials
Orang yang lahir dari tahun 80an - 90an
saat ini lebih akrab disebut Milllenials atau generasi Y. Generasi yang sudah
akrab banget dengan gawai di tangan ke mana pun mereka berpijak. Faktor itu
juga yang membuat millenials kalau ada apa-apa dipermudah dengan googling atau bertanya ke mesin pencari
Google. Tapi tak sedikit juga dari millenials yang malas mencari tahu
apa-sebab-akibat dari sesuatu. Maunya disuapi aja, lihat sesuatu di Instagram
atau akun media sosial orang langsung ditanyakan. Padahal pertanyaannya itu tidak
berbobot. Bisa dicari sendiri atau dipikirkan mengapa. Mungkin mereka sudah
mencari di Google tapi tidak menemukannya, akibat dimanja Google membuat mereka
menjadi malas berpikir dan lebih memilih bertanya langsung. Gita menulis opininya di blog kemudian turut dimasukkan di Rentang Kisah tentang betapa perlunya jadi millenials cerdas, malas mikir, dan maunya yang serba instan saja. Lucu rasanya mengetahui ada netter yang bertanya kepada Gita bagaimana bisa pintar dan berpikir kritis.
Karakter
Bukan Alasan untuk Tidak Maju
Beberapa kesamaan yang tak sengaja
kutemukan di diri Gitasav lewat apa yang ditulis dan dicantumkannya membuatku
semangat. Gitasav itu orangnya introvert tipe ISTJ, tipe kepribadian MBTI yang
terbilang langka. Intinya dia introvert dan dari ceritanya dia asli
introvertnya. Menariknya, dia introvert yang berkarya dengan show up jarang banget yang bisa seperti
itu. Membuat vlog yang kontennya keren dan menarik apalagi masuk dalam daftar
vlogger yang menginspirasi karena berupaya untuk melakukan gerak perubahan. So yah, sebagai introvert bukan berarti anti-sosial dan tidak bisa bergerak maju selayaknya ekstrovert yang supel. Kita bisa kalau kita mau berusaha sebab peluang nggak memilih siapa kamu tapi apa usahamu.
Ditulis di awal Oktober dan baru berkesempatan menerbitkan di awal November.
0 komentar