Gelegar Petir yang Menyambar
Menjelang akhir Oktober
2015
Saya baru saja menamatkan membaca
seri ketiga dari kelima seri Supernova, Petir. Masih tentang Dhimas, Ruben, Gio
dalam satu rangkaian cerita singkat sebagai prolog lalu hadirlah tokoh dan
kehidupan lainnya. Elektra, anak tukang listrik yang hobi memandangi
pertunjukan petir di langit. Ditinggal pergi Dedinya (Ayah) untuk
selama-lamanya dan hidup berdua dengan Watti, kakak satu-satunya yang tak lama
kemudian memutuskan menikah dan hidup di Papua bersama seorang dokter. Elektra,
gadis pengangguran yang tertipu melamar sebagai asdos universitas ilmu gaib
yang membawanya mengenal lebih dekat Ibu Sati. Perkenalan dan keakrabannya
menggiring Elektra menyadari bahwa dirinya memiliki kekuatan tersembunyi yang
langka, gadis listrik. Melalui meditasi dan arahan Bu Sati akhirnya ia mampu
mengontrol kemampuan listriknya dan menyalurkannya melalui terapi listrik di
rumahnya yang telah berubah menjadi ladang bisnis bersama teman-teman barunya,
Kwoy, Mpret, Miun, dan Mas Yono. Itu juga setelah dia berkenalan dengan warnet
dan kecanduan internet.
Awal-awal membaca, saya menangkap
beberapa kesamaan yang menjadi beban hidup Elektra, pemeran utama dalam seri
ini, yang membuatku kemudian dekat dan sedikit baper. Penulisnya, Dee Lestari,
bercerita sangat faktual dan lekat sekali dengan kehidupan sosial masyarakat
dan apa yang menjadi masalah sosial—booming.
Masalah utama yang dialami seorang freshgraduate
yang kurang dari setahun lulus kuliah dan bingung akan bagaimana setelah
beberapa langkah yang ditempuhnya belum berhasil untuk menaiki anak tangga.
Jadinya malah tinggal di rumah, melakukan kebiasaan sebagaimana makhluk hidup
bertahan hidup, termasuk tidur siang dan nonton TV. Ini sebenarnya bukan sebuah
review novel sebab reviewnya telah saya tulis di GR, tapi tentang
bagaimana saya merefleksi sebuah bacaan.
Saat Elektra berusaha berhemat
dan irit dengan hanya makan telur dan mi instan setiap hari. Mengirit uang yang
menjadi harta karunnya selama ini. Hal itu benar-benar terjadi di masyarakat.
Nyata. Status pengangguran membuat orang berpikir berkali-kali untuk
mengeluarkan uang membeli sesuatu atau pergi ke suatu tempat jika tidak
mendesak amat. Dalam keadaan seperti itu, barulah akan terasa sekali betapa
berharganya lembaran uang yang dulu ‘dibuang-buang’ dan betapa menyesakkannya
menjadi fakir tanpa perhatian.
Kalau ada salah satu opsi untuk
menjadi Elektra, saya tentu tidak mau. Tapi jika ada semacam cara untuk
merenggut atau menyerap kekuatan seorang tokoh dari bacaan, maka saya memilih
untuk melakukannya. Dalam Petir, Watti ini sebenarnya peduli dengan Elektra,
jadi dia terus memancingnya dengan cara positif dan negatif agar adiknya ini
bangkit. Tetapi baginya itu sebuah gangguan yang malah membuat risih. Ia seakan
dihujat karena statusnya yang pengangguran dan terkesan tidak ada usaha untuk
mau mengubahnya. Padahal ia berusaha tanpa sepengetahuan kakaknya itu. Ini sama
halnya yang terjadi di lingkungan masyarakat, orang-orang hanya bisa menghujat
dan menjudge tanpa tahu usaha apa
yang sedang dilakukan. Sayangnya, yang dihujat menjadi peduli terhadapnya dan
berusaha mengubah sikap dan image
agar dinilai lebih baik. Padahal apa gunanya? Hal itu tidak menambah nilai
apapun, bahkan tidak mendatangkan pekerjaan. Elektra cuek saja dengan penilaian
Kakaknya dan tidak terpengaruh. Ia malah fokus pada peningkatan kualitas
dirinya dan ‘penggalian’ dirinya hingga ia menemukan sumber kekuatan yang tidak
dimiliki orang lain lalu memanfaatkan sebagai sebuah peluang. Saya suka quote ini:
“Dan kalau kamu sadar bahwa kita sepenuhnya bercermin pada alam, kamu bisa lebih mengenal diri kamu sendiri. Setiap orang punya potensi dalam dirinya, Elektra. Setiap orang telah memilih peran uniknya masing-masing sebelum mereka terlahirkan ke dunia. Tapi, setiap orang dibuat lupa terlebih dulu. Itulah rahasia besar hidup. Nah, alangkah indahnya kalau kita bisa mengingat pilihan kita secepat mungkin, lalu hidup bagai hujan. Turun, menguap, ada.“
Setiap orang terlahir dengan
potensi, hanya saja waktu dan usaha yang mengungkapnya. Orang yang berhasil di
usia mudanya, memilih untuk menggali dan mencari potensinya dengan giat dan keras
seakan berburu dengan waktu. Jadi, jika mungkin belum menemukan potensi
terbaik, mungkin usaha menggali itu belum keras. Peran unik tiap-tiap orang
ada, jika mungkin bukan sebagai seorang Dokter mungkin saja sebagai Penulis?!
Mungkin saja, kegagalan ditemui disetiap usaha karena ternyata apa yang
diusahakan itu bukanlah jalan atau peran sesungguhnya yang diberikan! Maka
Allah meminta untuk mencari dimana ‘itu’ berada. Saya menyadari beberapa hal
itu saat membaca Petir. Meskipun lebih mudah untuk menuliskan imajinasi, tapi
keadaan seperti itu memang banyak terjadi. Saya ingin sekali menyerap
ketidakpedulian Elektra akan hal-hal yang tidak sepatutnya dan prinsip
kebaikannya.
“…,bahwa akan tiba saatnya orang akan berhenti menilaimu dari wujud fisik, melainkan dari apa yang kau lakukan.”
Itu juga
bagian favorit saya, ada lagi tetapi saya lupa di halaman berapa. Banyak yang
bilang susah mewujudkan passion atau mendapatkan
pekerjaan dengan tampilan diri yang ‘ini dan itu’! Bahkan katanya, beberapa tempat
kerja menilai dari tampilan fisik, saya BENCI bagian itu! Hargai personal style orang, termasuk yang
tidak pasaran dan tidak terbilang gaul (*mendadak bingung gaul itu seperti apa?*).
I think it is relative! Tiba giliran
sukses dan berhasil setelah sekian kali berusaha, akan tiba pula saat dimana
orang akan mengakui tanpa perlu meminta diakui dan saya harap bisa menanti
datangnya masa itu (*bukan yang diakui*). Jika tanpa pengakuan orang, it’s okay… Itu bukan fokus utama yang
dinantikan dan diimpikan dari hasil proses-proses yang diusahakan, tetapi
keberhasilan dari sebuah usaha dan kepuasan yang muncul setelahnya. Saya
disadarkan (lagi) bahwa yang paling penting adalah melakukan yang terbaik,
mewujudkan tujuan hidup dan cita-cita tanpa perlu memikirkan bagaimana orang
menilai dari luar. Membanding-bandingkan secara fisik dengan orang lain itu
bukan hal yang terlalu perlu dipedulikan.
Oh ya tentu saja penulis novel Petir tidak pernah berharap bahwa novelnya yang bergenre fiksi ilmiah itu akan membuat orang menjadi baper. bahkan melankolis seperti tulisanku. Tapi terkadang, kesamaan cerita dan perasaan yang natural dari seorang tokoh dalam novel membuat pembacanya malah mudah baper. Ya, justru itu kan yang membuat novel romance remaja menjadi best seller? Karena pembelinya adalah remaja yang lagi puber dan mengalami masa cinta-cintaan dan transisi perasaan seperti yang biasa ditampilkan disinopsisnya dengan quote cinta. Semoga curref ini tidak menodai karya Mbak Dee, hoho. ***
Image source: Tumblr
@NN@ - @My Sweetest Palace
Baper dan antusias
0 komentar