Selasa yang Rumit, Selasa yang di Rindu

Hal “menakjubkan” yang saat-saat pertama saya juga temui adalah sifat rajin yang dimiliki para teman perempuan saya ketika di dapur. Bahan-bahan makanan itu bisa diibaratkan topik cerita yang  akan segera habis diceritakan yang dalam penceritaannya akan menemui keseruan dan kehebohan ala gadis tengah bergosip tentang sesuatu yang lagi update. Saya kira pengalaman memasak saya sewaktu acara organisasi yang ditujukan untuk seratus orang itu cukup. Ternyata tidak lebih baik dari pengalaman dan kebiasaan memasak mereka *tutup muka*./-\ Mereka tahu bagaimana mesti memasak secara ‘baik dan benar’ versi mereka tanpa gugup bertindak seperti biasanya saya menemukan perempuan di dapur bersama saya. Saya kalah dalam meracik bumbu dan menambah cita rasa. Kalah telaten. Saya menyadari kelemahan itu dan semestinya belajar dari pengalaman ini. *Coba saja di tes! /-\

Karena saya merasa tertinggal dalam beberapa hal ketika di dapur. Maka saya pun berusaha rajin cuci piring dan mencuri start memasak saat malam hari selepas Maghrib. Waktu berjalan, terasa bahwa beberapa perempuan mulai mendominasi dapur. Apalagi saat tugas suci dari tetua (bikin RPP, bahan ajar, dll.)mulai menumpuk semakin berkuranglah koki dapur yang awalnya utuh 6 orang menjadi 2 sampai 3 orang saja. Tetapi tetap menyadari bahwa kalau tidak memasak akan mencuci piring. Tetapi terlihat bahwa kebiasaan ‘siapa mau dia kerja’ mungkin telah mendzalimi beberapa orang dengan hanya orang itu saja yang masak dan cuci piring. Lalu dicetuskanlah piket  berpasangan perhari. Setiap perempuan memegang hari kuasa berpiket bersama partner lelaki.

Awalnya saya mendapat jadwal pikaet di hari jumat. Hari berkah yang sama dengan saat saya berada di kost :D. Piket saya bersama Firman. Teman yang paling jarang saya ajak bercakap-cakap bahkan saat kami memilki jadwal bersama. Toh, memang tidak ada hal penting yang patut dibicarakan. Pernah saya ditegur habis-habisan dengan teman lainnya karena saya tidak menjalankan piket atau bagian piket Firman yang kala itu sedang berada di Makassar. Sebenarnya alur piket sudah ditentukan. Lelaki bertanggungjawab atas kebersihan pekarangan luar yaitu menyapu halaman, membereskan dedaunan gugur dan sampah, menyiram pekarangan di tiap pagi dan sore. 

Perempuan bertanggungjawab atas kebersihan bagian dalam rumah yaitu menyapu, cuci piring,  memasak, membuat teh, dan belanja ke pasar. Terlihat jelas banget kan, betapa kompleksnya pekerjaan para perempuan yang bersendiri memegang kendali piket di posko merah tua. Sebenarnya setiap orang bisa saja membantu setiap hari, namun yang terjadi adalah beberapa orang tidak bergerak jika bukan hari piketnya. Jadinya yah saya juga bersikap demikian dan akhirnya setiap orang bertanggungjawab penuh hanya dibantu partner. Tidak lagi saya membantu cuci piring, motong dan ngupas bawang dll. Ratu sehari (piketer) idealnya bangun jam 5 subuh lalu menyapu dan buat teh. Biasanya kalo ada nasi semalam, mesti dibuat nasi goreng dan yang piket sebelumnya memang sudah memasak ekstra  diakhir malam.

Orang yang paling menuntut saya saat teman piket jumat saya pergi dan saya tidak menggantikan dia menyapu pekarangan itu akhirnya malah jadi partner saya di hari selasa. Saya meminta pindah hari sebab tidak bisa menjalankan amanah dengan baik di hari jumat karena bertepatan dengan jadwal ngajar pagi sampai siangnya. Orang  itu malah ngotot dengan cara halus yang tetap saja terdengar menolak mentah-mentah bersama saya di hari selasa. Akunya partnernya rajin dan biasa nge-ganti dia piket kalau tidak sempat yang mungkin saja bila bersama saya itu tidak bakal terjadi dengan kata lain saya ‘pemalas’. *Omegooood* 

Saya tentu saja tidak ingin kalah dan berusaha mencari hari yang mungkin lowong, tetapi tetap saja hanya hari selasa dan lagi dia menolak tetapi pada akhirnya harus menerima dengan paksa. Kebersamaan itu awalnya berjalan dingin. Sama dinginnya dengan ketika berpartner di hari jumat. Bedanya Partner saya bukan tipe orang yang sama dengan sebelumnya. Saya tetap saja lebih banyak diam dan tidak menggubris. *masih sakit hati ceritanya dengan penolakan*.


Piket di hari selasa itu lebih berat daripada hari lain. Mungkin bagi setiap orang yang piket diharinya bakal bilang hal yang sama dengan hari mereka. Hari selasa hampir semua teman memliki jadwal ngajar padat sampai jam pulang sekolah. Jadi tidak ada yang pulang cepat untuk sekadar bantu motong sayur atau bumbu. Pas mereka pulang yang mungkin biasanya leyeh-leyeh dulu tapi kalau selasa, pulang langsung makan. Belum lagi semua persediaan bahan selalu habis di hari selasa. Kalau diibaratkan cuma hidup berdua suami atau keluarga mungkin selasa itu belanja bulanan posko setiap pekannya. Barang bawaan dari pasar sampai penuh di motor. Mesti rekues kantong plastik merah besar untuk memuat semua bumbu, sayuran, lauk, sabun cuci piring, buah, daaaaaaaan yang paling banyak ambil tempat yaitu beras sekarung. Partner saya mungkin ekstra job dibandingkan yang lainnya.

Pertemanan kami membaik seiring berjalannya waktu. Kami mulai bercakap ringan hingga perlahan saya melupakan kejadian tempo hari dan mengambil hikmahnya. Kami mulai bekerja sama di hari piket dan saya adalah orang yang paling beruntung mendapatkan dia sebagai partner piket sebab diantara semua lelaki di rumah merah tua hanya dia yang pandai memasak dan membantu partner piketnya memasak bahkan porsi tugas masaknya full. Dia yang membersihkan dan memotong ikan, memasak dan menggorengnya, juga memberi masukan bumbu-bumbunya. Hal yang tidak akan dijumpai pada lelaki lain di rumah merah tua. 

Saya mungkin pantas mendapatkannya mengingat jam terbang yang masih kurang :D Bahkan kadang bikin saya malu karena dia lebih andal dari saya. Kenapa juga mesti ada kejadian yang benar-benar selalu memojokkan saya saat masak padahal tidak pernah terjadi di rumah saya v_v.  Bila disuruh memilih lebih capek memasak atau cuci piring pasti saya akan sontak menjawab cuci piring. Waktu yang dihabiskan lebih sedikit tapi tenaga lebih banyak. Bayangkan mencuci piring orang serumah yang hampir lima belasan sendirian, bukan hanya piring dan gelasnya tapi juga peralatan masaknya. Nah, mesti diakali dengan dicuci sedikit-sedikit selepas dipakai. Tapi tetap saja melelahkan karena memang jumlahnya banyak!

Selepas cuci piring malam itu lega banget rasanya. Akhirnya tugas piket berlalu lagi satu dan pertemuan dihari selanjutnya itu terasa banget loh cepatnya. Tidur barang lima belas menit itu terasa banget nyamannya. Terbayang kan bagaimana kompleksnya  pekerjaan wanita di rumah merah tua. Tetapi tidak ada yang mengeluh sebab semua merasakan hal yang sama.  Kali ini selalu rindu berjumpa dengan khasnya pekerjaan di hari selasa. 

Hari selasa yang antara mau dan tidak mau harus dijalani. Hari yang berat, melelahkan, membuat ingin pergi dan berlalu secepatnya tetapi pada akhirnya menjadi hari yang paling dikenang dan dirindukan. Hanya hari selasa di rumah merah tua Sinjai kota saja bersama si partner, saya selalu ke pasar membeli bahan makanan yang ‘melimpah’ dari hari lain. Hanya di selasa itu saya bekerja full di dapur sebagai perempuan (memasak dan menyapu) intensif. Hanya di selasa itu, saya akhirnya bisa bekerja sama dengan lelaki. Hanya di selasa itu saya selalu was-was dan antusias. Berharap masakan saya enak dan disukai. Meski pernah terjadi nasi goreng keasinan, telur dadar keasinan, teh kemanisan, teh berwarna kuning bukan merah kecoklatan, mi soto rasa kaldu, mi berasa hambar dan semua itu membekas menjadi pelajaran semoga nanti tidak lagi begitu. Menjadi pelajaran saat itu memahami selera masing-masing. Selasa yang kukenang dan kurindu selalu…. Selasa di rumah merah tua Sinjai Utara.*



Image sources: keepcalmomatic

@NN@ - @sweet visited place
@Sinjai Utara- Agustus-November 2014

0 komentar