Awan-awan di langit berarakan membentuk gumpalan indah. Dia
masih terpaku memperhatikannya dan menawariku saling menebak bentuk awan itu. setiap hari di taman kompleks ini, kami janji untuk bertemu, sekedar
cerita, bergurau, dan saling berbagi. Aku menemukan sahabat.
“Dim, lihat deh, awan yang disana itu bentuknya mirip apa hayo?” Aku
menunjuk satu gumpalan awan.
“Hmm… apa yah, aku sih
liatnya lebih mirip kacang rebus… kacang… kacang… haha!”
“Huuu, liat deh awan yang berarak menuju awan yang kamu bilang mirip kacang itu, mereka membentuk
mimpiku.”
“Mimpimu? Itukan gitar!”
Dimas terlihat masih menerawang ke awan.
“Iya, aku, kan bermimpi
jadi penyanyi, hmm, kapan yah bisa membawakan laguku sambil memetik gitar di
hadapan para penonton?! Aku yakin suatu saat semua terwujud! Dim, kamu doakan
aku, yah!”
“Penyanyi? Kamu yakin?
Hahah, sulit dipercaya!” Dimas mengucapkannya dengan santai, masih dalam posisi
berbaring di rumput-rumput taman.
“Heh, kamu meragukanku?
Akan kubuktikan padamu kalo aku bisa!” Apa yang Dimas ucapkan tak sesuai harapanku,
kupikir dia akan mendukungku, ternyata dia malah meragukanku. Lalu kupandangi
kembali awan di langit dengan
memicingkan mata karena silau.
Aku masih berkutat
dengan buku-bukuku. Rasa kantuk menyerang begitu cepat padahal esok akan ujian. Aku masih terpikir dengan nada laguku, aku belum
menemukan kunci yang tepat untuk lirik baruku. Dua jam berlalu, aku membereskan
buku-bukuku, lalu selembar kertas terjatuh ke lantai. Kertas itu sejenis
panflet pengumuman yang biasa di tempel di mading sekolah, isinya
memberitahukan bahwa akan ada audisi menyanyi untuk umum dalam waktu dekat,
lalu tercantum tempat pendaftaran dan syarat-syaratnya. Seketika senyum bahagia
terlukis di wajahku. “Ini kesempatan emas,
sebuah hal berharga!” tetapi siapa yang menyelipkan kertas panflet dalam
bukuku?! Aku yakin ini bukan tanpa sengaja dan tentu saja aku tidak berpikir
bahwa itu Dimas.
Sepulang sekolah aku
mengajak Dimas menemaniku ke tempat pendaftaran audisi itu dimana sebelumnya
aku telah menjelaskan maksudku. Aku mendapati tempat audisi itu dipenuhi
pendaftar, aku bahkan harus mengantri entah pada antrian yang keberapa. Pendaftaran
itu sungguh melelahkan, aku baru tiba di rumah saat sore hari. Aku melihat Dimas
begitu kelelahan menemaniku menunggu dan mengantri.
Pekan depan aku akan
tampil di panggung penjurian. Aku berusaha mengintensifkan latihanku. Tak terasa,
kuku-kukuku terkikis karena seringnya memetik gitar. Mengetes lagu baruku dan
yah aku yakin mampu tampil di depan juri dengan baik.
“Fighting yah, Lili! Kau harus membuktikan kepada semuanya kalau
kamu bisa!” Ku pandangi wajah Dimas yang menyemangatiku, kurasakan ada arus
semangat yang mengalir ke seluruh tubuhku.
“Yah, inilah saatnya!”
Kemudian aku menjejakkan kaki masuk ke arena. Diluar
dugaan penontonnya banyak sekali. Aku tidak terbiasa dengan suasana panggung
yang dipenuhi penonton. Aku belum melatih mental pedeku. Juri menatapku memberi
tanda. Aku memulai memetik gitarku dan menyenandungkan laguku. Sayup-sayup
terdengar suara penonton yang mempertanyakan laguku. Ya, ini lagu ciptaanku
sendiri. Sayup kudengar pujian juga kritikan. Konsentrasiku mulai berkurang,
namun ku coba tetap fokus.
“Huuuhhh… lagunya jelekkk!!! Turuuun!!!” seseorang
yang duduk di bangku penonton berteriak tiba-tiba mengagetkanku. Seketika aku
termakan oleh kegugupanku dan berhenti memetik gitarku.
“Kenapa berhenti? Lanjutkan permainanmu? Apa yang kamu
ragukan?”
“…” Aku tak sanggup berkata.
“Kau ragu? Bagaimana jika nanti menghadapi penonton
yang banyak diluar sana, anak kecil? Meski kau anak kecil kau seharusnya lebih pede dari orang dewasa karena
kau belum mengerti lebih jauh.” Kata-kata juri itu menghentakkan jantungku. Seakan
arus semangatku berhenti mengalir. Air mata tak dapat dibendung. Semua ini
diluar persiapanku.
Dimas mengelus pundakku berusaha menenangkanku dan
membuatku tegar dengan semua ini. Aku tak yakin lagi dengan mimpiku. Ku tinggalkan
Dimas yang masih berada di dalam gedung penjurian tempat menungguku. Ku pandang
awan-awan di langit… sedikit sekali. Tak membentuk sesuatu
yang mampu ku tebak. Aku teringat kata-kata Dimas saat di taman. Aku membenamkan muka pada kedua telapak tanganku. Galau
menyergapku seketika.
J
Sepekan berlalu dari hari itu. aku sudah cukup
baikan sekarang. Niatku untuk mengubur mimpi-mimpiku batal. Audisi yang awalnya
entah siapa yang dengan sengaja memberitahukanku, bukanlah satu-satunya jalan
yang mampu mewujudkan mimpiku. Aku percaya ada banyak jalan yang digariskan
Tuhan untuk ku lalui. Semua indah pada waktunya.
“Sabar, Li! Tetap semangat yah! Aku berada di belakangmu
sekarang! Aku mendukungmu! Lihat awan disana, kau tahu dia membentuk bibir yang
tersenyum. Dia tersenyum padamu. Seandainya dia bisa bicara, dia ingin bilang,
Lili sabar dan tetap semangat yah! Ini ujian dalam menggapai mimpimu! Makanya kau harus
semangat!” aku tersenyum memandangi awan-awan di angkasa sana. Mungkin Dimas benar.
Handphoneku berdering. Nomor tak dikenal terpampang
dilayar biruku. Percakapan itu berlangsung hingga lima belas menit. Percakapan yang
sanggup menguras air mataku lagi. Penelpon itu dari audisi yang tempo hari ku
ikuti. Dia meloloskanku ke tahap selanjutnya. Aku bahagia. Entah, aku
sebenarnya tak mengharapkan ini lagi. Aku meragu. Tapi telepon itu kembali
membangkitkan jiwa musikku… aku senang.. ini adalah sebuah hal berharga. Segera ku beritahu Dimas. Dia bersorak tak kalah
girangnya. Lalu ku senandungkan sebuah lagu yang baru ku dengar di sebuah
stasion radio Jepang.*
Hidup tidak memberikan jawaban.
Aku mungkin berkelana dan tersandung, tapi aku tidak bisa berhenti.
Mari kita percaya …
Kau tersenyum dan menangis untukku,
Tindakan-tindakan itu menyentuh hatiku,
Dan menyembuhkan luka yang sakit.
Kurasa jiwaku, membawaku ke jalanmu.
Semua orang dalam hidup selalu mencari
Untuk satu hal yang berharga.
Ini bukan suatu kebetulan,
Juga bukan cinta palsu,
Kau Benar, semuanya benar.
Kau Benar, Semuanya benar, anak lelaki kecil yang ketakutan (YUI- Feel My Soul)
@AnnJ / 030213 / @Istana Mimpiku