Wesel Pos dan Persaksian Atas Kerasnya Kehidupan Jakarta

Cuma orang sakti yang bisa bertahan hidup di Jakarta.
Begitu kutipan yang membuka halaman "Wesel Pos". Novelet yang jumlah halamannya tak sampai 200 ini berkisah tentang persaksian sebuah benda yang sudah jarang digunakan orang-orang moderen, wesel pos, atas kerasnya kehidupan di Jakarta. Wesel pos ditempel pada sebuah surat terakhir yang dikirim seorang kakak bernama Ikbal Hanafi  kepada adik perempuannya Elisa Fatunisa dan ibunya yang berisi sejumlah uang dan kabar tak jelas.

Dua tahun Ikbal Hanafi tak pulang. Ia tak tahu bahwa Ibunya meninggal. Elisa hendak memberitahu kabar duka yang membuatnya sebatangkara hidup di kampung. Jadilah ia menyusul kakak lelakinya itu dari kampungnya di Purwodadi ke Jakarta. Polosnya perempuan desa memberi pengalaman buruk yang mungkin tak akan Elisa lupa seumur hidup.

Sejak kedatangannya di Jakarta inilah kisahnya mulai diceritakan oleh wesel pos. Betapa sebelum raib, wesel pos sempat menjadi saksi bisu kemalangan nasib Elisa. Juga beberapa hiburan yang Elisa rasakan ketika bertemu Fahri, teman kerja Ikbal Hanafi, yang sayangnya tidak berakhir bahagia.





Semenjak pertemuan dengan Fahri, lelaki yang menolongnya, berbagai fakta mengejutkan tentang Ikbal Hanafi terkuak. Rupanya Fahri juga telah lama masuk ke dalam hidup keluarga Elisa tanpa diketahui Elisa. Perlahan, Elisa juga masuk ke dalam hidup Fahri yang ternyata tidak sesederhana yang tampak di mata.

Tinggal di Jakarta memberi banyak kesedihan dan air mata bagi Elisa. Semua orang Jakarta seakan ujian hidup. Berbagai peristiwa yang terjadi selalu membuatnya ingin pulang kampung. Liku hidup Fahri yang sudah seperti simalakama pada akhirnya menjadi akhir yang menyedihkan bagi semua tokoh, termasuk wesel pos. Mereka tidak cocok tinggal di Jakarta, mereka bukan orang sakti.

*

Bagi saya, Ratih Kumala berhasil mengungkap fragmen-fragmen cerita tentang kerasnya kehidupan Jakarta dengan cukup baik. Meski tidak membungkus banyak kejadian lain yang mungkin lebih tragis, hal-hal yang dialami Elisa dan Fahri sudah mewakili fenomena tinggal di Jakarta sebagai perantau yang datang mencari sesuap nasi dan mengadu peruntungan.

Kejadian demi kejadian yang dialami Elisa telah sempurna menggambarkan kebingungan seorang gadis desa yang polos dan lugu hingga mudah terpedaya dengan kebaikan semu orang Jakarta. Membuat pembaca mendapat gambaran kerasnya sambutan ibukota bagi perantau dari desa. Belum lagi ketika mulai tinggal di Jakarta, pembaca mendapat gambaran tentang kerasnya kehidupan Jakarta bagi perantau.

Novelet ini menjadi menarik dan unik dibaca karena menggunakan sudut pandang benda mati, wesel pos, dalam menarasikan cerita. Seolah-olah wesel pos turut bermain dan mengambil peran dalam cerita walau hanya sebagai saksi bisu. Bagi saya, ini adalah pertama kalinya saya jumpai dalam sebuah karya panjang sehingga saya cukup terkesan.

Ratih Kumala juga berhasil membangun emosi dalam setiap adegan dan peristiwa. Saya menangkap dengan sempurna emosi yang dibawa para tokoh dalam perannya. Hal ini turut membangun suasana dan menciptakan kesan yang pas tentang kehidupan Jakarta. Gaya menulis Ratih Kumala juga sangat mengasyikkan, membawa pembaca menyelami cerita yang mengalir dengan baik.

Sayangnya, Wesel Pos terlalu singkat untuk sebuah cerita bagus yang ditulis penulis mumpuni. Bagi saya yang senang membaca novel, karya ini masih bisa digali lagi, diolah dan emosi ditambahkan (jika adegan dan cerita dikembangkan) tanpa membuat novel menjadi buruk atau membosankan. Namun, mungkin Ratih Kumala punya pertimbangan tersendiri. Lagi pula ia sudah menyebut Wesel Pos sebagai novelet yang memang tidak akan  sepanjang dan setebal novel pada umumnya, seperi Gadis Kretek yang best seller itu.*(Na/29919)

0 komentar