Save Our Planet

Di suatu siang yang terik selepas rapat rencana aksi diet plastik seorang perempuan yang telah kuakrabi selama kurang lebih dua bulan sejak bergabung komunitas bernafaskan lingkungan menahan lenganku. Ia mengangsur buku bersampul hitam berjudul "Dunia Anna". Sebuah novel filsafat bernuansa lingkungan. Katanya, aktivis lingkungan harus kaya pengetahuan agar punya banyak alasan retorik berkampanye bahkan di lingkaran paling kecil. Jadilah ia melahap buku-buku berbau lingkungan.

"Bukunya bagus, sebenarnya Jostein Gaarder mau bilang kalau bumi sudah tua. Nasib anak cucu kita kelak bergantung di tangan kita sekarang. JG menggambarkan 70 tahun nanti manusia tidak kenal lagi binatang yang kita lihat sekarang, air sulit, iklim buruk dan manusia tidak menetap hanya untuk cari makan. Mending manusia purba, mereka masih kaya dulu." Ia menampakkan muka prihatin dengan serius.

"Begitulah, global warming membuat bumi cepat tua dan memburuk." Aku menimpali.

"Buruknya lagi, kelak mereka menyalahkan kita, meminta pertanggungjawaban kita. Lalu kita bisa apa? Teknologi yang menampilkan flora dan fauna dalam bentuk 3D hologram tetap saja tidak akan sanggup mengganti pohon apel yang buahnya bisa dimakan."

"Jadi kita harus bagaimana?"

"Ya tentu saja memupuk kesadaran kalau segala yang kita perbuat kepada lingkungan berkontribusi untuk masa depan bumi. Jangankan pemanasan global, sampah plastik yang mengapung di laut saja sudah membunuh banyak spesies laut dengan tragis." Suaranya mulai meninggi, persis orator.

"Berarti orang harus jadi pahlawan lingkungan sepertimu, dong? Yang gencar banget kampanye anti-plastik dan hemat listrik."

"Tidak juga. Setiap kita bisa jadi pahlawan lingkungan kok tanpa harus jadi aktivis. Setidaknya, mulai segalanya dari diri kita dan pelan-pelan mengajak orang-orang dalam lingkaran kita hidup sederhana, minim sampah, diet plastik, hemat listrik dan sayangi sekitar."

Hey, ke mana kaubuang mereka?

Tanpa terasa percakapan itu menghabiskan setengah jam yang baru terasa setelah kaki kami mengirim sinyal pegal. Akhirnya kami bersila di salah satu pohon besar di antara sekian banyak pohon di taman. Seorang lelaki muda tiba-tiba lewat di hadapan kami, lima meter dari tempat kami bernaung ia membuang puntung rokoknya dengan bara masih menyala di atas rerumputan. Kami menarik napas panjang sembari mengurut dada. Segala yang tampak mudah ternyata tidak mudah bagi mereka yang tak punya kesadaran dan kemauan.*** (Na/9919)

0 komentar