Geregetan di Japanese Film Festival 2017

Tak perlu dipertanyakan bagaimana antusiasme saya dengan hal-hal yang berbau Jejepangan. Hm, masih kalah besar sih sama perempuan otaku di luar sana yang rela berkostum karakter Kaonashi, jubah hitam menjuntai dengan topeng yang diartikan tanpa wajah dalam film “Spirited Away”, untuk menonton anime produksi Studio Ghibly yang saya yakini sudah ditontonnya. Saya bertemu orang yang saya ketahui berjenis kelamin perempuan itu saat suaranya dihantarkan pelantang suara sewaktu menjawab pertanyaan dari panitia Japanese Film Festival 2017 di Makassar.  Itu film kedua yang saya tonton. Sebuah masterpiece Hayao Miyazaki tahun1997 berjudul Princess Mononoke setelah sejak pagi menunggu Mall pertama di kota Makassar membuka pintu masuknya.

Warga Makassar patut berbangga dan berbahagia, tersebab The Japan Foundation (JF) melibatkan Mall Ratu Indah Makassar sebagai tempat pemutaran tujuh film Jepang pilihan dalam Festival Film Jepang 2017(Japanese Film Festival) pada 24-26 November 2017. Ini adalah tahun kedua JF menghelat JFF setelah 2016 mendapatkan apresiasi dari penonton yang antusias dan puas menyaksikan film-film Jepang.  Selain Makassar, film-film Jepang juga diputar di Jakarta, Yogyakarta dan Denpasar. JFF adalah kegiatan rutin JF di sepuluh negara ASEAN juga Australia dan India untuk memperkenalkan film-film Jepang agar minat terhadap film Jepang dapat meningkat. JFF juga diharapkan untuk menghubungkan para penggemar film Jepang di seluruh dunia.

Saya sudah bersemangat sekali ingin menonton film-film Jepang saat pertama kali melihat e-posternya tersebar di grup-grup Whatsapp. Segera dengan antusiasme yang melimpah saya menawarkan teman sebangku saya, Mudrika untuk ikut. Kami menyusun rencana di hari Ahad pagi yang basah oleh derasnya hujan. Namun tak menyurutkan langkah kami untuk tetap pergi sedini mungkin mewaspadai antrian panjang tiket gratis. Menjelang setengah sepuluh saya telah menginjakkan kaki di pelataran MaRI dan yang saya jumpai hanyalah orang-orang yang menunggu serta anak-anak yang berlarian.

Saya kira mereka semua rela datang sepagi itu demi menonton film. Ternyata  ada kegiatan edufair untuk anak-anak. Saya dan Mudrika masih harus menunggu pintu bioskop terbuka sebelum boleh mengantri. Di samping saya sudah ada anak berambut tipis bermata sipit dengan Ibunya yang terus mengobrolkan film yang akan tayang. Diam-diam Mudrika membisik saya, “ih itu anak mau ikutan nonton? Na harus 21+ umurnya!

Sejujurnya saya tidak memerhatikan peraturan umur yang boleh menonton setiap film. Barulah saat dimintai KTP saya tersadar itu film dewasa. Tersebab pertama kali melihat e-posternya yang hanya menampilkan judul dan jam tayang saya mengira semuanya adalah anime serupa Princess Mononoke dan Ponyo. Sang ibu pun memboyong anaknya yang terus menangis karena tidak diperbolehkan menonton. Panitia menawari mereka kembali mengantri untuk menyaksikan Princess Mononoke saja di jam 12. Tapi sepertinya mereka sudah tidak tertarik lagi.
Dapat pulpen gratis tiap kali menonton :D (dok.pribadi)
Kami sudah duduk manis di deretan bangku E sambil sesekali histeris melihat cuplikan JFF yang menampilkan wajah Tatsuya Fujiwara. Film yang akan kami tonton berjudul Harmonium (Fuchi ni tatsu). Saat masih menunggu waktu penayangan di luar ruangan, Mudrika sempat melihat trailernya di Youtube dan mewanti-wanti bakal ada adegan yang mengejutkan. Kami sedikit kecewa subtitlenya berbahasa Inggris membuat kami kurang fokus pada scenenya karena harus menerjemahkan dan mencerna kalimat dengan baik.
Image result for harmonium movie
Salah satu adegan di Harmonium (variety.com)
Overall, kami mengerti plotnya sampai scene terakhir membuat penonton berteriak geram dan terus ngedumel sampai lampu dinyalakan kembali. Ini hal pertama yang bikin saya geregetan. Meskipun kadang adegannya membosankan, tapi saya tidak sedikitpun mengecek telah berapa lama waktu bergulir yang berarti saya cukup menikmati film diputar.

Selesaimi ini? Eh apaji?” pertanyaan itu terus saya lemparkan kepada Mudrika karena masih belum percaya kalau film itu sudah berakhir dengan ending menggantung dan tidak jelas begitu. Di kepala saya telah muncul beragam persepsi dan prediksi di detik-detik terakhir film dan saya tidak menemukan jawaban juga kebenaran persepsi dan prediksi saya. What the….

Saat keluar dari gedung bioskop, saya belum menemukan antrian film selanjutnya. Tapi dengan semangat yang belum luntur meski dikecewakan Harmonium saya kembali mengajak Mudrika mengantri untuk Princess Mononoke. Gedung bioskop hampir penuh, kursi yang terisi sekira tiga kali lipat dari pemutaran pertama. Seperti biasa sebelum film ditayangkan panitia membagi merchandise berupa totebag JFF dan sesuatu di dalamnya. Ini hal kedua yang bikin saya geregetan.

Sejak pertanyaan pertama di kemukakan sampai pertanyaan kelima  saya yang mengangkat tangan tidak juga ditunjuk. Bahkan Mudrika yang super pede malah mengangkat tangan tinggi-tinggi. Peluang di pemutaran pertama lebih besar, tapi saya yang ngambek karena tidak kunjung ditunjuk kemudian ogah lagi mengangkat tangan. Mudrika terus bilang, “angkat tanganmu tinggi-tinggi lumayan dapat totebag buat dipake tempat bekal.” Ya sudahlah, bukan rezeki.


Image result for mononoke hime
Cuplikan gambar Princess Mononoke (myanimelist.net)
Princess Mononoke diputar selama 2 jam 15 menit. Saya tidak pernah meragukan produksi Studio Ghibly dan karya Hayao Miyazaki. What an amazing plot! Semua orang tetap betah di tempat menyaksikan alur cerita yang keren. Sudah ciri khasnya Hayao Miyazaki membuat karakter-karakter baru yang seperti monster baik. Sayangnya menjelang 45 menit terakhir, saya sudah tidak berkonsentrasi pada film. Saya terus menengok ponsel dan terus bergumam kapan selesainya. Dalam kegelapan saya melihat sekeliling dan mendapati orang-orang begitu serius. Saya ingin segera keluar tapi tidak ingin ketinggalan sedikit scene pun. Perut saya sudah ikutan beraksi juga.

“Semua terbayarkan di film kedua! Keren!” Kata Mudrika saat kami mengantri makanan. Dia suka sekali dengan film yang kedua.

“Balik lagi yuk, antri untuk film ketiga!” Mudrika memandangi saya dengan tatapan yang bermakna ‘serius? Kamu aja kali aku mah nggak.’ Saya juga sudah tidak sanggup lagi nonton estafet begitu dalam keadaan lapar. Bisa-bisa pingsan di dalam. Ini jadi pelajaran juga buat kami, harus mengisi perut sebelum estafet menonton. Kami pulang dengan kisah dan pemandangan desa yang hijau menyegarkan dan ending Harmonium yang menyebalkan. Harmonium bukannya jelek hanya saja sungguh membuat geregetan tentang apa selanjutnya. Harmonium berbeda dengan film Jepang bergenre drama yang sering saya tonton; sinematografinya dan pengaturan backsoundnya. Terasa lebih nyata dan dekat. Berharap penuh JFF kembali diadakan di Makassar tahun depan.***

0 komentar