Dia Lupa Hari Ulang Tahunku, Dia Tak Lagi Peduli!

Tanggal kelahiran orang terdekat akan selalu terekam sempurna di dalam kepala. Bahkan jauh sebelum memasuki bulan kelahirannya kadang-kadang kita sudah memikirkan rencana apa untuk membahagiakannya di hari istimewa itu. Tidak jarang skenario ala-ala jahat yang berujung kue dan kado kejutan akhirnya jadi konspirasi yang dipersiapkan. Setelahnya akan ada tangis haru dan bahagia di samping makian kesal disertai pelukan dan tawa-tawa lepas serta doa yang riuh bergemuruh menembus langit.


Gambaran itu lekat dengan momen perayaan ulang tahun sahabat saat saya masih berseragam putih merah hingga putih abu-abu, sesederhana itu dengan kebahagiaan yang berlapis-lapis. Sekarang, potret perayaan ulang tahun telah lebih meriah daripada sekadar ucapan. Tidak perlu pakai kejutan marah-marah tapi langsung merayakan di hotel atau resto dengan dekorasi setara acara pertunangan atau ‘shower-shower-an’.

Lala punya hari
Sependek ingatan saya, pertama kali saya benar-benar merayakan hari pertambahan usia sahabat saya adalah saat SMA. Kala itu saya beserta kedua sahabat SMP saya, Qalby dan Irha datang tiba-tiba ke rumah Lala tanpa memberi tahu dengan membawa black forest berukuran sedang. Tentu dia terkejut dan bingung mau menjamu bagaimana tanpa persiapan. Padahal kedatangan kami hanya ingin berada di sampingnya saat dia bertambah jumlah umur. Ingin turut mendoakan yang terbaik di hari-harinya yang akan datang. Ketiganya sahabat baik saya sejak SMP dan tiap ulang tahun mereka (5 Januari, 8 Juli, 24 Oktober), kami pasti selalu bergantian membawakan kue dan kado yang bingung memilihnya, lalu merayakannya dengan cerita sambil menyantap aneka makanan di atas meja.  

Pernah pula perasaan gembira tiada tara sangat kental saat saya pulang dari rumah sakit sehabis menjenguk teman, lalu menemukan wajah-wajah semringah yang langsung menyanyikan lagu “selamat ulang tahun” di ruang tamu rumah saya. Tart warna-warni dengan lilin berbentuk angka usia saya mengembuskan asap setelah saya meniup sumbu yang menyala. Bukan hanya sahabat SMP saya yang datang, hadir pula teman-teman dekat saya di SMA. Speechless dan bahagia! Tidak sedikit pun melintas di pikiran saya tentang kejutan itu, meskipun saat masih di rumah sakit saya terus diberondong pertanyaan “sudah di rumah”, “kapan pulang”, “cepat pulang” melalui SMS oleh dua orang dari mereka.


Saya lupa, apakah semasa kuliah kami masih rutin menggelar perayaan kecil-kecilan itu. Tapi masih jelas di kepala saya bahwa saya masih sering berjuang menunggu jarum panjang lewat 12 sementara jarum pendeknya masih tetap di angka itu untuk jadi yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun. Beberapa jam sebelumnya, saya telah mengonsep ucapan paling manis yang kalau saya ingat sekarang biasa-biasa saja beserta doa di ujung SMS sampai karakter hampir habis. Kadang-kadang, saya juga menyalin kutipan selamat ulang tahun dari majalah.

Di kampus, saya mengikuti kajian bersama enam orang teman yang pada akhirnya mengerucut menjadi empat orang. Di awal sebagai mahasiswa baru, saat tarbiyah sempat dibahas tentang perilaku tasyabbuh yang istilahnya lebih dulu saya dengar dari teman yang lain. Saya memahami bahwa istilah itu bermakna perilaku umat muslim yang mengikuti tradisi dan perilaku dari umat non-islam seperti turut merayakan tahun baru, ulang tahun dan lain-lain.  Sejak saat itu, kami berempat sepakat untuk berhenti mengucapkan selamat ulang tahun lebih-lebih terlibat merayakannya. Berat bagi saya untuk tidak mengucapkan selamat ulang tahun kepada sahabat apalagi sejak dulu kami punya kebiasaan saling menyelamati dan merayakan. Untuk langsung berhenti mengucapkannya ada perasaan yang mengganjal: khawatir timbul kesan melupakan. Apalagi kami benar-benar sudah jarang bertemu dan momen ulang tahun selalu jadi ajang reuni.

Di kelas juga dimulai kebiasaan memberi kue tart kepada teman yang sedang berulang tahun pada semester empat atau lima saat itu. Itu adalah hal terberat lainnya, turut menyumbang, menyanyi bersama, tepuk tangan, mengucap selamat berarti mendukung perayaan. Berat sekali menghindarinya, saat itu dengan berat hati saya dan teman-teman tarbiyah yang sekelas tetap berada dalam lingkar perayaan. Wajah kami ada di semua foto momen itu. Dalam hati kami berduka untuk diri kami sendiri walau tampak penuh sukacita. Beruntung, saya dan teman-teman dekat (Annis, Wia, Hasra, Isna, dan Fitri) tidak sekalipun dibelikan kue tart. Terdengar kasihan, tapi bagi saya ini adalah cara Allah menghindarkan kami dari kebiasaan itu.

Ada masa saya jadi gandrung menyelamati teman-teman yang saya kenal baik di Facebook. Saya juga selalu jadi yang pertama menulis ucapan ulang tahun diikuti singkatan andalan WUATB (wish U all the best) beserta emotikon kue, kado, dan orang bertopi kerucut di grup LINE setelah mendapat notifikasi ulang tahun dari Facebook. Saat itu saya merasa senang melakukannya dan puas mengetahui saya yang pertama seakan jadi yang pertama itu istimewa dan dapat hadiah. Hadiah ucapan terima kasih dari yang berhari lahir.

Hingga tiba suatu hari, sahabat baik saya semasa kuliah mempertanyakan sikap saya yang sudah lama dipantaunya. “Kok jadi rajin banget ngasih ucapan selamat ultah? Di FB juga. Apakah kita sudah berbeda prinsip tentang ini?” Tulisnya lewat pesan LINE. Lama saya membalas pesan itu, sampai menunggu sehari setelah merenung masa kami sama-sama mendapatkan pengetahuan tentang ini. Dia membalas, “ndak perlu ji jadi yang pertama kasih ucapan ke saya. Saya paham kok. Cukup doakan saja.”  Dia menyindir saya yang telah mengirim pesan di suatu malam untuk menyelamatinya yang dibalasnya saat ulang tahunnya telah berlalu. Ah, sahabat baik saya itu menyadarkan saya, benar-benar mencongkel sesuatu yang bersemayam di hati lalu membuat saya malu. Dulu, saya yang paling bersikukuh mengajak dia kabur perayaan kelas, hanya karena merasa tidak enak maka kami memutuskan ikut yang belakangan kami sadari salah. Terima kasih, ukhtiku!

Saya berharap setelahnya, saya tidak lagi mendustai hati saya. Berat sekali saat berada di lingkungan yang tidak memahami itu dan beralasan toh ada lembaga dakwah kok yang mengadakan Milad. Saya mesti jawab apa? Kadang, saya masih terjebak dalam kebiasaan itu dan setelahnya curhat menyesal kepada sahabat saya itu. Dia hanya menguatkan saya agar beristigfar. Ini bukan tentang sok suci dan munafik karena mungkin saya masih terlihat hadir dalam perayaan serupa. Tapi sekali melanggar sesuatu yang telah diyakini dengan beragam alasan, ke depannya akan sulit untuk taat lagi.

Kita terlalu takut dianggap tidak peduli, terlalu khawatir dianggap melupakan, terlalu cemas untuk dilupakan dan diabaikan karena sebenarnya masih ada keinginan besar dalam diri kita untuk diselamati dan didoakan secara terang-terangan pada hari ulang tahun kita. Saya kadang masih merasakannya, apalagi kepada sahabat yang pada harinya mengunggah hadiah-hadiah dan doa-doa yang orang sekitarnya berikan. Seakan mengode secara halus, “mana tuh yang ngaku sahabat saya kok ngasih doa dan ucapan selamat saja ndak? Dia sudah lupa!”

Tidak, tulisan ini saya persembahkan untuk sahabat-sahabat saya yang mungkin pernah terbesit tanya dalam benaknya mengapa saya tidak pernah lagi menyelamati dan mengirim doa lewat tulisan juga hadiah sederhana. Saya tidak pernah lupa hari lahir kamu, pun dengan kebiasaan yang pernah kita bangun di masa lalu. Semoga Allah memberikan pemahaman juga hidayah dimulai dari hal yang paling kecil. Karena doa-doaku untukmu tanpa kamu tahu lebih mustajab dikabulkan Allah (dari sebuah hadis)* daripada saya mesti mengirim lewat teks. Saya selalu ingat hari ulang tahun kamu, dan doa saya mengiring selama hari itu dan selalu… Saya menyayangimu karena Allah.***

*Sesungguhnya do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah doa’a yang mustajab (terkabulkan)

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/485-doakanlah-saudaramu-di-saat-dia-tidak-mengetahuinya-2.html

0 komentar