Menoreh Makna di Benteng

Membahas tentang traveling adalah hal yang menyenangkan dan akan menghasilkan tulisan yang teramat panjang untukku bila kembali menceritakan feel perjalanan. Beberapa perjalanan yang pernah saya tempuh adalah dalam rangka kegiatan sosial dan liburan. Menjadi sebuah hal yang baru bagiku mengunjungi pelosok daerah yang dalam pikiranku “tidak mungkin ada orang yang tinggal di situ”. Saya terlibat dalam kepanitiaan sebuah bakti ilmiah nasional di sebuah desa di daerah Camba, Kabupaten Maros. Camba terkenal sebagai kawasan dataran tinggi yang dingin. Desa yang akan dikunjungi bernama desa Benteng. Sebelumnya, tidak ada bayangan seperti apa desa yang akan didiami selama sepuluh hari itu.
Pemberangkatan menggunakan dua mobil tentara yang menampung 60an orang panitia dan ada pula yang menggunakan motor. Pemberhentian pertama di kantor kelurahan, semua barang bawaan diturunkan. Hampir dua jam di lokasi tersebut untuk penyambutan oleh Kepala Camat. Dua truk kemudian datang dan beberapa senior mengarahkan untuk menaikkan kembali barang bawaan ke atas truk. WHAT? Itu berarti semua panitia akan naik truk menuju lokasi. Saya sempat mendengar bahwa mustahil untuk mengangkut kami beserta barang bawaan dengan mobil pick up atau angkot, sementara mobil tentara hanya mengantar sampai kantor camat. Sebab treknya terlalu berbahaya dan beresiko. Beberapa orang mulai terlihat cemas membayangkan seperti apa jalanan yang akan dilalui selama satu jam lebih itu.
Tidak ada pilihan lain, selain menaiki truk yang telah dipenuhi barang bawaan. Sekira sepuluh menit setelah melewati Desa Cenrana yang jalanannya masih beraspal, jalan kemudian berundak-undak dan khas jalanan pendakian. Saat itu jam 2 siang, matahari tengah terik dan debu mengepul di jalanan yang dilalui. Kiri kanan pepohonan liar menghias jalanan, banyak yang beranting rendah, sehingga penumpang truk yang berdiri diatas harus menunduk agar tak terkena.
Setengah jam kemudian, jalanan menanjak, tikungan tajam, tak terbayangkan bagaimana jadinya bila bertemu mobil dari arah berlawanan. Hal itu terjadi, untungnya di kondisi jalan yang agak lebar. Salah satu mobil harus berhenti untuk membiarkan yang lain lewat. Penumpang truk sudah dumba’-dumba’ tidak keruan. Baru bisa bernapas lega setelah mobil tersebut berlalu. Mendapati jurang saat perjalanan itu dapat merasakan 2 hal; takjub dan tegang. Takjub, karena jurang menyingkap pemandangan indah di bawah sana, yakni gunung dan sawah yang menghijau. Tegang, karena apabila kurang hati-hati membawa kendaraan, maka jurang menanti. Beberapa orang yang mengendarai motor berada di depan kedua truk—pengarah jalan. Semua kaget saat mereka berhenti, dikiranya truk tidak bisa melalui jalan di depan. Ternyata, mereka singgah berfoto dengan latar gunung. Boleh dimaklumi, sebab di Makassar tak akan menemui pemandangan semacam itu.
Di sebelah kanan jalanan adalah bukit yang mungkin adalah hutan, rombongan bermotor sering singgah untuk berfoto saat melihat latar pepohonannya bagus. Penumpang truk hanya bisa menahan rasa, sebab tak mungkin bongkar muatan. Perjalanan ini serupa saat melewati jalanan Camba yang berkelok tajam, bedanya jalan raya itu beraspal sedangkan jalanan yang ditempuh ini berundak-undak dan menanjak tajam. Semakin menanjak, akan berpikir bahwa tidak akan ada lagi rumah. Namun, dibeberapa kawasan terdapat rumah, lalu butuh beberapa kilometer lagi baru dapat menemukan kawasan rumah.
Hampir satu setengah jam, kami akhirnya sampai di sebuah rumah. Di sambut beberapa senior yang telah menetap beberapa hari, yang tertawa-tawa mengejek penumpang truk seperti sapi yang diangkut. Ada tiga rumah yang ditempati, rumah Pak Imam, Pak Desa, dan Ibu Guru. Panitia ditempatkan berdasarkan kepanitiaannya. Saya berada di rumah utama, rumah Ibu Guru—para panitia konsumsi dan aktor.
Sepuluh hari terlewati tanpa terasa. Karya bakti ilmiah nasional dilaksanakan, dimana sepuluh kelompok Mahasiswa terpilih dari UGM, Undip, UNY, Unesa, dan UB mengaplikasikan risetnya yang berbasis pengabdian masyarakat dibantu oleh panitia dari organisasi kampus (LPM Penalaran UNM). Mereka memanfaatkan sumber daya alam Desa Benteng, yakni kemiri. Ada yang memanfaatkan sebagai kerajinan kulit kemiri berupa bros dan frame, pengolahan minyak kemiri dengan cara yang lebih cepat, dan briket. Ada pula yang mengajarkan teknik berwirausaha, mengadakan bola macca, dan pembuatan kompos dari kotoran sapi. Pengaplikasian riset tersebut hampir mirip seperti lokakarya yang diadakan setiap hari dan menyentuh seluruh masyarakat. Selain itu, panitia lainnya menjalankan pengajaran siswa SD dan SMP yang berjarak 2 km. Siswa SD sangat sedikit dan mereka jarang belajar, meskipun gurunya ada. Sebab rumah mereka sangat jauh. Mereka berangkat subuh-subuh dan sampai saat matahari telah meninggi. Mereka berbahasa bugis dan sangat sedikit memahami bahasa Indonesia.
Anak-anak sekitar rumah yang kami huni diajarkan menari, mengaji, membaca, menyanyi, dan saat malam tiba diadakan nonton bareng di halaman SD. Orang-orang depan SD yang berumah tinggi telah memenuhi lego-lego mereka dan fokus pada layar yang telah dipasang. Halaman sekolah telah dipenuhi warga dan panitia. Film yang diputar adalah film yang mengandung nilai nasionalisme, kebudayaan, dan pengorbanan, seperti “Badik Titipan Ayah”, “Tanah Surga Katanya”, “Habibie dan Ainun”, dan lain-lain. Terkadang nobar diadakan di dusun sebelah. Suasana saat nobar itu sangat hikmat dan mendukung situasi. Saat mendongak ke atas, maka akan ditemui hamparan bintang gemintang yang indah dan berkerlap-kerlip dengan jelas.
Saat melewati daerah Camba untuk ke Bone sekitar pom bensin, lalu melihat gunung di sebelah kanan, nah, Desa Benteng berada di sana. Terkadang berkabut dan mengakibatkan orang-orang kedinginan. Air yang digunakan berasal langsung dari gunung. Tidak ada sinyal di sana. Jika ingin menelepon, maka harus nongkrong di belakang rumah Pak Imam menggoyang-goyangkan HP atau menjejerkannya diatas jendela dalam waktu lama. Pula tak ada listrik. Saat malam, mereka menggunakan genset. Televisi jarang menyala. Saat berjalan di luar pada malam hari, keadaan gelap gulita, dan banyak terdengar suara hewan. Mobil pick up datang sepekan sekali mengangkut ibu-ibu ke pasar, sehingga keperluan untuk sepekan harus segera dilist.
Saya dan teman-teman sempat berjalan-jalan menyusuri sekitaran rumah. Menaiki bukit-bukit yang tembus ke hutan,  tapi tidak masuk terlalu jauh, sebab ada banyak binatang di dalam sana. Kami menemukan persawahan dengan lumpur mengeras dan berlubang, menandakan musim kemarau. Tapi di lokasi yang lain, hamparan sawah menghijau amat cantik dipandang. Suatu hari kami juga mengantar adik-adik sampai batas dusun, dan menemukan sungai cinta, tempat mereka sering mandi-mandi. Dinamakan sungai cinta karena ada bebatuan di sekitarnya yang berbentuk love besar. Keadaan di Desa Benteng benar-benar serasa di kampung, asli! Saya dibuat lupa oleh huru-hara perkotaan dan apapun yang sering menyibukkan orang. Saya amat menikmati sepuluh hari tersebut, hingga tak terasa harus berpisah.
Menjelang hari perpisahan, kami membelikan kenang-kenang berupa 1 set cangkir pada setiap rumah yang kami huni. Pagi itu, dua motor berangkat ke pasar untuk membelinya. Saya salah satunya. Jalanan benar-benar baru terasa susahnya dan ‘keras’ treknya saat naik motor. Apalagi, sempat diguyur hujan, dan jalanan menjadi basah, licin, dan berlumpur. Duduk dibelakang pun rasanya harus menahan segala tekanan yang diberikan. Penurunan, pendakian, tikungan, dan tekstur jalan yang tidak rata. Pokoknya, ini perjalanan paling menggelisahkan yang pernah saya lalui. Sepanjang jalan hanya terus merapal doa, belum lagi saat pulang dan harus menahan beban satu karung besar penuh cangkir. Kebayang kan bagaimana resikonya. Beban diri saja sudah besar dan berat rasanya, bagaimana dengan adanya karung besar berisi barang pecah belah yang menempuh trek berat selama 1 setengah jam lebih. Setelah sampai, badan saya rasanya kaku sekali.
Parnert bermotor saya jatuh dan mengalami beberapa luka (. Mereka pula harus menahan beban yang sama dengan keadaan yang kurang baik. Saat membeli cangkir tersebut, penjual menanyakan dimana barang itu hendak dibawa dan betapa kagetnya saya saat mengetahui komentar mereka tentang Desa kami.
“Oh, di gunung. Banyak perampok dan pembunuh di situ sembunyi.” Katanya berlogat bahasa Makassar yang beda dengan bahasa Desa Benteng. Agak ngeri mendengarnya, dan untung saja kami tidak pernah berjumpa dengan mereka.
Dua hari sebelum pulang, kami mengadakan acara perpisahan di halaman sekolah yang dihadiri pejabat Desa. Rasa haru segera meliputi kami semua, apalagi saat mendengar isak Pak Desa. Semua hasil aplikasi riset dipersembahkan dalam bentuk stand dan beberapa warga datang melihat-lihat hasil pengolahannya, termasuk hasil kerja mereka. Sebuah tari dan nyanyian dipersembahkan oleh anak-anak yang selama ini dilatih. Orangtua mereka begitu terharu melihat anak-anaknya yang cantik dengan riasan sederhana dan baju adat. Tangis pun pecah karena masing-masing merasa berat untuk berpisah. Begitupun saat malam perpisahan. Kami duduk mengelilingi api unggun yang menjadi sumber penerangan. Berusaha larut dalam nyanyian dan hiburan yang dibawakan. Mengkihlaskan segalanya dan berharap semua yang telah dilakukan dapat memberi manfaat dan perubahan meski singkat waktunya. Berat rasanya meninggalkan Desa itu tatkala telah berbaur dan dekat dengan warganya. Semoga kehadiran kami bisa memberi makna.***
@NN@- @My Sweetest Palace
Rewrite 10Feb16630
September 2013
Dalam rangka KBIN LPM Penalaran UNM
Desa Benteng penuh cinta dan kenangan


0 komentar