Rekor Pertemuan di Tahun 2018

Makassar bermandikan deras air dari langit. Semakin intens sepekan terakhir sampai menggenang di jalan-jalan utama menyebabkan arus kendaraan semakin lambat. Tahun baru masehi sampai tahun baru Cina memang selalu lekat dengan hujan dan banjir di kota saya. Hujan tidak saja membuat malas bergerak, namun juga selalu membuat situasi jadi lebih sendu. Membangkitkan kenangan-kenangan yang masih tergenang di permukaan memori karena masih baru.

Tahun lalu, 2018, adalah tahun yang paling terkenang bagi saya semenjak lulus kuliah. Puncak-puncak perjuangan terjadi selama periode waktu itu, bahkan saya merasa memecahkan rekor sebagai seorang gadis introver dalam menjalin hubungan sosial dengan khalayak. Penghargaan kepada diri sendiri pun rasanya perlahan bisa saya lakukan. Sesuatu yang amat sulit saya jalani, paham teori tapi tidak sanggup menjalankan.

Saya masih ingat betul bagaimana di awal tahun lalu, yang masih terasa dekat, saya berjuang melawan rasa malas untuk mencetak hasil kerja selama empat bulan lamanya saya kerjakan dalam menempuh pendidikan profesi yang dibiayai kementrian. Bukan sekadar mencetak, tapi saya harus merevisi, menyunting, dan memperbaiki isi berlembar-lembaran kertas yang menghabiskan 1 rim untuk cetakan terakhir. Yaah, sudah menyamai skripsilah akhirnya, empat bulan habis 5 rim.

Tidak lama berselang, saya harus memaksa diri memutar otak memikirkan penelitian tindakan kelas yang akan saya jalankan di sebuah sekolah analis terbaik di Makassar. Label terbaik justru membuat saya menumpuk banyak kekhawatiran di dalam dada. Berulang kali saya mengganti judul, mengganti topik pembahasan setelah banyak pertimbangan dari diskusi bersama teman-teman seperjuangan yang banyak di antaranya merupakan teman-teman baru dari luar Sulawesi Selatan. Saya merasakan kembali menjadi mahasiswa S1 semester akhir yang berkutat dengan skripsi. Bedanya, dosen pembimbing saya yang sama semasa S1 tidak menuntun terlalu banyak seperti dulu. Perlakuan pun tidak lagi sehoror dulu.

Mahasiswa seangkatan saya berjumlah 77 orang dari 4 jurusan berbeda. Acap berjumpa setiap sabtu saat kuliah pedagogik dihelat pihak kampus. Saya tidak cukup akrab dan mengenali nama mereka satu per satu, tapi beberapa orang yang sering tampil mencari perhatian dan supel menjadi tidak asing di mata saya. Kami berjuang di jalur masing-masing untuk bisa mengajar di sekolah yang sudah dipilih untuk menjadi pendidik profesional.

Kurang lebih 4 bulan saya menghabiskan hari di sekolah, berjumpa pimpinan sekolah, guru-guru, analis laboratorium, laboran, pegawai sekolah, dan banyak sekali siswa-siswa. Berusaha membiasakan diri bergaul dengan lingkungan sekolah yang cukup berbeda dengan sekolah-sekolah tempat saya mengabdi dan bekerja sebelumnya. Dalam rentang waktu tersebut, saya amat berusaha untuk bisa semaksimal mungkin dalam menjalankan peran sebagai guru di dalam dan di luar kelas. Saya yang kurang bisa menyungging senyum berusaha untuk tidak terlalu pelit dalam menebar senyum kepada anak-anak didik. Terakhir saya juga merasa berat berpisah dengan mereka yang perlahan saya pahami karakternya, utamanya dalam belajar.

Puncak perjuangan tiba, penentu kelulusan jika berhasil melampaui nilai yang ditetapkan dalam ujian mencakup empat kompetensi. Sebulan penuh saya rajin ke kampus. Bertukar pendapat, diskusi, dan bersama-sama menjawab puluhan lembar soal yang telah dicetak. Saya tidak terlalu banyak berkontribusi dalam membahas soal sebab sejujurnya saya bukan tipe orang yang senang belajar beramai-ramai. Saya menyukai diskusi tetapi tidak dalam lingkaran yang besar sebab saya bakal tenggelam dalam isi kepala teman-teman saya. Pemikiran saya hanyut dalam hening yang saya simpan sendiri dan tidak akan mengikut perdebatan panjang yang panas. Saya akan cenderung jadi pengamat, menikmati yang terhidang di depan mata sembari menyimpan sendiri yang saya pahami. Saya sulit mengungkapkannya, kecuali benar-benar diminta. Aih, padahal calon pendidik profesional seharusnya bisa mengutarakan pendapat dalam situasi apapun kan, yah? Maka terkadang, demi optimalisasi pembelajaran saya beberapa kali tidak hadir ke kampus dan memilih belajar di rumah meski godaan belajar sendiri cukup besar.

Meski seorang introver, saya senang mengikuti kegiatan yang diramaikan banyak orang, seperti lokakarya, seminar, dan kegiatan sosial. Semakin asing orang-orang yang berkumpul dalam lingkaran tersebut, semakin saya menyukainya. Ya, tidak ada kotak-kotak kelompok. Maka saya mendaftar sebuah kegiatan nasional bernama Kirab Pemuda dan atas izin Allah saya lolos dan memulai kegiatan di akhir Agustus.

Saya bertemu dengan 98 pemuda utusan provinsi dan organisasi dari seluruh wilayah di Indonesia. Di sini tantangan terberat saya sebagai introver yang tidak pandai berkawan dengan cepat. Saya melewati masa pembekalan nyaris tanpa teman dekat yang ke mana-mana selalu bersama seperti kebanyakan teman yang akhirnya menemukan teman sefrekuensi. Sebisanya, saya bergaul dengan teman-teman, mengajak berkenalan, bercerita dari topik yang mungkin bisa menghasilkan cerita panjang (karena sesungguhnya saya cerewet tapi pemalu), dan mengajaknya makan bersama. Saya akhirnya menemukan seorang teman yang baru lulus SMA, semacam baru mencari jati diri, mengobrolkan tentang dirinya yang sulit mendapat teman dekat, malu berargumen di depan umum, dan sering merasa minder. Meski sesekali saya merasakan hal serupa, tapi perlawanan saya lebih besar dari perasaan itu sehingga saya bisa menaklukkannya dan tidak merasa ngenes dan kesepian. Ya, walau kadang-kadang dalam perjalanannya saya sering merasa iri dengan pertemanan para teman lelaki yang tidak berkelompok-kelompok seperti teman-teman perempuan saya. Mereka bebas.

Selama tiga bulan program berlangsung menyusuri 17 provinsi di Indonesia, saya bertemu dengan banyak sekali orang. Pemuda-pemuda setempat yang peduli dan aktif berkontribusi untuk daerahnya. Bapak, ibu, dan anak-anaknya tempat saya tinggal selama beberapa hari. Bapak dan ibu wakil pemerintah daerah setempat beserta masyarakat luas yang tidak terhitung jumlahnya dari segala lapisan usia. Saya yang kerap merasa cemas berada dalam keramaian dan ingin segera pulang saat itu benar-benar menikmati masa-masa tersebut. Di Wakatobi, kami ikut serta dalam pemecahan rekor senam posa’asa yang diikuti 7000 lebih warga dari segala lapisan umur dan pekerjaan. Setelah mengakhiri perjalanan, saya agaknya memecahkan rekor bagi diri saya sendiri dalam bergaul dan berkumpul dengan banyak sekali orang dalam satu periode waktu. Begitulah saya mengenang 2018, sejak awal hingga akhirnya saya benar-benar merasa Allah mempertemukan saya dengan banyak orang-orang baru. Membiasakan saya bertemu hingga saya sendiri harus bertanya kepada diri, masihkah saya jadi seorang introver dengan label T?

0 komentar